Selamat membaca semuanya
¥¥¥¥¥
Malam kedua ini Alice masih bernapas di rumah tengah hutan. Tapi ia hanya berdua dengan Dante. Karena tiga bawahan pria itu tengah pergi ke kota sore tadi untuk mengambil barang menggunakan mobil.
Alice sebenarnya di paksa untuk ikut mereka pergi, namun gadis itu dengan tegas langsung menolaknya mentah-mentah. Ia lebih memilih membawa kaki jenjangnya selonjoran di atas sofa tua panjang.
Membuka sebuah buku yang ia temukan di kolong meja dengan judul 'Survival'. Ia berniat membacanya karena di landa kebosanan. Ponselnya sendiri telah hilang entah kemana, ia pun tak terlalu memikirkannya.
Cklek
Suara pintu terbuka, Dante keluar dari kamarnya. Seperti hantu pikir Alice. Karena penampilan pria itu yang tampak menyeramkan dengan wajah datarnya serta rambut acak-acakan yang sedikit menghalangi penglihatannya.
"Kau tak ikut dengan mereka?" Dante bertanya, suaranya berat dan serak, seperti baru saja bangun tidur.
Alice balas menggeleng tanpa mengalihkan sedikitpun pandangannya pada buku yang tengah ia baca.
"Sebaiknya kau ikut mereka. Agar bisa kembali ke rumahmu." Tekan Dante.
Kepala Alice mendongak malas. "Aku sudah bilang, aku mau ikut dengan kalian." Kekeuhnya.
Dante ikut mendudukkan dirinya ke sofa, tepat di sampingnya. "Aku tak main-main. Kau bisa saja mati besok pagi. Jadi, kembalilah tengah malam ini bersama para bawahanku."
Alice menutup buku di tangannya kasar. Kakinya ia turunkan ke lantai kayu. Matanya menatap Dante berang. "Kau tidak akan pernah menyakitiku dan membirkan aku mati beitu saja."
Dante sontak terkekeh kecil. "Percaya diri sekali dirimu."
"Percaya diri memang di perlukan kapanpun ketika aku bersamamu." Sahut Alice santai, meletakan buku di tangannya ke atas meja.
Ekspresi Dante berubah kembali menjadi datar. Bola matanya menatap lekat gadis di depannya. "Kau tak takut padaku?"
Kepala Alice menggeleng cepat. Setengah wajahnya tersungging senyum miring. "Untuk apa takut denganmu. Kita sama-sama mahluk yang di ciptakan dari tanah oleh Tuhan."
Dante sedikit tertegun dengan ucapan Alice. Pria itu langsung mengalihkan tatapannya ke arah lain. "Tidurlah. Kau memang gadis yang keras kepala."
Alice tersenyum dalam hati. Tubuhnya ia geser sedikit lebih dekat ke samping Dante. "Bisakah kau usir dulu tikus di kamarku? Yeah, setidaknya agar aku bisa tidur nyenyak."
Dante menoleh, berdecih. "Usir saja sendiri."
Wajah Alice memberengut, kepalanya ia sandarkan ke punggung sofa. "Aku tak akan bisa tidur jika masih ada tikus-tikus itu!"
"Itu masalahmu. Kau sediri yang tak mau kembali ke tempat tinggal-mu." Balas Dante bersiap berdiri, namun pergelangan tangannya langsung di cekal Alice.
"Kalau begitu, aku mau tidur denganmu saja!" Pasrahnya, ia bukannya gadis murahan. Tapi dirinya memang takut pada tikus atau hewan sejenis kelabang yang mungkin saja datang dari hutan lalu menggigit kulitnya dengan gigi-gigi kecilnya itu.
Dante menyentak tangan Alice kasar, berdiri dari duduknya dan berkata tegas, "jangan menyusahkan ku, aku sudah terlalu terbebani akan kehadiranmu."
Setelah mengucapkan itu, Dante beranjak pergi menuju kamarnya. Alice segera mengejarnya dari belakang. Menahan pintu kamar pria itu sebelum tertutup rapat.
"Apa yang kau lakukan?" Dante melotot.
Bibir Alice menyeringai, menutup pintu kamar Dante secepat kilat dari dalam.
"Hehehe, aku memang gadis pemaksa. Temani aku tidur malam ini!" Bibir Alice tersenyum lebar.
"Apa kau sedang main-main denganku?" Dante menajamkan matanya. Tidak habis pikir dengan gadis di depannya yang selalu merecokinya setiap saat.
"Siapa yang main-main? aku selalu berkata apa adanya." Alice melangkah santai ke arah ranjang Dante yang tak empuk, namun sedikit nyaman dari ranjang yang ia gunakan tadi malam.
Tubuhnya ia hempaskan di sana. Tangan dan kakinya bergerak-gerak seperti kupu-kupu. "Sepertinya aku mau tidur di sini saja."
Dante menggeram sengit, memilih melangkah ke arah meja kerja. Mencoba mengabaikan gadis di atas ranjangnya yang tengah berceloteh tak jelas.
"Dante, kau belum tahu namaku kan?" Alice menyelutuk, matanya menatap langit-langit kamar kayu yang mungkin bisa roboh kapan saja.
"Namaku, Alice." Celetuknya.
Tanya sendiri, jawab sendiri!
Dante mendesah berat. Membuka lembaran kertas di depannya. Ia tengah melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda dari kemarin gara-gara mengurusi flashdisk-nya yang di curi oleh Alice.
"Aku hanya mau mengkonfirmasi sesuatu. Emh-apa kau itu mafia?" Tanya Alice pelan.
Dante sontak menghentikan pergerakan tangannya. Bola matanya menajam.
"Aku tak sengaja mendengar Adam berbicara dengan Leon tadi siang." Ujar Alice, menaut-nautkan jemarinya.
"Ngomong-ngomong. Umurmu berapa? Apa aku harus memanggilmu Om seperti pertama kali kita bertemu?" Alice menoleh ke arah Dante yang tengah terdiam. Pria itu bahkan tak merespon ucapannya sedari tadi.
"Diamlah. Kau sudah tahukan. Jadi tutup mulutmu itu. Jika tak mau aku robek nantinya!" Tegas Dante, tanpa membalikan tubuhnya.
Alice menyampingkan tubuhnya, memandang punggung lebar Dante yang tertutup kaos polos hitam itu lekat.
So cool
"Daddy Dante juga tak terlalu buruk." Alice mengakhiri kalimatnya dengan kekehan geli.
Dante membalikan tubuhnya. Kekesalannya kali ini sudah melampaui batas pada gadis bersurai panjang itu. Ia langsung berdiri dari duduknya. "Kau-"
DUARR
Suara ledakan tiba-tiba terdengar keras dari arah luar. Dante langsung saja menyibak kain jendela kamarnya kasar. Menampilkan sebuah kobaran api besar yang mungkin sebentar lagi akan mengelilingi rumah.
"Sialan!" Umpatnya marah.
"Ada apa, Dante?" Alice ikut mengalihkan pandangannya ke luar. Matanya sontak terbelalak kaget.
Dante beranjak cepat, mengemasi barang-barang penting miliknya di atas meja menjadi satu ke dalam tas ransel kecil.
Ia menarik tangan Alice, membawanya berlari keluar dari kamar menuju pintu masuk. Tapi sayangnya, pintu itu sudah terkunci rapat dari luar.
"Fuck." Maki Dante keras.
"Dante, bagaimana ini?" Alice resah, asap putih mulai mengepul di dalam rumah.
Dante memundurkan kakinya ke belakang. Bersiap mendobrak pintu di depannya. Walau sulit, tapi akhirnya tenaga pria itu tak terbuang sia-sia, karena pintu kayu tua itu akhirnya bisa terbuka.
"Jangan lepaskan tanganku, Dante!" Seru Alice, menggenggam tangan Dante erat bersiap mengikutinya lari keluar.
Dante tak menjawab, ia hanya mengencangkan genggamannya, berlari cepat membawa gadis itu keluar bersama dari rumahnya yang langsung meledak dan hancur begitu mereka sampai dengan selamat di luar.
Tapi sayang beribu sayang, pelarian mereka berdua sepertinya harus terhenti karena lima orang berpakaian hitam lengkap dengan senapannya sudah menunggu di ujung jalan.
Mata Dante berkilat nyalang, giginya mengetat, tangannya mencengkram genggamannya pada Alice lebih kuat. Persembunyiannya ternyata sudah di ketahui oleh Richard.
Alice sendiri meneguk ludahnya, dirinya di landa rasa kebingungan mendalam dengan apa yang terjadi padanya saat ini.
____________
Terimakasih sudah berkunjung ke cerita ini 🦋
KAMU SEDANG MEMBACA
Trapped with the devil
RandomBerawal dari sebuah flash disk, Alice harus terseret masuk ke dalam dunia gelap. Di mana ia di tawan oleh seorang mafia kelas atas bernama Dante Victorio Maxim. Pria gagah, tinggi, dan berwibawa yang di kenal kejam terhadap para musuhnya. Alice yan...