Selamat membaca teman-teman
¥¥¥¥¥
Setelah tiga jam lamanya mengudara di cakrawala. Alice akhirnya kembali lagi ke penjara mewah milik Dante. Ia kini memilih merebahkan tubuhnya ke ranjang, di salah satu kamar seluas lapangan basket, yang terletak di lantai dua, persis di sebelah kamar milik Dante.
Mengingat kamar berpintu hitam itu, Alice jadi tersadar jika Dante tak pernah sekalipun tidur di mansion. Pria itu selalu keluar tengah malam, dan kembali lagi ke mansion di pagi buta. Tentunya dalam keadaan mata merah dan penampilan acak-acakan.
"Kenapa aku jadi memikirkan pria keparat itu?" Alice merubah posisinya. Menatap keluar jendela kamar yang menampilkan langit siang dan rindangnya pepohonan pinus yang melambai-lambai mengikuti angin.
"Kapan dia akan menyentuhku, lalu membebaskan ku keluar dari sini?" Alice mendesah kasar, bangkit dari ranjang, melangkah menuju jendela kamar. Memastikan apakah Dante sudah kembali. Walaupun baru sepuluh menit yang lalu pria itu mengantarkannya ke mansion, dan pergi kembali bersama Adam terburu-buru menaiki mobilnya.
"Tidak mungkin pria itu kembali begitu cepat. Ia pasti akan kembali besok pagi." Alice memilih membawa kakinya masuk ke dalam kamar mandi. Menanggalkan seluruh pakaiannya, dan menyalakan shower. Mandi air hangat adalah pilihan terbaik untuknya saat ini.
Setelah lima belas menit, Alice akhirnya selesai dengan ritual mandinya. Keluar dari kamar mandi dengan lilitan handuk di tubuhnya. Berjalan santai menuju ke depan lemari besar dengan deretan pakaian mahal yang tersusun rapih. Tangannya bergerak, bersiap membuka handuk miliknya.
"Kau berniat mengganti pakaian mu di depanku?" Suara tajam seorang pria membuatnya spontan membalikan tubuh dan melotot kaget.
Dante, pria dengan wajah dinginnya itu, tengah berdiri menjulang di depan pintu dengan tangan terlipat ke depan dada. Tatapan matanya begitu intens. Tak bisa di pungkiri oleh Alice, jika pria itu sangat tampan dengan balutan penampilan formal yang selalu melekat di tubuhnya.
"Kapan kau di sana?" Teriak Alice mengencangkan lilitan handuk miliknya. Bernapas lega karena ia belum sempat menanggalkannya tadi.
Dante melangkahkan kakinya tegas, mendekat pada gadis yang mulai berdiri was-was dan memundurkan kakinnya perlahan.
"Kemana gadis pemberani tiga jam lalu itu pergi?" Dante menaikan alisnya. Satu langkah, dua langkah, tiga langkah. Pria itu mulai menyudutkan Alice hingga terpojok pada lemari di belakang. Tubuh mereka begitu dekat. Satu inci lagi, mungkin mereka sudah saling menempel.
Hembusan napas kasar keluar dari mulut Alice. Kepalanya mendongak, netra coklatnya bertabrakan dengan bola mata biru pria itu. "Hilang. Di telan orang utan. Minggir lah Dante, jangan memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan hidupku!"
Salah satu tangan Alice berusaha mendorong bahu kokoh Dante yang terlapis jas mahal itu kuat.
"Seperti ini maksudmu?" Dante menyeringai, kedua tangannya menempel ke lemari di belakangnya, mengukung Alice posesif. Udara di sekitar mereka, mulai terasa sesak dan panas.
"Dante, kau-" Alice mendesis kesal, matanya mendelik berang.
"Sebenarnya apa maumu?!" Tanya Alice keras. Sebelah tangannya masih menempel pada bahu pria itu, berusaha menahan pergerakannya lebih jauh.
"Apa kau berniat menyentuhku sekarang. Lalu membebaskan ku?" Lanjut Alice bibirnya tersungging senyum remeh. Tangannya merambat naik ke leher pria itu.
"Mungkin. Tapi tidak untuk saat ini. Karena aku masih punya akal sehat untuk tak melepaskanmu begitu saja." Dante menekankan kata-katanya. Tubuh kokohnya mundur ke belakang, memasukan tangannya ke kantong celana bahan miliknya.
Alice berdecih. Di lubuk hatinya yang terdalam, dirinya memang sedikit ketakutan. Namun jika Dante akan menyentuhnya detik ini, maka Alice dengan berani akan menyerahkan tubuhnya. Tapi itu juga tidak cuma-cuma, karena bayarannya adalah sebuah kebebasan untuknya menjalani hidup sedia kala.
"Lalu, untuk apa kau kemari?" Alice mengencangkan handuk yang masih melekat di tubuhnya agar tak melorot.
"Buatkan aku makanan." Jawab Dante lugas. Belum sempat Alice menyahut, pria itu sudah lebih dulu berbalik dan membawa kaki panjangnya menuju pintu kamar bersiap keluar.
"Lain kali jangan lupa kunci pintu kamar, bodoh." Desisnya tajam, berdiri di ambang pintu, sebelum akhirnya menutupnya cukup keras.
BLAM
Pupil mata Alice melebar, buru-buru ia berlari ke arah pintu kamar dan menguncinya rapat-rapat. "Sialan. Kenapa kau lupa mengunci pintu ini, Alice kampret!"
_____________
Terimakasih sudah berkunjung ke cerita ini 🦋
KAMU SEDANG MEMBACA
Trapped with the devil
RandomBerawal dari sebuah flash disk, Alice harus terseret masuk ke dalam dunia gelap. Di mana ia di tawan oleh seorang mafia kelas atas bernama Dante Victorio Maxim. Pria gagah, tinggi, dan berwibawa yang di kenal kejam terhadap para musuhnya. Alice yan...