#03. Hah? Siapa?

712 69 0
                                    

Pukul 8.30 malam, empat remaja dengan seragam SMA Purnama Biru yang masih melekat di tubuh, menginjakan kaki di lobi salah satu gedung apartemen. Melangkah beriringan menuju lift berada. Di sekitar mereka tampak beberapa orang yang berlalu lalang, berdiri di dekat pintu seraya mengobrol ataupun sekedar duduk santai di sofa yang disediakan.

Keempatnya asik tertawa karena cerita tentang kejadian lucu yang mereka alami tahun lalu. Tidak peduli meski tawa mereka mungkin mengganggu orang-orang sekitar, ACIN sungguh tak mampu menahannya.

"Kapan-kapan ke sana lagi yuk, kangen gue sama tempat itu," ucap Ian setelah tawanya reda.

Amory mengangguk setuju, dia bahkan memberikan jempolnya pada Ian seraya membalas, "Harus pokoknya."

"Salah satu dari kita agaknya harus ada yang bikin SIM, deh. Biar gampang." Kali ini Cakra yang buka suara, memberikan pemikirannya.

"Benar juga. Biar bisa jalan-jalan tanpa was-was. Fiks, besok gue nyoba, ah," timpal Nevan. Lagipula, akan lebih mudah kalau salah satu dari mereka ada yang mampu mengemudi secara legal. Bisa bepergian dengan mobil tanpa harus takut ditangkap Polisi. Selama ini mereka berempat selalu bepergian dengan bus, sesekali dengan kereta sekalian melihat pemandangan.

"Omong-omong, lift penuh tuh." Ian menunjuk orang-orang di depan lift dengan dagunya seraya mengatakan kalimat itu. "Tangga aja nggak, sih?" lanjutnya.

"Hm, sekalian olahraga," timpal Nevan yang memasukan kedua tangannya pada saku celana.

Meski diam saja, Cakra tampaknya juga setuju. Namun, ada satu yang sepertinya akan mengeluh. Dilihat dari raut dan gelagatnya.

"Ogah! Nanti kaki gue copot." Nah, kan, benar. Amory menahan tas Nevan yang hendak berbelok menuju tangga. "Lagian, olahraga itu cukup satu Minggu sekali. Bareng Pak Roji yang terpuji."

Tak

"Auhh."

"Ikut aja, sih, Ry. Nggak usah komentar."

Setelah sukses menyentil kening Amory, Nevan segera menyeret tas gadis itu. Membawanya ke arah tangga dan Amory memilih pasrah. Oke, tampaknya ketiga temannya tidak akan bisa dia bujuk.

Ting!

Bunyi notifikasi terdengar, Nevan yang tahu kalau itu berasal dari ponselnya segera melepaskan tas Amory. Membuat gadis itu berjalan normal meski bibirnya dimajukan.

Tangan Nevan merogoh saku jas Purnama Biru yang dia kenakan, melihat layar ponselnya, lalu menghela napas kala membaca apa yang tertera.

"Berita penculikan lagi?" Cakra bertanya kala tak sengaja melirik Nevan.

Mengangguk kecil, Nevan kembali memasukan ponselnya pada saku. Biarlah, artikel terbaru yang masuk pada ponselnya dia baca nanti. Membaca saat menaiki tangga tampaknya bukan ide yang bagus. Jangan heran kenapa Nevan mendapatkan notifikasi itu, sebagai calon jurnalis kasus kriminal dia selalu tertarik dengan artikel yang berhubungan dengan itu.

"Apart gue lantai delapan dan ini baru lantai enam. Eeuurrggghhh LELAH!!" keluh Amory. Langkahnya bahkan sudah tak terkondisikan. Dia memegang gagang tangga erat-erat guna menopang tubuh mungilnya itu.

"Stamina lo jelek banget, Ry," komentar Ian yang berjalan paling depan. "Gimana ma──"

Mulut Ian berhenti, kakinya pun juga sama. Sorotnya terarah pada satu titik, bingung sekaligus terkejut dengan apa yang dilihatnya. "Guys..." panggilnya dengan suara kecil. Itu membuat ketiga temannya mengernyit bingung. Cakra menapaki anak tangga selanjutnya, ingin melihat apa yang membuat temannya itu berhenti.

Tak seperti Ian yang spontan terdiam, Cakra malah sebaliknya. Dia langsung bergerak cepat menghampiri seseorang yang tergeletak begitu saja di dekat pintu masuk lantai tujuh. Pria itu berjongkok di sisi tubuh orang itu, memperhatikan kondisinya yang tampak mengenaskan. Telapak kakinya terluka, menunjukan kalau dia sudah berkeliaran tanpa alas untuk waktu yang lama. Wajahnya kusam, rambut pendeknya lepek, dan dress putih selutut yang dia kenakan terlihat cukup lusuh dengan beberapa noda merah di sana. Yang paling mencolok adalah luka sayatan di bagian lengan atasnya. Memang tak lagi mengalirkan darah, namun sisa-sisanya masih tercetak di sana.

"Gue telpon polisi."

Meski terkejut, Amory segera merogoh saku roknya, mengambil ponsel dari sana, dan segera menyalakan benda itu. Hendak menekan beberapa digit angka, tapi tak jadi kala Nevan dan Cakra tiba-tiba mencekal lengannya. Kedua orang itu sama-sama menyorot tepat pada netra Amory, berusaha memberikan ketenangan agar Amory tak terlalu tegang hingga keliru dalam mengambil keputusan.

"Ry, jangan dulu polisi." Ian mendaratkan tangannya pada pundak Amory, menepuknya dua kali hingga perlahan Amory menurunkan tangannya. Kembali menyimpan ponsel ke tempat semula. Gadis itu memejamkan mata, menarik napas dalam, lalu menghembuskannya lewat mulut. Oke, benar, di situasi semacam ini dia tidak harus langsung berurusan dengan polisi.

"Terus, ini gimana? Panggil satpam, kah? Gue nggak pernah lihat dia sebelumnya," ucap Amory kala dirinya sudah tenang. Sungguh, sebelumnya dia sangat takut dan terkejut dengan apa yang dilihatnya. Baginya orang itu bukan sekedar pingsan semata. Ayolah, tampilan dan lukanya begitu mencurigakan.

"Bawa ke apartemen lo aja, Ry. Tunggu dia sadar," balas Nevan diangguki Cakra.

Dengan setujunya mereka berempat, Cakra membawa orang asing itu di punggungnya. Tentunya dibantu Nevan saat dia menaikannya. Tidak ingin mencuri perhatian, Nevan melepaskan jas yang dia pakai, menyampirkannya pada orang asing itu agar lukanya tak terlihat.

"Gue ke apotek bentar."

Tanpa menunggu balasan, Amory membuka pintu masuk lantai tujuh, meninggalkan ketiga temannya karena seingatnya tidak ada P3K di apartemennya.

•••

Meringis akibat rasa sakit di seluruh tubuh, dia perlahan membuka kelopak matanya. Mengerjap-ngerjapkannya guna membiasakan pencahayaan yang masuk.

"Guys, guys, bangun."

"Eh, bangun?"

Suara grasak-grusuk dan perbincangan masuk ke telinganya, dia mengedarkan pandang, menemukan tiga sosok lelaki sedang berkumpul di sisi tubuhnya. Sadar akan situasi, dia seketika bangkit, menjauhkan diri dari mereka yang sebenarnya tidak cukup dekat dengannya. Sensasi empuk dan nyaman dari alasnya, membuatnya sadar kalau dia ada di atas ranjang. Memeluk dirinya sendiri, gadis itu menatap tajam Cakra dan dua temannya. "Kalian siapa anjing? Kenapa gue ada di sini?" tanyanya jauh dari kata ramah.

Ian mengangkat tangannya seolah sedang digrebek polisi. "Astaga, kita nggak ngapa-ngapain sumpah," ucapnya ingin meluruskan. Ayolah, dia tidak ingin disangka macam-macam.

Terdiam sesaat, si gadis menelisik wajah-wajah tiga lelaki itu. Rasanya tidak asing, dia sepertinya pernah mel──  "ACIN?" gumamnya saat sadar.

"Woahh, anak Purnama Biru?" Ian yang pertama bereaksi, lelaki yang masih mengangkat tangan itu mengukir senyum di bibirnya karena merasa bangga dikenali seperti ini.

Meski tahu siapa mereka, si gadis tetap memasang raut waspada, tatapannya sangat tajam seolah dia hendak mengintimidasi. Reaksi yang buruk kalau mengingat dia sudah ditolong oleh mereka.

"Lo pingsan di tangga. Ini apartemen Amory. Kami sama sekali nggak lakuin apa-apa sama lo, jadi, rileks dan jangan terlalu waspada. Mau coklat panas atau teh anget?" tawar Cakra.

•••

19.09.2022

The Secret [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang