Sorot Cakra terpaku pada layar ponsel di genggamannya. Dia menonton berita dari 15 hari yang lalu yang mengatakan tentang kasus Adhisty. Begitu nama korban disebutkan dan wajahnya ditampilkan, Cakra tidak mampu mencerna apa-apa lagi. Dia sangat terkejut hingga tidak mengerti harus apa.
"Mas Cakra. Mas."
Seorang wanita paruh baya di samping Cakra memanggil-manggil pemuda itu kala melihat ada yang aneh dengannya. Rasa panik menelusup, khawatir kalau ada hal buruk yang menimpa Cakra. Terlebih setelah dia melanggar perintah Kenzura dan memberikan ponselnya pada Cakra.
"Mas Cakra." Sekali lagi wanita yang ditugaskan Kenzura sebagai perawat pribadi Cakra itu memanggilnya. Namun, lagi-lagi Cakra tak memberikan reaksi. Pria itu bahkan belum berkedip sejak tadi.
Si perawat mengangkat lengan kanan, menyentuh bahu Cakra guna menyadarkan. Namun, entah apa yang terjadi, Cakra tetap diam seolah jiwanya berada di tempat yang berbeda. Si perawat semakin panik dan itu membuatnya bergerak menuju tombol di sisi kepala ranjang Cakra. Hendak menekannya sebelum suara Cakra menghentikannya.
"Ayah Ian..."
Si perawat membawa pandangan pada Cakra yang kini sudah menyimpan ponsel di sisi tubuhnya. Pria itu terlihat aneh dengan kedua mata yang memerah seperti hendak menangis.
"Mas Cakra, ada keluhan?" tanya si perawat.
Cakra menggelengkan kepala. Dia menunduk dengan kedua tangan yang bertaut di pangkuannya. "Maaf, tolong biarin saya sendiri dulu, Sus," lirihnya.
Mengerti, perawat itu mengangguk sekali. Setelah mengucapkan satu dua kata undur diri, dia menjauh dari ranjang Cakra. Mendekat ke arah pintu dan hendak membukanya. Namun, belum juga tangannya mendarat pada pintu itu, pintu sudah digeser dengan kasar hingga terbuka lebar. Dia yang berada tepat di depan pintu jelas saja terkejut, menatap aneh seorang remaja berambut ikal di depannya yang kini tersenyum kikuk ke arahnya.
"Maaf, Sus," ucap remaja itu menggaruk telinganya sendiri.
Si perawat tersenyum hangat. "Tidak apa-apa, Dek," ucapnya. "Saya permisi duluan."
Ian mengangguk, memberikan jalan pada perawat itu agar bisa keluar. Setelahnya dia kembali menggeser pintu guna menutupnya. Membawa pandangannya pada Cakra yang menatapnya dengan sorot tak biasa. Ian bergidik, tatapan Cakra terasa menggelikan untuknya. Pikirnya, apa dia seterharu itu melihat Ian datang menjenguk? Bukankah itu wajar?
"Whoaah, kenapa lo, Cak? Errr, jelas ada yang aneh sama lo. Apa 3% kewarasan lo ilang saat operasi?" tanya Ian mendekati Cakra.
Perasaan menyesakan masih belum hilang di dadanya, tapi setelah mendengar segala macam ceramah disertai umpatan dan kalimat-kalimat yang menampar dari kakaknya, Ian menjadi sedikit lebih baik. Dia memutuskan untuk mulai menata dirinya kembali, tidak boleh terus murung dan memberatkan ayahnya yang sudah berpulang. Dia tidak sendirian, dia memiliki Destria dan ibunya. Dia juga memiliki ACIN di sisinya.
"Cak, lo betulan aneh. Kenapa, sih, natap gue mulu?" Ian menggaruk tengkuknya sendiri kala bertanya itu. Heran karena Cakra terus menatapnya bahkan setelah dia duduk di kursi samping brankarnya.
"Soal ayah lo... gue ben──"
"A, a, soal itu. Santai aja, gue udah selesai berduka," potong Ian begitu Cakra mulai menyinggung ayahnya.
Cakra menggeleng, membuat Ian memiringkan sedikit kepalanya.
"Gue beneran nggak tahu itu ayah lo sumpah."
Ian semakin heran setelah kalimat itu Cakra ucapkan. "Maksud lo gim──"
"Gue tahu sejak awal kalau Adhisty bunuh orang, tapi gue beneran nggak tahu kalau itu ayah lo, Yan."
"Tapi tadi lo bilang sama gue lo tahu, Cak."
Ian dan Cakra sama-sama menoleh ke arah sumber suara, menemukan Nevan tengah berdiri di ambang pintu. Saking seriusnya Cakra, dia sampai tak tahu kalau seseorang membuka pintu ruangannya.
•••
Pintu besar di depan Kenzura dibuka oleh seorang pria berpakaian serba hitam yang sejak tadi siaga di samping pintu. Kaki berlapis sepatu pantofel hitam mengkilapnya ia langkahkan memasuki ruangan di balik pintu. Kedua tangannya masuk ke dalam saku celana, berjalan gagah ke arah meja megah di ujung sana.
Kantor Presdir El Group. Ya, tempat itu yang Kenzura kunjungi.
"Mau minum kopi sama-sama?" tanya Kenzura begitu menghentikan langkah tepat di depan meja kerja Theo.
Satu tangan Theo naik, melepas kacamata yang dipakainya. Begitu tangan itu turun, giliran tangan lainnya yang naik, menekan kedua matanya dengan jempol dan jari telunjuk seraya menyenderkan punggung pada sandaran kursi.
"Papa kayaknya terlalu memaksakan diri. Bukannya lebih baik suksesi Kak Adi dipercepat, ya? Papa bisa serahin semuanya sama Kak Adi," ucap Kenzura mengambil posisi di belakang ayahnya. Kedua tangannya yang naik mendarat pada sisi kening Theo. Memijatnya lembut hingga ayahnya itu memejamkan mata rileks.
"Papa belum mutusin siapa yang akan duduk di kursi ini. Sebenarnya kamu lebih kompeten daripada Adinata."
"Eiyyyy, Papa nggak seharusnya bilang gitu. Kak Adi anak sulung, udah seharusnya dia yang ambil alih perusahaan," balas Kenzura membantah. Begitulah dia, disaat semua saudaranya berebut ingin perusahaan, Kenzura malah dengan suka rela mendukung orang lain. Bagaimanapun lelaki itu tidak ingin perpecahan.
"Di zaman modern siapa yang peduli dengan itu? Keuntungan El Air turun 3% sejak Adinata mimpin. Sedangkan El Bio cetak sejarah produksi baru sejak kamu naik jabatan," ucap Theo menunjuk kepala bagian atasnya. Meminta putra keduanya itu untuk memijat bagian sana.
Bungkam beberapa saat, Kenzura memilih untuk tidak menjawab. Lelaki itu menyelesaikan pijatan singkatnya, memutar guna kembali berhadapan dengan sang ayah. "Aku ke sini bukan mau bicarain perusahaan," paparnya. "Ini soal Cakra."
Mendengar nama Cakra, raut rileks Theo berubah. Pria berumur itu menghindari beradu kontak dengan Kenzura. "Kenapa dengan anak itu?" tanyanya.
"Cakra udah bangun. Aku dengar cerita dari Nevan tentang mereka yang berusaha ungkap kebusukan kepala sekolah atau apapun itu. Yang aku dengar, kepala sekolah Purnama Biru adalah orang dibalik penculikan anak remaja di kota kita. Cakra sama teman-temannya nggak seharusnya urus itu. Itu bahaya buat mereka. Bahkan kecelakaan kemarin pun kesengajaan. Aku mau izin nempatin pengawal buat Cakra, Pah. Setidaknya kalau dia lakuin aneh-aneh lagi, ada pengawal yang jaga dia," jelas Kenzura mantap. Bagaimanapun sebagai seorang kakak dia tidak ingin hal buruk menimpa adiknya.
Theo berdeham tidak nyaman, tangan kanannya naik dan melonggarkan dasi yang dipakainya. "Kamu percaya anak-anak? Nevan cuma bicara asal aja," balasnya.
"Meski begitu aku tetap minta izin pengawalan buat Cakra, Pah. Mobil, sopir, bodyguard." Kenzura tetap tak mau menyerah.
Theo menatap mata Kenzura beberapa detik, setelahnya dia melengoskan wajah. Memakai kembali kacamata dan tangannya mulai meraih berkas-berkas di atas meja. "Cakra nggak butuh hal-hal kayak gitu. Saya sibuk, kamu bisa keluar, Zura," ucapnya.
Kenzura menghela napas, telapak tangannya mendarat pada sisi meja, tubuhnya ia condongkan, dan itu membuat Theo menatapnya tak nyaman. "Kalau gitu apa Papa mau Cakra rusak reputasi El Group? Papa tahu sendiri, satu hari setelah kecelakaan rumah kita digeledah karena Cakra berhubungan sama buronan. Cakra ngelakuin sesuatu, Pah. Bukannya El Family nggak boleh ketahuan punya catatan kriminal satu pun?" Suara Kenzura merendah, senyuman miring tercetak di bibirnya kala kalimatnya berakhir. Tidak ada jalan lain selain seperti ini kalau dia mau Cakra mendapatkan perlindungan.
Theo tampak berpikir, kedua tangannya bertautan dengan sikut yang bertumpu pada meja. Beberapa saat berlalu, Theo akhirnya buka suara. "Kamu bisa urus. Pastiin adik kamu itu nggak ngelakuin apapun yang membahayakan kita." putusnya dan senyuman manis terpampang indah pada wajah Kenzura. Jujur, begitu mendengar kecelakaan Cakra adalah kesengajaan, dia sangat marah hingga rasanya ingin memukul siapa saja. Baginya, keluarga itu adalah segalanya. Selama keluarganya baik-baik saja, Kenzura tidak butuh apapun lagi.
•••
05.12.2022
KAMU SEDANG MEMBACA
The Secret [COMPLETED]
Misteri / Thriller"Semuanya dimulai dengan malam, hujan, dan seragam." ACIN tidak pernah menyangka kalau mereka akan terlibat dengan sebuah kasus penculikan hingga bersinggungan dengan psikopat hanya karena menolong gadis yang tak sadarkan diri di tangga gedung apart...