#77. Pergi

205 25 0
                                    

Getaran pada ponsel yang digenggam Nevan terasa sesaat setelah pria basah kuyup itu menutup pintu apartemen Amory. Melihat layar ponsel, dia menaikan satu alis kala sebaris nomor tanpa nama yang menghubunginya. Menimang sebentar, lelaki itu akhirnya memilih menerimanya, menempelkan ponsel pada telinga, kemudian berkata, "Halo."

"Nevan, ini Tante Jena, teman bunda kamu."

Tante Jena? Nevan tahu siapa itu. Dia sempat bertemu dengannya beberapa kali karena memang orang yang bernama Jena itu adalah salah satu teman dekat bundanya yang bekerja di bidang yang sama.

"Iya, Tan, kenapa?" tanya Nevan. Bagaimanapun rasanya aneh Jena menghubunginya seperti ini.

"Kamu di mana? Lagi sama siapa? Ada ayah kamu di sana?" tanya Jena beruntun.

Nevan tentu saja kebingungan dengan pertanyaan itu. Ayolah, untuk apa Jena memberondonginya dengan pertanyaan posesif yang membuat tidak nyaman itu? Meski begitu, Nevan tetap menjawabnya dengan berkata, "Aku ada di apartemen teman, Tan. Ayah... ayah nggak ada di sini. Emangnya ada apa, Tan? Tante lagi sama bunda?"

Untuk beberapa detik balasan tak kunjung Nevan dapatkan, hal itu membuatnya harus memanggil Jena hingga akhirnya suara gugup Jena terdengar lagi.

"Nevan, Sayang, ayah kamu nggak bisa dihubungi. Kamu tahu di mana dia?" tanya Jena.

Kenapa Jena terus menanyakan ayahnya? Setidaknya begitulah yang sekarang Nevan pikirkan. Jena menghubunginya sudah aneh, semakin aneh karena suara gugup, nada tak biasa, dan kenyataan kalau dia terus menanyakan ayahnya. Entah kenapa, tapi perasan Nevan tiba-tiba menjadi buruk. Seperti ada yang mengganjal di hatinya. Ah, sejak awal perasaan itu sudah buruk karena ayahnya, tapi sekarang rasanya tiga kali lipat lebih buruk. Terasa menyedihkan dan cukup sulit Nevan kendalikan.

"Siang tadi aku ketemu ayah di rumah. Kalau sekarang nggak tahu. Tan, ada apa sebenarnya? Kenapa Tante terus tanyain ayah?"

Samar-samar Nevan bisa mendengar keributan dari ponselnya, Jena tampaknya tidak sedang berada di tempat yang normal. Langkah kaki terburu-buru juga bisa Nevan dengar, sepertinya Jena berpindah tempat karena keributan samar itu sekarang sudah hilang.

"Tan," panggil Nevan ingin jawaban.

"Nevan, dengar Tante baik-baik, oke? Ayah kamu nggak bisa dihubungi jadi Tante akan kasih tahu kamu. Teman kamu ada di sana, kan? Jangan jauh-jauh dari mereka." Jeda sesaat, Jena terdengar menarik napas dalam seolah dia akan mengatakan hal yang yang berat. "Ada hal buruk yang terjadi sama bunda kamu, Van. Dia udah nggak ada sekarang. Nevan, kamu bisa ke rumah sakit tempat Bunda kamu kerja, kan, Sayang? Minta antar teman kamu ke sini," papar Jena dengan suara bergetar. Jelas sekali kalau wanita itu tengah menahan tangisannya.

Nevan? Oh, dia sekarang membeku di depan pintu, isi kepalanya seolah hilang setelah mendengar kalimat yang Jena katakan. Apa ini? Apa maksudnya? Udah nggak ada? Itu... Nevan harus menerjemahkannya seperti apa?

Nevan menumpukan tangan pada tembok di sisinya saat tubuhnya melemas. Dia sekarang sudah bisa menangkap dengan jelas maksud dari Jena. Ian yang memperhatikan itu mendekat pada Nevan, bertanya kenapa saat melihat sepasang netra sang teman berkaca-kaca.

Tutt

Mematikan sambungan, Nevan menatap Ian yang berada tepat di depannya. "Yan, tolong bilang kalau ini mimpi," ucapnya.

"Hah?" Ian tentu saja tak menuruti Nevan. Lagipula ada apa dengan temannya itu? Nevan sekarang tampak linglung dan bodoh.

"Yan, katanya bunda gue meninggal," ucap Nevan disusul tawa hampanya. "Teman bunda gue pasti bohong, kan, Yan? Masa iya bunda meninggal," lanjutnya kembali tertawa hampa. Mulutnya memang tertawa, tapi sekarang air mata mengalir di pipinya.

Cakra, Amory, dan Adhisty sama-sama mendekat, terkejut dengan kondisi dan apa yang Nevan ucapkan.di tengah kekacauan ini, hal buruk benar-benar terjadi.

Tring
Tring
Tring

Bunyi notifikasi pesan keluar dari ponsel yang masih Nevan genggam. Tangan lelaki itu bergerak, membawa ponsel ke depan tubuhnya agar dia bisa melihat pesan apa itu. Bisa saja Jena yang mengirimnya, mengatakan surprise atau apapun guna meralat perkataannya di telepon tadi. Namun, alih-alih Jena, nomor asing lainnya yang mengirimkan pesan, dua buah foto, dan satu pesan teks. Begitu melihatnya, tangan Nevan yang bergetar dan dingin itu terasa kebas dan membesar, tenaganya hilang dan ponsel terlepas dari genggaman. Membuat Amory memungutnya dan melihat apa yang tertera di layar.

Tangan Amory seketika membekap mulutnya sendiri, gigi-giginya terasa sakit begitu melihat dua foto yang ada di ponsel Nevan. Vellia, orang yang sudah dia anggap sebagai bundanya sendiri terkulai lemas di lantai, matanya tertutup, jas putih yang dia kenakan sebagiannya telah berubah menjadi merah. Genangan darah tercipta di titik dia terkulai.

-By Number 1

Itulah yang Amory baca di pesan terakhir yang dikirimkan. Sungguh, setelah melihat semua itu, Amory tidak mampu untuk baik-baik saja.

•••

Ruang introgasi terasa sangat suram dengan kepala sekolah yang terus bungkam dan seorang penyidik di ambang batas kesabaran. Ayolah, kepala sekolah benar-benar tidak mau kooperatif meski penyidik sudah sangat pengertian padanya.

Menghela napas kasar, penyidik itu mengurut keningnya sendiri sebelum bangkit dari duduknya. Segelas kopi sepertinya cukup bagus untuk menurunkan tingkat stressnya. Saat tangannya mencapai kenop, suara kecil kepala sekolah membuatnya tak jadi menarik pintu.

Menoleh ke belakang, penyidik itu bertanya, "Anda bilang apa?"

Tanpa mengangkat pandangannya dari bawah, kepala sekolah mengulang perkataannya. "Purnama Biru," ucapnya.

Penyidik itu menaikan alisnya, tak jadi membuka pintu, dan mendekat ke arah kepala sekolah. Menyentuh bahunya dan merunduk guna mendekatkan telinga pada mulut kepala sekolah. "Apa yang mau Anda katakan?"

Kepala sekolah akhirnya mengangkat kepala, sorotnya terasa sangat kosong dan gurat lelah sangat jelas tergambar di wajahnya. Dia tampak seperti seorang pria tua yang kehilangan seluruh harta dan orang yang dicintainya. Benar-benar sangat tak bergairah. "Anak-anak itu ada di Purnama Biru. Korban penculikan," paparnya.

"Anda bisa mempertanggung jawabkan perkataan Anda? Mempermainkan polisi tidak akan berdampak baik pada Anda," ucap sang penyidik yang telah kembali menegakan tubuh. Tangannya juga sudah terlepas dari bahu kepala sekolah, memilih memasukan tangan itu pada saku jaket parasut hijau tuanya.

"Cepat. Cepat sebelum ada korban selanjutnya," ucap kepala sekolah.

Sang penyidik menggaruk telinganya, cara bicara kepala sekolah sungguhan menyebalkan karena nyaris tidak jelas. Dia seperti bicara dengan tenggorokan kering tanpa cairan sama sekali. Padahal segelas air mineral tersedia di depannya. "Anda berkata apa?" tanya penyidik itu.

Brakk

Alih-alih menjawab, kepala sekolah malah menggebrak meja, kedua tangannya yang diborgol naik, dan mencengkeram kerah si penyidik, menariknya hingga wajah penyidik itu berada sangat dekat dengan wajahnya. "Cepat ke Purnama Biru! Akan ada yang mati lagi!" sentak kepala sekolah diiringi pelototannya.

Mendengar itu, si penyidik menyentak lengan kepala sekolah. "Sialan!" makinya seraya membalikan badan, melangkah cepat keluar dari ruang introgasi dan memanggil semua rekannya. Yah, tentu saja Purnama Biru menjadi tujuan mereka.

•••

02.02.2023
05.02.2023

Guys, pengen peluk Nevan. Aku nggak akan sanggup kalau harus jadi Nevan. Bayangin, dari lelaki paling bahagia berubah sepenuhnya jadi lelaki paling sengsara. Huwaaaaa, Nevan, yang kuat, oke?

The Secret [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang