Adhisty berjalan di trotoar jalan lingkungan apartemen Amory tanpa alas yang melindungi kakinya. Beberapa meter di belakangnya, ada Cakra yang juga berjalan mengikuti dengan tangan kiri menjinjing sandal dan tangan kanan menggenggam jaket. Keduanya dia ambil secara terburu-buru dari apartemen setelah membiarkan Adhisty pergi dari hadapannya tadi.
Tepat setelah Adhisty mengatakan kalimat yang membuat banyak pertanyaan berkumpul di kepala Cakra, gadis itu melepaskan diri dari Cakra, menatap sendu lelaki itu kemudian berkata kalau dia ingin menenangkan diri di luar dan, ya, Cakra membiarkannya meski dia tetap mengikuti.
Azan magrib berkumandang, tapi Adhisty masih belum mau untuk berhenti. Langkah kakinya yang kecil tetap berjalan tanpa tujuan yang pasti. Dia hanya ingin mencari ketenangan.
Banyak kendaraan berlalu lalang di jalanan, baik itu kendaraan roda dua ataupun roda empat. Semuanya jelas tidak mau repot-repot untuk memperhatikan Adhisty dan tentu saja Adhisty juga tak ingin repot-repot memedulikan itu.
Di pikirannya sekarang hanya ada benang kusut yang dia sendiri tak tahu di mana ujungnya. Dia bingung dan takut dengan keadaannya sendiri. Perkataannya beberapa saat lalu pada Cakra memperburuk itu semua. Dia bahkan tak tahu kenapa dia dengan mudahnya mengatakan itu.
Sekarang bagaimana? Apa yang akan terjadi? Apa dia akan diseret ke penjara? Apa mimpinya akan ditarik darinya? Apa hidupnya telah berakhir sampai sini? Pertanyaan-pertanyaan itu terus terputar di kepala Adhisty tanpa ada satupun yang bisa dia jawab. Ini menyesakan hingga tanpa sadar air matanya kembali keluar. Mengalir di wajah cantiknya tanpa permisi.
Rasa frustasi itu kembali meningkat, perlahan melemahkan Adhisty hingga kakinya kesulitan menopang tubuhnya sendiri. Memilih berjongkok di trotoar, Adhisty menenggelamkan kepalanya sendiri pada lipatan lutut tanpa peduli di mana dia sekarang. Persetan, isi kepalanya terlalu berantakan untuk bisa peduli dengan itu.
Adhisty bisa merasakan sesuatu mendarat pada punggungnya, sebuah jaket yang dia duga diletakan Cakra di sana. Bagaimanapun, angin berhembus dengan kencang. Kemungkinan besar hujan akan turun beberapa saat dari sekarang.
Adhisty tetap diam pada posisinya, menumpahkan air matanya tanpa suara di sana. Cakra sendiri juga diam, hanya berdiri di sisi Adhisty. Menjadi penengah antara gadis itu dan jalanan.
Beberapa saat berlalu, Cakra mengangkat lengannya, mengarahkan telapaknya ke langit hingga buliran air hujan terjatuh di sana. Rupanya hujan benar-benar muncul.
Meski sejujurnya dia tidak ingin mengganggu Adhisty, tapi dia jauh lebih tidak ingin membiarkan gadis itu terguyur hujan. Karenanya Cakra merunduk, mendaratkan tangannya pada bahu Adhisty lalu berkata, "Hujan. Udahan, ya?"
Meski ada sedikit jeda, tapi Adhisty pada akhirnya tetap bereaksi. Dia menepis pelan lengan Cakra dari bahunya, bangkit berdiri seraya mengusap wajahnya yang basah. Itu membuat jaket yang tersampir di bahunya jatuh begitu saja.
Cakra tentu saja mengambil jaket itu, kembali memasangkannya pada Adhisty meski tidak sempurna dipakai. Namun, setidaknya itu cukup untuk menghalau dingin.
Cakra meraih tangan Adhisty, menggenggamnya, lalu menarik gadis itu untuk kembali ke apartemen. Namun, Adhisty tidak bergerak. Gadis itu tampaknya tidak ingin pergi. Itu membuat Cakra menolehkan kepala ke belakang, menatap Adhisty tepat di matanya.
"Gue nggak bisa ke apartemen," ucap Adhisty kecil. Jauh berbeda dengan Adhisty yang dikenal ACIN sebagai gadis kasar.
Cakra tersenyum kecil, mengerti dengan keinginan gadis itu. Karenanya dia berbalik arah, membawa Adhisty ke arah yang berlawanan dengan gedung apartemen Amory hingga akhirnya keduanya telah sukses berada di halte bus. Duduk bersisian di kursi tunggu seraya memperhatikan hujan lebat yang turun di hadapan mereka.
"Lo... nggak marah?"
Setelah beberapa saat hening, Adhisty akhirnya buka suara. Bertanya tanpa menoleh pada Cakra.
Cakra menaikan kedua alisnya, menoleh ke samping, lalu bukannya menjawab dirinya malah balas bertanya, "Marah? Buat apa?"
Adhisty membawa pandangannya ke bawah, memperhatikan kakinya sendiri yang sekarang sudah terlapisi sandal. Meremas ujung baju yang dia pakai kemudian berkata, "Gue bunuh orang. Itu fakta." Sesungguhnya dia harus mengumpulkan banyak keberanian untuk mengatakan kalimat itu. Dia sudah memikirkannya dan tampaknya memberi tahu Cakra tentang ini adalah satu-satunya pilihan. Toh, dia sudah kelepasan saat masih di apartemen tadi.
"Gue pembunuh. Manusia kotor. Bajingan. Gue nggak pantas ditolong. Gue nggak ada bedanya sama si Babi Gemu──"
"Alasan. Apa alasan lo bunuh orang? Itu ada hubungannya sama kepsek? Lo masih sembunyiin sesuatu?" potong Cakra menghentikan Adhisty yang merendahkan dirinya sendiri.
Adhisty memejamkan matanya. Dia sudah memutuskan untuk mengaku pada Cakra, dia harus memberi tahukan segalanya pada lelaki di sampingnya ini. Mengepalkan kedua tangan di atas paha, Adhisty akhirnya menoleh ke samping. Bertatapan langsung dengan Cakra. Meyakinkan diri, dia akhirnya menjawab, "Suap seks. Itu yang dilakuin kepsek buat bisa kendaliin orang-orang penting di kota ini. Satu tahun lalu gue salah satu orang yang dikirim buat itu. Gue disuruh puasin orang tua yang lo lihat di video, tapi gue nggak bisa. Gue nggak mau diperkosa, gue nggak mau tubuh gue digunain buat mensejahterakan orang gila itu. Gue... gue... akhirnya gue bunuh orang sialan yang mau per──"
Adhisty harus menghentikan perkataannya saat Cakra tiba-tiba merengkuhnya begitu saja. Membawanya pada pelukan lelaki itu entah untuk alasan apa. Dia bahkan bisa merasakan tangan Cakra menepuk-nepuk punggungnya lembut seolah dia tengah menidurkan seorang balita. Entah kenapa Adhisty kesulitan untuk menolak ini.
"Maaf. Maaf udah buat lo cerita ini, Adhisty. Maaf, maaf, maaf. Maafin gue."
Sungguh, perasaan sesak dan rasa sakit menelusup pada dada Cakra. Dia sungguh kesulitan untuk membayangkan apa yang Adhisty rasakan selama ini. Dia jadi mengerti kenapa Adhisty sangat berambisi untuk menghancurkan kepala sekolah Purnama Biru. Orang itu telah membawa kehancuran pada hidup gadis yang kini masih dipeluknya.
Mata Cakra terpejam, mulutnya masih terus menggumamkan kata maaf, dan tangannya masih dengan setia menepuk punggung Adhisty. Berharap itu mampu membawa ketenangan pada gadis itu.
•••
24.11.2022
Pengen peluk Adhisty juga🙆🙆
KAMU SEDANG MEMBACA
The Secret [COMPLETED]
Mystery / Thriller"Semuanya dimulai dengan malam, hujan, dan seragam." ACIN tidak pernah menyangka kalau mereka akan terlibat dengan sebuah kasus penculikan hingga bersinggungan dengan psikopat hanya karena menolong gadis yang tak sadarkan diri di tangga gedung apart...