#02. Kisah Horor Purnama Biru

852 73 1
                                    

"Clap... clap... clap... suara air hujan dari genteng yang masuk ke kaleng karatan bekas cat, jedag-jedug alami karya alam terkadang buat gelapnya malam jadi punya sisi terangnya. Hm, di saat itu, saat satpam ngarahin senter ke bagian tengah belakang sekolah... BOOMM! Kepala buntung. Ada kepala yang nancep di tanah, matanya melotot, lihatin satpam itu yang gemetaran."

Hujan turun dengan deras, awan hitam menyelimuti langit dan membuat suasana tampak mencekam meski ini adalah siang hari. Seharusnya 12 IPA 6 tengah belajar Matematika, tapi akibat guru yang tidak masuk, setengah dari 12 IPA 6 memilih untuk berkumpul di belakang kelas, membuat lingkaran dengan lilin yang menyala di tengah-tengah mereka.

"Itu cerita yang buat gue jatuh cinta sama Purnama Biru." Amory memberikan botol minuman kosong pada Cakra yang ada di sebelahnya. "Sekarang giliran lo," ucapnya mengintruksikan agar Cakra segera menceritakan alasan kenapa dia masuk Purnama Biru.

Ya, entah bagaimana awalnya, tapi anak-anak yang berkumpul di belakang kelas kini asik berbagi cerita tentang kenapa mereka memilih sekolah di Purnama Biru. Sekolah ini memang populer, tapi kebanyakan orang memilih untuk menghindari Purnama Biru. Tentu saja itu terjadi karena cerita horor yang ada di sini.

Cakra menerima botol yang disodorkan temannya itu, mengarahkan ujungnya ke dekat bibir seolah apa yang dia pegang adalah mic. Para anak perempuan menanti dengan raut penasaran, memperhatikan Cakra karena menurut mereka kali ini lelaki itu akan mengatakan kalimat panjang.

Memperhatikan sekitar, Cakra membuka mulutnya dan berkata. "Gue..."

Para siswi tampaknya sangat bersemangat, greget sendiri karena Cakra menggantung perkataannya.

"Ikut-ikutan teman."

Helaan napas berat seketika terdengar dari beberapa orang, mereka sontak mencebikan bibir karena nyatanya Cakra hanya mengatakan hal membosankan seperti itu.

"Dih, nggak asik lo, Cak," ucap salah seorang gadis di sana yang hanya dibalas Cakra dengan senyuman kecil saja.

"Hohoho, kalian harus jadi gue biar bisa dengar Cakra ngomong banyak," papar Amory dengan sombongnya. Dia bahkan sampai membusungkan dada dan dihadiahi sorakan dari teman-temannya. Namun, inilah Amory, dia hanya cengengesan menanggapi itu.

"Udah, lah, sini giliran gue." Ian merebut botol di tangan Cakra, berdiri dari duduknya, dan itu membuat orang-orang harus menengadah. Ayolah, ada apa dengan lelaki berambut ikal itu? Orang lain tidak ada yang berdiri saat menceritakan alasan mereka. "Ini cerita paling terkenal. Di malam-malam tertentu, tepat tengah malam, 12.00, dari sekolah ini selalu muncul teriakan misterius. Teriakan menyakitkan seolah ada orang yang tangan kakinya dipisahkan."

Mereka semua memang sudah tahu kisah itu, tapi entah kenapa bulu kuduk mereka masih saja berdiri saat mendengarnya. Cara Ian membawakan cerita memang patut diacungi jempol. Suaranya terdengar pas dengan cerita, gerak tubuhnya juga menambah kesan pada cerita yang dibawakan.

"Pelan... pelan... pelan... waktu kelas 10, gue sama teman-teman gue nekat ke Purnama Biru tengah malam. Meski suasana sekolah terang karena lampu di mana-mana, aura sekolah tetap buat bulu-bulu kami berdiri. Kami jalan di koridor lantai satu dekat kantin. Suara langkah kami kedengaran saling sahut-sahutan, menanti datangnya jeritan meski jantung udah nggak bisa dikondisikan. Berempat di sekolah yang luas, kami bahkan nggak berani buka mulut karena takut ganggu sang penunggu."

Gemuruh di langit menjeda cerita Ian, disusul sambaran petir yang membuat kaca jendela kelas bergetar. Beberapa anak perempuan merapatkan duduk mereka, saling merangkul dengan perhatian penuh pada Ian. Oke, tampaknya mereka sudah menyelam ke dalam cerita. Bahkan, Amory yang tahu cerita itu karena mengalaminya sendiri menelusupkan tangannya pada lengan Nevan.

"Sraak... sraak... sraak... dari arah kantin, kami dengar suara. Kayak suara orang lagi cuci baju pakai sikat. Sontak gue sama teman-teman gue ngarahin pandangan ke sana, lihat kantin yang entah kenapa lampunya mati nyala. Saling tatap-tatapan, gue sama teman-teman gue mutusin buat ke sana karena penasaran. Satu langkah... dua langkah... tiga langkah... dan langkah-langkah seterusnya. Waktu udah dekat, kami lihat siluet dan──"

"AAAAAAAAAAAAARRRRRRGGGHHHHHH."

Deg...

Anak-anak di belakang kelas spontan memekik ketakutan, memeluk siapapun yang ada di dekat mereka tidak peduli laki-laki atau perempuan. Ian berjongkok, menutupi telinga dengan tangan karena teriakan tiba-tiba yang dia dengar.

Amory spontan mundur, menjauhi Nevan yang kini menunduk diam setelah tiba-tiba berteriak seperti kerasukan. Gadis itu gemetar, rasa takut menguasainya hingga membuatnya tidak tahu harus apa.

Cakra menelan ludah, jantungnya berdetak tak karuan karena ini pertama kali Nevan tampak aneh. Meski takut, dia memberanikan diri mengangkat tangan, hendak menyentuh pundak Nevan meski berhenti karena lelaki itu yang tiba-tiba mengangkat kepala, menoleh padanya dengan mata yang melotot tajam.

Semuanya membeku, bahkan anak-anak yang tak ikut berkumpul di belakang kelas kini memusatkan perhatian pada Nevan. Takut sekaligus penasaran dengan apa yang terjadi pada siswa paling tampan itu.

Masih melotot pada Cakra, Nevan memiringkan kepala semiring-miringnya, menjulurkan lidah kemudian mengangkat lengan kanan dan menunjukan jari tengah. Oh, sontak saja itu membuat Cakra bernapas lega.

Tahu apa yang terjadi, Ian yang telah menenangkan diri segera melemparkan botol di tangannya sekuat tenaga pada Nevan. Mendarat tepat di kepala lelaki itu dan membuatnya mengaduh kesakitan.

"Van, lo mau digebukin apa gimana, sih?" tanya Ian sungguhan kesal. Namun, tampaknya kekesalannya tidak dianggap. Lihatlah sekarang, Nevan malah tertawa heboh hingga membuat orang-orang mengerti dan menghujaninya dengan sumpah serapah. Persetan dengan gelar siswa paling tampan dan ACIN yang disegani murid-murid, kali ini 12 IPA 6 ingin sekali Nevan kehilangan ketampanannya.

•••

07.09.2022

The Secret [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang