Begitu membuka pintu dan menemukan Adhisty yang bersandar pada tembok tak jauh darinya, Cakra merasa dejavu. Pemandangan semacam itu sempat dia lihat saat di taman rumah sakit waktu itu. Karenanya, Cakra segera kembali ke dalam apartemen. Mendekat ke arah laci dekat kepala ranjang, lalu membukanya. Mengambil sebuah wadah kecil berwarna putih yang waktu itu dia berikan pada Adhisty. Tanpa menjawab pertanyaan teman-temannya, pria itu kembali keluar apartemen. Mendekat ke arah Adhisty yang tubuhnya bergetar hebat dan tampaknya dia kesulitan mengatur napas. Beruntung, tidak ada satupun tetangga Amory yang terlihat di tempat ini.
Begitu matanya melirik benda yang dibawa Cakra, Adhisty segera merebutnya. Membuka tutupnya dengan tangan bergetar hingga tutup itu berakhir jatuh ke lantai. Adhisty menuangkan beberapa tablet pada telapak tangannya, hendak memasukan itu ke dalam mulut, tapi karena Cakra menahan lengannya, dia tak bisa melakukan itu.
"Kebanyakan, Disty," ucap Cakra mengambil alih wadah sekaligus obat yang telah keluar dari wadahnya. Itu membuat Adhisty menyorotnya nyalang.
Cakra tak memedulikan sorot itu, memasukan tablet-tablet obat kembali ke dalam wadahnya hingga dia hanya menyisakan satu saja di tangan kanan. Memindahkan satu tablet itu pada telapak Adhisty dan segera ditelan gadis itu meski tanpa bantuan air.
Tentu saja obat tidak bekerja seinstan itu. Tubuh ramping Adhisty masih bergetar hebat dengan rasa sakit yang menyerang dada. Itu membuatnya entah sadar atau tidak mencengkeram jas Purnama Biru yang dipakai Cakra. Meremasnya guna menyalurkan rasa sakit juga kecemasan yang dia rasakan.
"Nggak, nggak mungkin. Itu kesalahan, gue bukan bajingan."
"Nggak, nggak, nggak, enggak!"
"Gimana ini? Enggak, bukan salah gue."
Adhisty terus saja meracau, sesekali menarik-narik jas Cakra atau membenturkan keningnya pada dada lelaki itu. Matanya juga kini mulai memerah dengan selaput bening yang melapisinya, sedetik kemudian bulir-bulir bening keluar dari sepasang netra milik gadis itu.
"Nggak, Cak, gue nggak salah."
"Tapi, gue... gue... gimana ini? Apa yang harus gue lakuin?"
"Nggak akan, itu nggak boleh terjadi."
Cakra meringis, ikut panik dan bingung dengan keadaan Adhisty saat ini. Gadis itu juga semakin gencar menabraknya keningnya sendiri pada dadanya. Seolah dia ingin menghilangkan sesuatu yang sekarang terputar di kepalanya.
Lama hanya diam dan memperhatikan, Cakra akhirnya bereaksi. Mengangkat lengan kanannya dan menahan kepala Adhisty di dadanya sendiri. Dia tidak ingin Adhisty kembali membenturkan keningnya. "Iya, Adhisty, lo nggak salah," gumamnya meski sesungguhnya dia tidak tahu apa yang Adhisty maksud. Yang terpenting sekarang adalah membuat Adhisty tenang.
"Apapun yang lo takutin sekarang nggak akan terjadi, Adhisty. Gue nggak akan biarin hal buruk terjadi sama lo."
Entah karena obat penenang telah bekerja atau perkataan Cakra dipercaya, saat ini Adhisty sudah lebih tenang. Tubuhnya memang masih bergetar, tapi tidak seekstrim sebelumnya. Dia juga sudah menghentikan racauannya dan pernapasannya juga sedikit demi sedikit mulai membaik.
Hal itu membuat Cakra ikut lega, telapak tangannya yang semula hanya menahan kepala belakang Adhisty kini bergerak mengelusnya dengan ritme pelan. "Lo nggak sendirian. Lo bisa mengandalkan Amory, Nevan, Ian dan tentunya gue. Lo bukan orang asing lagi, Disty. Kita teman dan bahkan kita bertarung di kubu yang sama."
"Penderitaan lo dulu dan sekarang akan segera berakhir. Gue janji. Kita emang perlu takut karena itu jadi penghalang kita buat lakuin hal yang di luar kendali, tapi lo bisa bagiin ketakutan dan kecemasan lo itu sama kami, atau... setidaknya sama gue."
"Lo──"
"Cakra."
Panggilan Adhisty menghentikan ucapan Cakra di udara. Lelaki itu menutup mulutnya bersamaan dengan elusannya yang berhenti. Dia bisa merasakan rematan Adhisty pada jasnya semakin menguat. Entahlah kenapa, tapi Cakra memilih untuk tetap diam.
"Cewek rendahan yang lo lihat di video itu... gue."
•••
Number 2 menurunkan dokumen yang tengah dibacanya saat seorang pria yang tak lain sekretaris pribadinya melangkahkan kaki mendekat ke arah meja kerja.
Melonggarkan dasi yang dia pakai, Number 2 menautkan kedua tangannya di atas meja. Tepat di atas tumpukan kertas-kertas yang harus dia periksa. "Bagaimana dengan Albert?" tanyanya.
Berdiri tegak tepat di hadapan atasannya, sekretaris Number 2 yang selalu saja mengenakan setelan serba hitam itu menjawab, "Saya sudah memberikan kompensasi atas pembobolan akun YouTube yang dilakukan oleh orang kita, Pak. Albert setuju untuk diam dan saya sudah memberikannya pengarahan. Seperti perintah Anda, dia langsung diseret kejaksaan, Pak. Namun, itu hanya formalitas, dia akan segera bebas."
Albert, seorang youtuber paling hits saat ini. Video paling panas yang menunjukan aksi pembunuhan diupload di akun YouTube-nya yang sengaja diretas oleh orang-orang Number 2. Mengirim sekretarisnya pada pria itu memang pilihan paling tepat karena dia pasti mampu menyelesaikan masalah yang timbul setelah video muncul ke permukaan.
Tidak perlu khawatir soal penegak hukum yang pasti akan menangkap Albert guna diselidiki. Sejatinya orang-orang itu sedang berada di genggaman Number 2. Tidak ada yang tidak bisa dilakukan Number 2 tentang kota ini, sesungguhnya dia adalah pengendali. Sekali bicara, apapun yang dia inginkan pasti akan dia dapatkan.
•••
24.11.2022
KAMU SEDANG MEMBACA
The Secret [COMPLETED]
Mystery / Thriller"Semuanya dimulai dengan malam, hujan, dan seragam." ACIN tidak pernah menyangka kalau mereka akan terlibat dengan sebuah kasus penculikan hingga bersinggungan dengan psikopat hanya karena menolong gadis yang tak sadarkan diri di tangga gedung apart...