#66. Orang-orang Penting

207 20 0
                                    

"Cak, ini... apa yang terjadi?"

Begitu memasuki kamarnya, Cakra langsung disambut dengan pertanyaan Nevan yang juga menunjukan layar ponsel. Layar yang memuat mengenai artikel tentang El Family.

Cakra tak membalas itu, dia hanya menatap Nevan sekilas kemudian mencari remot tv dan menyalakan televisi saat menemukannya. Dia mengganti tiap saluran dan rupanya sekarang nyaris semua saluran membahas tentang El Family. Lebih tepatnya tentang keberadaan sebuah kelompok berisi orang-orang penting yang katanya dibentuk oleh El Family.

"Mereka nggak nyebutin Adinata secara spesifik. Belum tahu, kah?" tanya Nevan yang berdiri tepat di samping Cakra. Sama-sama menyimak berita yang muncul di layar televisi.

"Kenapa bisa ini muncul? Ada pengkhianat?" gumam Cakra. Jangan tanyakan soal perasaannya sekarang, dia betulan tak tenang. Dia khawatir dengan keluarganya meski tahu kakaknya memang salah.

"Mungkin iya. Foto yang ada di artikel nunjukin orang-orang sialan itu lagi berkumpul. Yah, meski mukanya diblur tapi itu jelas mereka. Hanya anggota yang bisa punya foto kayak gitu." Adhisty buka suara, menyuarakan apa yang dia pikirkan guna membalas Cakra.

"Sekarang... apa yang bakal terjadi?" tanya Cakra yang sejujurnya tidak ditujukan pada siapa-siapa.

Nevan menjatuhkan diri pada kursi belajar, menghela napas, lalu memeluk punggung kursi dan menumpukan dagunya pada ujung punggung kursi yang dia peluk itu. "Apa lagi, Cak? Bukannya ini yang kita mau? Ngebongkar kasus penculikan. Kasus ini berhubungan," ucapnya memutar-mutar kursi ke kanan dan kiri. "Sekarang kita tonton aja kelanjutan kasus kakak lo sambil lanjutin misi. Lo pasti sedih tapi ini yang terbaik," lanjutnya.

Menarik napas dalam, Cakra menghembuskannya lewat mulut seolah membuang semua perasaan buruk di hati juga kepalanya. Benar kata Nevan, lagipula sejak awal Cakra ingin membongkar keberadaan kelompok itu, meruntuhkannya agar semua proses pertanggungjawaban Adhisty berjalan baik. "Adhisty harus segera pindah. Rumah ini bisa aja digeledah," ucapnya.

•••

"Whahh, gila aja."

Di atas brankarnya, Amory bersila dengan pandangan yang mengarah pada televisi. Menonton berita paling panas yang mengejutkan dirinya ditemani Ian yang kedua tangannya memegang potongan ayam. Pria berambut ikal itu duduk di sofa yang disediakan dengan satu box ayam lengkap dengan se-cup minuman.

"Si Cakra pasti shock berat," ucap Ian.

Amory mengulurkan lengan, mengambil ponselnya lalu mengutak-atik layar benda itu. Sesaat kemudian dia mengarahkan ponselnya sendiri pada wajah. Menunggu beberapa saat hingga gadis itu bicara, "Whahh, wajah-wajah depresot. Lo pasti udah lihat beritanya."

Mendengar perkataan itu, Ian yang tahu siapa yang Amory panggil bangkit berdiri, mendekat ke arah brankar dan ikut memunculkan diri di kamera. "Cak, ribut nggak, sih, di sana?" tanyanya.

"Adem, Yan. Super adem karena kamar Cakra di pojokan."

Ian memberenggut kala Nevan muncul di layar. "Lo kok di sana? Main kok nggak ngajak? Astaghfirullah, berdosa banget kalian," ucapnya.

Bukannya sadar diri, tapi Nevan malah terkekeh. "Ry, gimana kondisi lo?" tanyanya mengalihkan pembicaraan.

"Oke. Gue udah sembuh beneran sekarang," jawab Amory.

"Bohong bohong, Amory masih belum bisa pulang," ungkap Ian karena memang begitulah kenyataannya. Tak lama sebelum ini Amory merengek pada dokter yang merawatnya, mengatakan ingin pulang karena merasa semuanya telah baik-baik saja. Dia bahkan sudah bisa melangkah dengan normal dan nafsu makannya sangat baik. Namun, dokter mengatakan kalau Amory masih harus dirawat beberapa hari lagi. Entahlah apa yang belum sembuh, yang jelas Amory merasa sangat sehat sekarang. Dia sudah rindu jajan di minimarket, rindu Purnama Biru dan segala keributan tempat itu. Dia juga merindukan bau apartemennya, rindu berguling-guling di kasur kesayangannya.

•••

Seluruh anggota Level B kecuali Hengki telah ditangkap polisi, dikumpulkan dalam satu ruangan dan tengah diintrogasi oleh dua orang petugas.

"Whah, Anda tidak tahu siapa saya? Saya Presdir perusahaan pers ternama! Saya akan ungkap betapa tidak sopannya polisi kota ini!"

Seorang pria tua yang setengah rambutnya sudah memutih berbicara dengan nada tinggi setelah salah satu polisi mengajukan pertanyaan berulang padanya.

"Ya, ya, Anda bisa melakukannya kalau keluar dari sini, Pak," balas petugas polisi seraya membenarkan jaket yang dia kenakan lalu bersandar pada sandaran kursi di belakangnya. "Satu, dua, tiga, empat, whahh, kalian banyak, tapi tidak ada satupun yang mau bicara? Setidaknya satu dari kalian harus kooperatif bukan?"

"Woy."

Kedua petugas polisi mengernyitkan dahi mereka kala salah seorang dari yang mereka introgasi memanggil dengan sangat kasar.

"Panggil atasan kalian. Hengki. Hengki sialan itu panggil ke sini," perintah orang yang sama. "Dia harus berjejer dengan kami. Itu baru namanya keadilan."

Kedua polisi saling berpandangan, tidak tahu kenapa bisa orang itu mengatakan kalimat yang sungguhan kasar. "Anda itu... tunggu, aah, salah satu orang penting partai politik, ya?" ucap salah satu polisi mengangguk-anggukan kepalanya. "Begini, Pak, kalian tertangkap CCTV sedang pawai menuju bar elit kota sebelah. Sebaiknya kalian-kalian ini ikuti proses dengan nyaman agar semuanya selesai. Tidak usah membawa-bawa orang lain. Setuju?"

"Hengki! Orang itu bagian dari kam──"

"Hentikan, Pak. Apa yang ingin Anda katakan? Kami? Apa kita saling kenal? Saya tidak bersalah, kalau kalian tidak bersalah diam saja, tidak usah ribut seperti satwa!" Orang di ujung kiri, pria paruh baya dengan jas merah terang berbicara. Dia terlihat sangat santai dengan kaki yang menyilang, bertingkah sangat elegan seolah dia tidak sedang berada di kantor polisi.

•••

Ruang keluarga El Family, tempat yang saat ini diisi oleh Theo, istrinya, Adinata, Kenzura, Yola, dan Ciel. Atmosfer terasa sangat buruk dengan aura Theo yang cukup gelap. Pria tua dengan setelan bisnis itu memasang ekspresi bermasalah, memperhatikan anak-anaknya satu persatu kecuali Ciel yang tidak mungkin terlibat. Anak itu masih seorang mahasiswa.

"Apa yang dibicarakan itu benar? Siapa diantara kalian yang melakukannya?" tanya Theo seolah menyidang keluarganya.

"Pah, tidak mungkin benar, kan? Aku, Kak Adi, Yola, kita tidak mungkin terlibat. Aku yakin semuanya cuma rumor tidak berdasar." Kenzura buka suara, menatap ayahnya penuh keyakinan. Dia tampaknya sama sekali tak terpengaruh dengan berita yang tersebar. Sepertinya pria itu dan Cakra memiliki sifat yang tak jauh berbeda.

"Kalau hanya rumor tidak mungkin sampai sepanas ini. Beberapa orang bahkan sudah ditangkap, Zura," balas Theo.

"El Family tidak ada yang ditangkap, Pah, itu karena mereka tidak punya bukti. Benar kata Mas Zura, semua itu hanya rumor tidak berdasar." Kali ini Yola yang berbicara. Gadis cantik itu ikut menyuarakan apa yang dia pikirkan.

"Kita tidak boleh terguncang dengan hal semacam ini. Semuanya akan baik-baik saja," timpal Adinata ikut andil setelah sekian lama menundukkan pandangan memperhatikan kedua tangannya yang bertautan.

"Benar, semuanya akan baik-baik aja. Zura akan urus semuanya, Pah. El Group akan baik-baik aja," ucap Kenzura.

Hembusan napas terdengar, semua yang ada di ruangan menoleh pada Ciel yang mengeluarkannya. "Aku ngapain di sini? Nggak seru kalian," ucapnya bangkit berdiri. Sekali lagi membuang napas berat, pria itu melenggang pergi seraya melempar-lempar bola kasti dengan tangan kanannya.

•••

02.01.2023

The Secret [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang