#10. Mencari Adhisty

468 56 1
                                    

"Adhisty nggak punya apa-apa. Kecuali dia nyuri uang buat pergi jauh, dia pasti masih ada di lingkungan ini. Kita mending berpencar buat nyari dia." Cakra memberikan Ian juga Nevan masing-masing selembar foto Adhisty yang tertangkap kamera cctv.

Yakin kalau Adhisty tahu sesuatu tentang penculikan Amory, mereka bertiga sepakat untuk mencari gadis itu terlebih dahulu. Meski semalam Adhisty sangat keras dan tidak mau memberitahukan apapun pada mereka, tapi ketiganya tetap bertekad untuk menemukan gadis itu. Perihal Adhisty akan buka mulut atau tidak, itu bisa mereka akali nanti.

Sesuai perkataan Cakra, ketiga remaja itu kini berpencar. Saat tertangkap di cctv apotek, mereka melihat Adhisty berjalan menerjang hujan ke arah Utara dari gedung apartemen Amory dan setelahnya tak terlihat lagi dari cctv itu. Maka dari itu mereka mencari Adhisty di tiga arah. Nevan ke Utara, menuju daerah McD yang semalam Amory tuju, Ian ke Barat hingga dia menyebrang jalan, sedangkan Cakra ke Timur, masuk ke dalam celah antara Coffee Shop dan gedung perkantoran.

Bertanya pada orang-orang yang ditemuinya, Cakra belum mendapatkan titik terang. Sebagian dari orang yang Cakra hampiri bahkan menolak berbicara dengan lelaki itu, mengatakan kalau mereka sangat sibuk hingga tak bisa melihat foto yang Cakra bawa. Sebagiannya lagi bersikap ramah, menggeleng dan mengatakan kalau mereka tak pernah melihat gadis seperti Adhisty. Tentu saja Cakra tidak menyerah begitu saja. Dia kini hanya sedang beristirahat di teras masjid yang ditemukan dengan es kelapa muda dalam plastik yang dia genggam. Bagaimanapun, mencari orang bukanlah hal mudah, dia jelas kelelahan setelah berjalan lebih dari 40 menit.

"Pak, Pak." Cakra menghentikan seorang pria berumur yang hendak masuk ke dalam masjid. Berdiri dari duduknya, lalu menunjukan selembar foto yang dia bawa pada pria itu sebelum bertanya, "Maaf mengganggu, tapi apa Bapak pernah lihat dia?"

Pria itu tampak memperhatikan foto Adhisty, memikirkannya meski pada akhirnya dia menggelengkan kepala. "Tidak pernah, Mas. Saya sering ada di lingkungan ini, tapi sekalipun tidak pernah melihat dia," paparnya.

Lagi-lagi seperti ini. Oke, tak apa, seperti yang selalu dikatakan dalam seminar orang-orang sukses, segala sesuatu itu butuh proses. "Oh, tidak apa-apa, Pak, kalau begitu. Makasih waktunya," ucap Cakra sedikit membungkuk memberikan hormat.

Pria itu mengangguk, mengucap permisi, lalu kembali melangkahkan kakinya. Meninggalkan Cakra yang kini kembali duduk seraya meminum es kelapa mudanya. Dia mengapit foto yang dipegangnya di antara lutut yang menyatu. Membawa tangan kanannya pada saku jaket yang dia kenakan, lalu mengambil ponsel dari sana. Mengutak-atiknya sekilas, dia memanggil Nevan dan Ian secara bersamaan.

"Gimana?" tanya pria itu kala mereka bertiga sudah tersambung.

Terdengar hembusan napas lewat mulut dari seberang sana, pertanda belum ada hal baik yang terjadi. "Nggak ada yang pernah lihat Adhisty di sini," ucap Ian.

"Sama. Gue juga belum nemu orang yang lihat dia," timpal Nevan memberikan jawaban serupa. "Lo, Cak?" tanyanya.

"Sama kayak kalian," balas Cakra yang tampaknya membuat semangat dua temannya semakin berkurang. "Coba lagi aja sebentar. Kalau tetap nggak ketemu, kita min──"

"Mas!" Seruan itu memotong ucapan Cakra. Menoleh ke belakang, Cakra menemukan pria berumur yang sesaat lalu dia ajak bicara dengan wajah panik yang spontan membuat Cakra berdiri. "Gue tutup dulu, guys," ucapnya keluar dari sambungan.  Dia segera menghampiri si pria berumur karena tampaknya orang itu memerlukan bantuan.

"Kenapa, Pak? Ada apa?" tanya Cakra begitu sampai di hadapan pria itu.

"Ada yang pingsan di tempat wudhu belakang, Mas. Kayaknya itu orang yang Masnya cari. Tapi keadaannya buruk, harus segera ditangani," jawab pria itu. Mengajak Cakra menuju belakang masjid dengan langkah cepatnya.

•••

Dalam sunyinya suasana, derap langkah kaki terdengar. Pertama suaranya kecil dan samar, tapi kini langkah itu terdengar sangat dekat. Ajeng memejamkan matanya, mungkin gadis itu tengah tertidur. Tawanan lain juga sunyi, mereka sangat tenang dan tak menimbulkan suara apapun seperti saat Amory pertama kali melihat mereka.

Pandangan Amory terarah pada sumber derap langkah itu, ingin tahu apakah ada seseorang yang akan menghampiri tempat ini. Ya, seseorang benar-benar datang. Seseorang dengan jas hitam yang menyembunyikan tubuhnya dan topeng putih yang dia pakai. Ada dua benda tajam yang dia genggam di tangan kanan dan kirinya. Melangkah di antara celah sel perempuan dan laki-laki hingga akhirnya dia berhenti tepat di tengah-tengah. Menghadapkan tubuhnya pada sel perempuan dan entah hanya perasaan Amory saja atau benar, orang itu terasa seperti terus menatapnya.

Amory itu bukan tipikal orang yang penakut. Dia bahkan berani bertatapan dengan Bu Pipit yang notabenya guru tergalak dan termenyebalkan se-SMA Purnama Biru. Namun, tidak dengan orang itu. Kala dia berusaha melihat matanya yang merupakan satu-satunya bagian wajah yang nampak, Amory segera memalingkan muka bahkan sebelum sempat melakukannya. Entahlah, ada sesuatu dalam diri orang itu yang membuat Amory takut hanya dengan melihatnya. Hawa keberadaannya luar biasa, tipis namun mengintimidasi.

"Amory Moana Putri... Hahhahahahhah hahahhaha."

Amory menelan ludah kala suara tawa yang amat renyah itu terdengar sesaat setelah nama lengkapnya disebut. Melihat orang tertawa terkadang bisa menjadi hiburan tersendiri, bahkan beberapa orang yang tertawa mampu menularkan tawanya seolah itu adalah virus. Namun, tidak dengan tawa orang bertopeng itu. Suara tawanya malah membuat bulu kuduk Amory berdiri, Ajeng terbangun dari tidurnya, dan beberapa tawanan mengarahkan pandang pada dia.

"Mr. Pig mengatakan kamu harus keluar dari sini. Hey, lucu sekali bukan? Mr. Pig sangat ketakutan hanya karena kamu Amory," ucap Neo saat tawanya telah reda.

Tentunya kalimatnya itu membuat semua tawanan bereaksi. Mereka menggenggam erat-erat jeruji di depan mereka, menempelkan wajah pada jeruji itu dengan pandangan menatap Neo seperti orang kelaparan. Ajeng pun tampak tertarik, dia menatap Amory dan Neo bergantian, penasaran dengan apa yang akan terjadi.

"Padahal kamu tidak berbeda dengan yang lainnya. Mr. Pig sangat pengecut dan itu membuat saya sedikit kesal."

"Ingin saya tunjukan hal menarik, Amory? Aaaah, tapi kalau seperti itu artinya saya menentang aturan." Neo menggidikan bahu, kedua tangannya bergerak, menggesekan kedua bilah pedangnya hingga menimbulkan suara khas. "Tapi mungkin itu akan seru," ungkapnya seraya memiringkan kepala.

•••

09.10.2022

The Secret [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang