Dug... dug... dug...
Berjongkok seraya terus mengayunkan kapak hingga menciptakan suara berulang adalah hal yang kini tengah dilakukan oleh Number 1. Kemeja putih yang dia pakai dan wajah tampannya sama-sama dipenuhi oleh darah segar.
Diiringi alunan musik klasik dari megaphone, Number 1 terus mengayunkan kapak hingga akhirnya apa yang dia tuju tercapai. Tangan kirinya terulur, mengambil lengan yang telah terputus dari tempatnya.
Menyimpan kapak di atas lantai, dia bangkit berdiri, membawa lengan itu menjauh dari tubuh tanpa nyawa pemiliknya. Sepanjang langkah Number 1, darah menetes mengotori lantai. Sumbernya tentu saja lengan yang dia bawa dengan santai. Si pemilik lengan kehilangan nyawa belum lama ini. Darahnya masih segar dan menyenangkan untuk diperhatikan.
Dia meletakan lengan itu di atas meja persegi panjang yang di baliknya berisi berbagai benda tajam koleksinya dengan sangat hati-hati seolah dia tidak ingin lengan itu rusak sedikit pun.
Mengambil pita ukur berwarna putih di ujung meja, Number 1 mulai mengukur lengan di hadapannya dengan teliti. Sesekali dia mengikuti suara musik klasik tanpa membuka mulut. Pria itu tampak sangat menikmati kegiatannya.
•••
Ini adalah jam istirahat Purnama Biru, nyaris semua siswa mengantri di kantin untuk mengisi perut mereka. Namun, tidak dengan Cakra. Setelah mengatakan akan pergi ke toilet pada teman-temannya, pria itu kini berada tepat di hadapan pintu ruang kepala sekolah. Berdiri tegak dengan pikiran ragu yang memenuhi kepalanya. Dia meyakinkan diri, mengangkat lengan kanan, dan mengetuk pintu tiga kali.
Sebuah seruan yang terdengar dari dalam membuat Cakra memutar kenop, membuka pintu, lalu masuk ke dalam ruangan kepala sekolah.
Tidak ada yang berubah dengan ruangan ini sejak terakhir kali Cakra mengunjunginya. Ruangan yang terbilang cukup bagus dengan satu set meja kerja, sofa kulit, beberapa rak berisi buku dan bebagai macam dokumen.
"ACIN." Seorang pria gemuk dengan kacamata yang mengenakan atasan batik dan celana kain bangkit berdiri saat tahu siapa yang mengunjungi ruangannya. Alih-alih mengatakan nama Cakra, dia secara tak sadar malah menggumamkan kata itu.
Kalau biasanya Cakra akan sedikit merendahkan dirinya guna memberikan hormat pada kepala sekolah, kali ini Cakra tak melakukan itu. Dia bahkan sama sekali tak mengucap salam saat masuk ke dalam ruangan. Pria dengan vest Purnama Biru itu berdiri tegak lurus dengan kepala sekolah, hanya diam dengan sorot yang menatap tepat pada netra di balik kacamata orang itu.
"Mari tidak usah basa-basi, saya tahu kamu tahu siapa saya, bungsu Lesmana," ucap kepala sekolah setelah mendapatkan kepercayaan dirinya. Dia bahkan sekarang telah menjatuhkan diri kembali pada kursi dan bersandar dengan santai. Dia tampak tidak terganggu dengan kehadiran Cakra. Setidaknya begitu yang Cakra lihat.
"Saya tahu siapa Bapak dan apa yang Bapak lakukan," balas Cakra. Lelaki itu akhirnya bergerak, melangkah hingga dia berada tak jauh dari meja kerja kepala sekolah.
Bibir kepala sekolah melengkung kecil, meremehkan Cakra. "Lalu apa? Kamu tidak bisa melakukan apa-apa juga dengan fakta yang kamu bawa," paparnya.
"Sebaiknya Bapak jangan terlalu percaya diri. Pada akhirnya semua era akan berakhir, Pak," ucap Cakra. Menerobos wilayah musuh seorang diri tampaknya tidak membuat Cakra khawatir. Dia memang sempat ragu tadi, tapi setelah berhadapan seperti ini, dia entah kenapa tidak merasakan takut sedikitpun. Kepala sekolah sama sekali tak memiliki aura menyeramkan jika dibandingkan dengan Neo.
Tertawa kecil, kepala sekolah menarik punggungnya dari kursi, menautkan tangannya di atas meja, lalu mendongak menatap Cakra. "Terserah kamu saja. Kamu, gadis dari insiden Seiren, dan teman-teman kamu sama sekali tidak tahu apa-apa. Yang kalian lihat belum tentu benar, Cakra. Saya hanya memberikan saran, jangan salah membidik kalau kamu tidak ingin menyesal," paparnya. "Lebih bagus tidak usah membidik sekalian. Dengan begitu kamu bisa hidup dengan baik tanpa harus mengalami rasa sakit apa-apa."
Menggidikan bahu, Cakra membalas, "Bapak tahu sendiri gimana saya dan teman-teman saya."
Kepala sekolah mengangguk-anggukan kepalanya kecil, melepaskan tautan tangannya, dan menggunakan tangan itu untuk melepas kacamata yang dia kenakan. "Yah, saya tahu dengan baik kalian. Saya juga tahu tujuan kamu ke sini bukan hanya untuk beradu mulut, kan?"
"Seiren Adhisty. Jangan sampai Bapak sebar video dia lebih dari kemarin," ucap Cakra mantap. "Saya bisa aja gunain Lesmana kalau sampai itu terjadi. Seperti yang Bapak tahu, saya memang masih SMA, tapi saya memiliki banyak saudara yang bisa diandalkan." lanjutnya. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Cakra merasa bersyukur atas pencitraan yang dilakukan El Family. Negara ini memandang El Family sebagai keluarga yang harmonis.
"Se-seiren Adhisty?"
Cakra mengerutkan alis kala mendengar kepala sekolah yang tergagap dan wajah lelahnya sedikit menegang.
"Ya, Seiren Adhisty. Bapak tidak mungkin, kan, tidak mengenal dia? Bapak bilang sendiri, gadis dari insiden Seiren," ucap Cakra menekan beberapa kata terakhirnya.
Untuk alasan yang tidak Cakra ketahui, kepala sekolah memalingkan wajah darinya. Meski wajahnya masih tetap tegak, tapi sorot pria berumur itu terarah pada lantai. Seiren Adhisty, ini... tidak mungkin, kan? Batin kepala sekolah.
•••
Duduk dengan kaki menyilang pada sebuah singel sofa, Number 1 menghabiskan tetes terakhir dari minuman beralkohol dalam gelas di genggamannya. Tak jauh dari tempatnya duduk, mayat seorang remaja perempuan dengan kedua lengan yang hilang tergeletak begitu saja di atas genangan darah yang warnanya telah berubah.
Pakaian yang sama masih melekat pada tubuh atletisnya, kemeja putih yang kedua kancing teratasnya sengaja dibuka masih tetap dipenuhi darah. Hanya saja sekarang telah sukses mengering. Yang berbeda mungkin hanya wajah tampannya. Dia telah mencuci wajah itu beberapa saat lalu, menghilangkan noda darah hingga ketampanan sempurna memancar dari Number 1.
Ada beberapa foto berukuran sedang di atas meja depan dirinya, foto yang menampilkan beberapa gambar dari video yang beredar luas di internet. Video paling panas yang diunggah belum lama ini atas perintahnya.
Satu tangannya terulur, meraih satu foto itu dan memperhatikannya lamat. Tak lama kemudian, senyuman kecil muncul di bibir tipisnya. "Kebetulan yang sangat hebat. Semuanya terhubung seolah direncanakan," gumamnya.
•••
30.11.2022
KAMU SEDANG MEMBACA
The Secret [COMPLETED]
Mystery / Thriller"Semuanya dimulai dengan malam, hujan, dan seragam." ACIN tidak pernah menyangka kalau mereka akan terlibat dengan sebuah kasus penculikan hingga bersinggungan dengan psikopat hanya karena menolong gadis yang tak sadarkan diri di tangga gedung apart...