Dor!
Telak.
Seorang lelaki telah melayangkan nyawanya pada Sabtu malam kala itu.
Peluru dengan model Gyrojet 13 Mm yang dikenal mematikan itu mungkin sudah bersarang di kepala si lelaki lantas menghancurkan sel-sel otaknya.
Atmosfer menegang.
Pria bertopeng dengan senapan di tangannya itu terlihat tak berkutik. Seolah otot-otot tubuhnya menegang ketika melihat pria di depannya ambruk dengan keadaan berlumur darah.
Pekatnya malam serta deburan ombak yang begitu memekakkan telinga. Diiringi oleh desir angin yang sengaja menusuk sel-sel kulit.
"Papa!"
Si pria bertopeng hendak berlari sejauh mungkin, namun urung ketika vokal kecil penuh getaran itu mencuri atensinya.
Dilihatnya seorang anak perempuan dan anak laki-laki dengan keadaan basah kuyup berlari ke arahnya. Tidak. Lebih tepatnya ke arah pria yang saat ini terkapar di atas pasir.
"Papa! Apa yang terjadi? Bangun, Papa!" Bulir-bulir bening telah jatuh membasahi pipi mungil gadis kecil itu. Semakin lama semakin deras hingga terdengar isakan.
Gadis kecil itu memangku kepala papanya yang dipenuhi darah segar. Tangisnya benar-benar pecah melihat keadaan papanya.
Sementara anak laki-laki di sampingnya ikut bersimpuh. Di wajahnya tersirat kekhawatiran. Seolah ikut merasakan apa yang dirasakan si gadis kecil.
Ketika kata tak mampu terucap, maka dielusnya lengan si gadis kecil dengan tangan hangatnya. "Tunggu di sini. Aku mau cari pertolongan dulu, ya," katanya.
Setelahnya ia beranjak meninggalkan si gadis kecil.
Sementara menunggu anak laki-laki yang tak sengaja menolongnya ketika ia bermain di lautan hingga membuatnya terbawa arus itu, si gadis tak sengaja melihat arloji warna silver yang tergeletak di samping tubuh papanya.
Bukan. Papanya tidak pernah memiliki barang itu. Sepersekon kemudian ia mengingat lelaki yang berdiri di dekat papanya dengan tangan membawa senapan. Ia juga melihat sekilas tato berbentuk segitiga pada lengan lelaki bertopeng itu.
Lantas, yang terlintas di benak si gadis kecil hanya satu.
Apakah dia adalah orang yang telah menembak papa?
-
"Hahahaha!"
"Cewek murahan!"
"Bro, gua masih gak nyangka modelan dia demen sama lo."
"Hahaha! Cewek kok confess duluan."
Begitulah lontaran-lontaran tak meyenangkan yang melintasi pendengaran seorang gadis berambut pendek dengan bandana merah muda.
Meski kedua telinganya sudah ia sumpal menggunakan airpods, namun perkataan murid laki-laki dari kelas XII-IPS 1 itu benar-benar menghantui kepalanya.
Apalagi saat mengetahui fakta bahwa laki-laki yang ditaksirnya juga ikut mengolok-oloknya.
Jujur hatinya benar-benar sakit. Rasanya seperti ditikam ribuan belati. Malu bercampur marah bertempur di kepalanya saat ini.
Apakah salah jika perempuan melakukan pengakuan terlebih dahulu?
Si gadis bertanya-tanya, di mana letak kesalahannya? Apakah pengakuan cintanya merugikan semua orang?
KAMU SEDANG MEMBACA
Lacuna
Teen FictionIni tentang Sea, anak perempuan yang menyaksikan kematian misterius papanya di hari ulang tahunnya. Ini tentang Sea, gadis yang kehilangan kekasihnya saat kencan pertama. Tujuan Sea pindah ke Jakarta demi mencari pembunuh papa justru membuatnya dipe...