19. Pain

10 1 0
                                    

an: sebelum baca part ini disarankan putar lagu di atas ya, biar feelnya lebih dapet.

Prang!

Flora menghentikan aktivitas melukisnya kala terdengar suara pecahan kaca. Semenit kemudian kembali terdengar vas bunga yang sengaja dilempar. Tidak perlu ke luar kamar untuk mencari tahu siapa pelakunya.

Gadis itu menyumpal telinganya dengan earphone, menyetel lagu dengan volume maksimal. Berusaha meredam kebisingan.

"Aku mau cerai, Mas!"

"Apa-apaan kamu?!"

"Aku udah kasih kamu kesempatan berkali-kali untuk membuktikan kalau kamu memang sudah berubah, tapi apa, Mas? Kamu selingkuh lagi."

"Mana ada aku selingkuh? Kamu gak punya bukti, Sarah."

"Kamu perlu bukti apalagi hah? Cctv, daftar check-in, semuanya udah aku liat. Itu semua belum cukup?"

"Sarah, dengarkan aku dulu."

"Cukup! Aku gak mau denger apapun lagi. Sudah cukup, Mas. Aku akan mengurus perceraian kita besok."

Flora mencengkram kuasnya. Jantungnya berdebar kencang, napasnya sesak, serta keringat dingin mulai mengucur dari kepalanya. Lukisan yang setengah jadi itu terpaksa Flora hancurkan menjadi tak terbentuk.

Kerasnya volume musik ternyata masih belum cukup meredam kebisingan yang memuakkan itu.

Flora bangkit dari kursinya dan menghamburkan diri ke tempat tidur. Ia menutup kedua telinganya dengan bantal. Berharap kebisingan itu tidak terdengar lagi. Meskipun telah reda, suara perdebatan orang tuanya masih terngiang di kepala.

"Aku mau cerai."

Bagaimana bisa mamanya semudah itu mengucapkan kalimat sakral tersebut? Apakah dia tidak memikirkan Flora?

"Mana ada aku selingkuh?"

Bagaimana bisa papanya terus-terusan mengelak ketika dia sudah lima kali terciduk selingkuh?

Mata Flora mulai panas. Pandangannya buram saat bulir-bulir bening itu memenuhi pelupuk matanya yang sebentar lagi akan tumpah.

"Aku akan mengurus perceraian kita besok."

Pecah sudah tangis Flora. Dia meringkuk tak berdaya. Dadanya naik turun menahan sesak. Flora sekarat. Seperti terjebak di tepi jurang. Tidak ada pilihan lain selain melompat, bukan?

Maka, untuk meredam segala rasa sakitnya, Flora mengambil sesuatu dari dalam laci. Dia mulai mengukir pergelangan tangannya dengan benda tajam tersebut.

Hanya itu yang bisa Flora lakukan. Setidaknya rasa sakitnya bisa tersalurkan. Dan Flora merasa sedikit lebih lega.

***

"Kak, Bu Lily nyuruh gue buat ikut olim. Gimana menurut lo?"

Mahasiswa hukum yang mengenakan kaos polo itu merebahkan raganya di atas kasur Sea. Leo menumpukan kedua tangannya ke belakang kepala sebagai bantal. Pandangannya tertuju pada langit-langit kamar.

"Aneh. Kenapa Bu Lili langsung nyaranin lo buat ikut olim padahal status lo masih murid baru. Iya sih background lo emang murid berprestasi tapi, apa gak ada murid lain? Sekolah sekelas SMA mandala bukan gak mungkin kekurangan murid berprestasi," ujar Leo.

Sea mengetukkan pulpen di atas dagu. Ia Memikirkan ucapan Leo barusan. "Sebenernya gue gak sendiri tapi, bareng Ketua OSIS. Kalo gak salah namanya Raka. Dia langganan olim. Dan Bu Lili nyaranin gue ikut bareng dia."

LacunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang