Classmeeting telah berakhir dua hari yang lalu dan KBM sudah tidak seaktif kemarin. Pasalnya, saat ini para guru sedang sibuk mengakumulasi nilai raport siswa-siswi SMA Khatulistiwa. Meski begitu sekolah tidak diliburkan.
Ruang kelas XI-MIPA 2 diisi jamkos. Jika hari-hari biasa saja tidak pernah sunyi, apalagi jamkos. Suasana ruangan tersebut riuh dengan berbagai celotehan serta candaan.
Di deret selatan terlihat tengah fokus push rank dan diketuai oleh Jeandra. Deret kedua, tepatnya deretan yang ditempati Crystal dan Sea tampak sunyi. Crystal yang sedang membaca buku dan Sea yang terlihat sedang menulis sesuatu. Ah, omong-omong gadis itu sudah keluar dari rumah sakit kemarin.
Lalu, deret ketiga berisi siswa-siswa jahil yang sering mengusili para siswi. Dan yang terakhir adalah deretan yang ditempati Nayara dan Flora.
Di bangku depan terlihat para siswa menggedor-gedor bangku layaknya alat musik disertai salah satu dari mereka yang melantunkan suara merdunya. Sementara bangku paling belakang, tepatnya Nayara dan Flora sedang bergosip ria.
Perpaduan yang sangat pas.
"Eh, Riko lo bisa diem gak sih? Kuping gue nih sakit gara-gara denger suara lo yang kaya tikus kejepit!" Nayara berucap pada laki-laki berpostur tinggi agak kurus, yang tengah melambungkan suara merdunya.
Di kelas ini Riko dikenal sebagai siswa paling pandai. Maksudnya pandai menghibur. Saat ini dia sedang memegang sapu yang dijadikan mic. Beberapa kali pinggulnya berlenggak-lenggok layaknya penari. Sehingga membuat jambul di kepalanya ikut menari.
Hal itu membuat Nayara dan Flora cekikikan tiap kali melihatnya."Yaelah, Ra gua tau maksud lo ngomong begitu apaan," sahut Riko dengan mata memicing.
"Apaan dah?" tanya Nayara penasaran begitu melihat raut Riko. "Perasaan gak ada maksud tersembunyi."
"Gua tau kok sebenarnya lo mau ngomong suara gua bagus kayak Judika kan tapi lo gengsi ngakuinnya karena takut naksir sama gua. Ya kan? Ya nggak ges?" ujar Riko pada teman-teman penabuh gendang alias bangku.
"YOIII!" ujar mereka serentak.
Reflek Nayara berlagak seperti orang mual. "HUEKK! NAJIS RIKOO!"
Kemudian diikuti oleh gelak tawa siswa-siswi yang memperhatikan.
"Riko lo ladenin," ujar Flora.
"Gapapa, seru juga Flo. Mending samperin Sea yuk," ajak Nayara.
"Ngapain? Orang diliat-liat dia lagi sibuk nulis tuh. Gak sopan kalo kita ganggu," peringat Flora.
Nayara berdecak. "Yaelah lo mah. Gue yakin gak bakal ganggu elah. Lagian biar makin akrab aja. Udah, yok!" ajaknya menarik tangan Flora.
Reflek Flora mendengus mengikuti teman petakilannya itu.
"Hai, Sea!" sapa Nayara sambil tersenyum lebar. Ia mengambil dua buah kursi lalu meletakkannya di depan bangku Sea.
Flora mendudukkan bokongnya. Ia tampak tidak enak pada Sea—takut mengganggu.
Sementara Sea langsung meletakkan alat tulis miliknya lalu balik menatap kedua gadis itu. Tatapannya tidak sedingin waktu awal mereka berkenalan.
"Hai, Nayara dan—" kalimat Sea tertahan di udara kala lupa dengan nama gadis di samping Nayara, namun cepat-cepat Flora menanggapi. "Flora."
Sea mengangguk kaku dan berusaha tersenyum walau tipis. Entahlah. Bukan karena sombong melainkan ia terlalu takut untuk bersosialisasi dengan orang baru. Berat sekali rasanya. Bahkan, menatap puluhan pasang mata di kelas ini saja sejujurnya membuat Sea takut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lacuna
Teen FictionIni tentang Sea, anak perempuan yang menyaksikan kematian misterius papanya di hari ulang tahunnya. Ini tentang Sea, gadis yang kehilangan kekasihnya saat kencan pertama. Tujuan Sea pindah ke Jakarta demi mencari pembunuh papa justru membuatnya dipe...