15. The Art

8 2 0
                                    

Flora dan Bagaskara memasuki ruangan berukuran 3x4 cm bernuansa vintage, didominasi oleh bingkai-bingkai berisi lukisan. Sebenarnya, jika lukisan-lukisan itu tidak terpampang rapi di setiap dinding maka, ruangan itu hanyalah sekedar ruangan biasa yang jauh dari kata indah.

Lukisan itu membuatnya terlihat lebih hidup.

Ada puluhan lukisan, namun yang berhasil mencuri atensi Bagaskara adalah sebuah lukisan dengan pola abstrak. Dikemas dalam sebuah bingkai besar, yang mana menjadikannya lebih mencolok dibanding lukisan lainnya. 

"Itu lukisan yang Kakak liat kemarin," ujar Flora di sampingnya. Gadis itu mengenakan mini dress  bermotif bunga-bunga. Berdiri di samping Bagaskara yang bertubuh bongsor membuatnya terlihat sangat kecil. Bahkan tinggi gadis itu hanya sebatas lengan Bagaskara.

"Pantes familiar banget," sahut Bagaskara.

Suaranya berat khas laki-laki. Bagaskara mengenakan jeans hitam, kaos hitam, dibalut dengan jaket denim. Tak lupa dengan aksesoris kalung berbandul peluru bertengger di lehernya.

"Kalo boleh tau apa arti lukisan ini?" tanya Bagaskara, menatap Flora. Wangi maskulin seketika menguar, membuat jantung Flora berdetak dua kali lipat lebih kencang.

"Gue gak tau." Meski jauh dalam lubuk hati Flora sangat amat gugup namun, sebisa mungkin mencoba tetap tenang.

Alis Bagaskara mengernyit. "Kok bisa gak tau? Kan lo yang lukis?"

Flora tersenyum samar. "Gak semua lukisan itu harus punya arti, Kak," katanya dengan lembut. "Kadang, ide tiba-tiba muncul gitu aja. Kalo gue sendiri pas ngelukis lukisan tanpa makna tuh biasanya kalo lagi sedih, kacau, putus asa."

Flora meneliti satu persatu lukisannya sementara Bagaskara tampak menunggu ucapan Flora selanjutnya. "Semua lukisan ini merupakan bentuk pelampiasan gue. Jadi, alih-alih self-harm, gue bisa lampiasin dengan melukis. Apapun yang ada di otak gue bakal tersalurkan dalam lukisan ini."

"Tapi di antara semua lukisan ini, pasti ada setidaknya satu lah yang punya arti, kan?" tanya Bagaskara penasaran.

"Ada." Flora berjalan menuju sebuah lukisan di sudut kanan ruangan. "Judulnya 'Pretty Edelweiss', gue ngelukis ini pas lagi piknik sama sahabat gue," ujarnya pada Bagaskara.

Lukisan dengan bingkai kecil  berisi hamparan bunga edelweiss di sebuah gunung. Selain objek bunga edelweiss, terdapat objek anak laki-laki dan perempuan. Mereka saling berpegangan tangan, menyaksikan keindahan bunga edelweiss.

"Edelweiss artinya abadi. Apapun kondisinya, edelweiss gak bakalan punah karena bunga itu emang udah ditakdirin abadi. Dia bakal tetap hidup di habitatnya. Tapi katanya, siapapun yang mendaki terus ketemu bunga edelweiss, itu gak boleh diambil. Figur anak laki-laki dan perempuan disitu udah tau kalo edelweiss gak boleh diambil. Makanya mereka cukup mengagumi dari dekat."

Flora menatap Bagaskara sebentar. "Jadi, kesimpulannya bunga edelweiss hidup cukup untuk dikagumi, bukan dimiliki."

-sama kayak kamu Kak Bagaskara.

Bagaskara melongo beberapa detik. "Lukisan dan artinya sama-sama cantik, Ra," katanya kagum.

Untuk pertama kalinya cowok itu menyebut nama Flora.

Flora tersenyum. "Makasih, Kak."

"Bisa lah kapan-kapan lo ajarin gue lukis," ujar Bagaskara dengan cengirannya.

"Ayo ayo aja gue mah."

"Lo berbakat banget, Ra. Nanti kalo ada pameran di sekolah, gue saranin lo ikut," ujar Bagaskara lagi.

"Gue gak terlalu minat buat mempublikasikan karya gue, Kak."

"Kenapa?"

"Gak tau. Gue cuma gak suka aja. Bahkan, semua lukisan ini gak sembarang orang bisa liat. Cuma lo sama Rafael."

LacunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang