"Kata orang, rumah untuk pulang itu keluarga tetapi kalau kataku keluarga adalah rumah paling buruk"— Nayara Andini Diningrat
Langit tampak kelabu, namun tak menghentikan hiruk pikuk kota Jakarta pagi ini. Para pejalan kaki pun terlihat tergesa-gesa menyusuri trotoar dengan sebuah payung di tangannya.
Sebentar lagi mungkin akan turun hujan.
Udara begitu dingin hingga menusuk sel-sel kulit. Begitupun dengan rintik-rintik yang mulai berjatuhan perlahan mulai mengguyur kota Jakarta kala itu.
Sebuah decakan terdengar dari mulut gadis berambut panjang sepunggung. Jam sudah menunjukkan pukul 06.54 yang artinya sebentar lagi gerbang akan ditutup. Sementara dirinya terjebak macet sekaligus hujan.
"Pak, gimana nih? Masa iya aku telat lagi?" ujarnya pada Pak Arif—seorang pria paruh baya yang menjadi sopir di rumahnya.
"Kayanya ndak akan telat, Non. Soale Bapak dapet kabar ada perubahan jadwal jadi jam delapan masuknya," kata Pak Arif dengan logat Jawa kentalnya.
Mendengarnya membuat gadis itu menghembuskan napasnya lega. "Omong-omong Mama gak ada hubungin Pak Arif lagi? Mama gak nanya keadaan aku?" tanyanya.
"Ndak ada, Non. Kayanya Nyonya lagi sibuk sama kerjaannya."
"Oh, gitu." Terdapat siratan kesedihan di wajah gadis itu ketika mendengarnya.
Dia menatap ke arah jalanan. Semakin lama, volume hujan semakin mengecil hingga menyisakan embun di kaca mobil. Jemarinya terangkat membentuk pola lingkaran di sana hingga menjadi sebuah ekspresi wajah.
Persis dengan keadaan mood-nya saat ini. Napas gusar kembali ia loloskan. "Ya udah. Mau gimana lagi? Mungkin selamanya Mama sama Papa gak akan pernah punya waktu buat aku," katanya pada diri sendiri.
Seperti sudah pasrah dengan kehidupan. Nayara Andini Diningrat benar-benar pasrah dengan fakta bahwa orang tuanya tidak pernah punya waktu seutuhnya untuknya.
Mungkin untuk selamanya?
Sementara dari kaca spion, Pak Arif memperhatikan Nayara. Ia tahu sendiri bagaimana gadis itu hidup selama 16 tahun tanpa mendapat kasih sayang orang tuanya. Karena semenjak gadis itu lahir, hanya satu minggu Dyah—mamanya mengasuhnya.
Mungkin hanya untuk sekedar memberi ASI.
"Tidak usah kepikiran terus toh, Non. Siapa tau besok Nyonya akan menghubungi Non Nayara. Sekarang sudah sampai di sekolah. Non Nayara fokus belajar aja ya. Tidak usah memikirkan yang lain," kata Pak Arif mencoba menenangkan.
"Baiklah, Pak Arif. Sampai jumpa," balas Nayara sambil tersenyum.
-
Libur tengah semester telah usai. Flora Rafflesia kembali memenuhi tanggung jawabnya sebagai siswi SMA Mandala. Rasanya dua minggu saja tidak cukup untuk ukuran gadis seperti Flora yang tidak menyukai suasana sekolah.
Tidak. Flora tidak mendapat rundungan atau sejenisnya. Dia hanya tidak menyukai suasana ramai sekaligus memuakkan itu. Mungkin sebelas dua belas dengan suasana rumahnya.
Berantakan, bising, dan memuakkan.
Setiap hari Flora harus memungut pecahan kaca di ruang tamu. Setiap hari Flora menyaksikan Papa yang berteriak pada Mama. Setiap hari Flora mendengar suara bising yang tak ingin ia dengar. Bahkan setiap tengah malam dirinya harus terbangun akibat cekcok yang terjadi antar Mama dan Papa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lacuna
أدب المراهقينIni tentang Sea, anak perempuan yang menyaksikan kematian misterius papanya di hari ulang tahunnya. Ini tentang Sea, gadis yang kehilangan kekasihnya saat kencan pertama. Tujuan Sea pindah ke Jakarta demi mencari pembunuh papa justru membuatnya dipe...