Satu jam berlalu. Nayara tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Tapi Julian tak gentar. Cowok itu setia duduk di sofa dengan ponsel di tangan sembari menunggu Nayara.
"Lama ya nunggunya?"
Gadis yang Julian tunggu akhirnya keluar juga. Nayara mengenakan dress selutut warna biru muda. Sementara rambut panjangnya dibiarkan tergerai.
"Satu jam doang kalo buat lo gak ada apa-apanya," jawab Julian.
Nayara berdecih. "Lagian ngapain sih lo? Gue nggak ada ngomong iya buat makan malam sama lo padahal, tapi lo tiba-tiba ke sini aja," omel Nayara.
"Ya kan gue gak terima penolakan."
Nayara mengerling sebal. "Gue gak bisa terima ajakan lo. Tapi kalo lo mau, lo bisa makan malam di sini," tawar Nayara.
Julian mengernyit. Sempat terdiam beberapa detik. Namun setelahnya cowok itu mengangguk setuju. "Oke. Gue setuju."
"Ikut gue." Nayara kemudian membawa Julian ke arah meja makan yang terletak di sebelah ruang tamu.
Meja makan itu berukuran besar. Di atasnya sudah tersedia bermacam hidangan seolah akan dihidangkan untuk tamu besar.
Meja makan itu tampak mewah namun sebenarnya kesepian. Pemiliknya jarang menemaninya. Selain berteman dengan sepi, meja makan itu juga berteman dengan gadis kecil yang kini beranjak dewasa.
"Emangnya ada tamu selain gue ya?" tanya Julian.
"Gak ada sih. Kenapa?" tanya Nayara balik.
"Banyak amat. Sisanya mau dikemanain?"
Nayara mendengus. "Emang penting banget ya buat lo nanyain itu?"
Julian terkekeh. "Becanda kali. Sensi amat."
Meski bukan pemilik rumah ini, Julian bisa merasakan hawa sunyi di dalamnya. Rumah ini memang mewah dan luas, namun kelihatan seperti tak berpenghuni. Dalam artian pemiliknya jarang menyinggahinya.
Hening. Tidak ada percakapan lagi setelahnya. Yang mendominasi hanya suara sendok menabrak piring. Baik Julian atau Nayara, keduanya sama-sama sibuk dengan aktivitasnya.
Beberapa kali Nayara mendapati Julian mencuri pandang padanya. Begitu banyak pertanyaan di kepalanya tentang cowok itu. Salah satunya tentang tindakan Julian yang tak terduga dengan datang ke rumahnya. "Lo tau darimana rumah gue?" Nayara memecah keheningan.
"Gak penting lo tau itu." Jawaban yang membuat Nayara mengerutkan kedua alisnya.
"Gak usah bertele-tele deh. Tujuan lo ngajak gue dinner apaan hah? Gede juga nyali lo baru kenal udah ngajak dinner aja," takjub Nayara yang sesungguhnya terselip sebuah ejekan.
"Namanya juga cowok. Harus gentle lah. Anyways, thanks udah nolongin gue waktu itu. Saat itu gue bener-bener udah pasrah kalaupun harus mati gara-gara tawuran itu. Ternyata Tuhan masih baik sama gue. Buktinya Tuhan ngirimin lo." Cowok itu mengeluarkan sesuatu dalam kantong jaketnya. Sebuah kotak beludru berukuran lebar dan tipis. Dia memberikannya pada Nayara. "Buat lo. Buka aja."
Nayara sempat termenung beberapa saat. Namun tak lama ia segera membukanya. Kedua bola matanya sedikit membulat begitu membuka pemberian Julian. Nayara yang tadinya dibuat sensi oleh Julian, kini menjadi tak berkutik.
Sebuah kalung warna silver dengan sedikit rona keemasan. Sebenarnya yang membuatnya terkejut adalah kalung ini sudah ditaksirnya seminggu lalu. Apakah ini sebuah kebetulan, atau—
"gue tau itu kalung inceran lo, kan?"
—tidak. itu bukan sebuah kebetulan.
"Kok tau?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Lacuna
Teen FictionIni tentang Sea, anak perempuan yang menyaksikan kematian misterius papanya di hari ulang tahunnya. Ini tentang Sea, gadis yang kehilangan kekasihnya saat kencan pertama. Tujuan Sea pindah ke Jakarta demi mencari pembunuh papa justru membuatnya dipe...