06. Perihal Ikhlas

27 7 1
                                        


Julian Alvaro, Ketua kelas XI-IPA 1. Siswa yang dikenal nakal dan sering membuat ulah. Tidak. Dia bukan seorang anggota geng motor atau semacamnya. Julian hanya Julian—si cowok menyebalkan, tapi pintar.

Meski seragam yang sering berada di luar, dasi yang tak pernah terpakai, hal itu seolah tertutupi oleh otak cowok itu. Sekalipun tidak bisa menjadi pembenaran, Julian sering mengikuti Olimpiade dan meraih juara.

Hal itu sudah lumrah di kalangan guru-guru.

Perihal tawuran beberapa jam lalu bukanlah suatu kebetulan bagi Julian. Seperti ranting yang terus bercabang, masalah antar dirinya dengan kelas dua belas seolah tidak ada habisnya. Padahal, hampir dari angkatan siswa kelas 12 adalah temannya.

Entah beberapa pukulan yang Julian dapatkan sampai membuat beberapa bagian tubuhnya membiru. Setelah beberapa menit tak sadarkan diri, lelaki itu terbangun.

Aroma obat-obatan yang begitu menyengat serta seorang perempuan berkulit kuning langsat memenuhi pandangannya.

Kala itu Julian langsung terduduk. Membuat perempuan dengan name tag Anna Reehanna itu memegangi bahu Julian—berniat membantunya.

"Jangan langsung bangun gitu, Ju. Kondisi lo masih lemes lho," tegurnya.

"Siapa yang bawa gue ke sini?"

"Sini, gue obatin dulu luka lo."

"Jawab gue dulu, Na."

Terdengar memaksa.

Anna menghela napas sembari meletakkan kotak P3K itu di nakas. "Anak kelas sebelah. Nayara Andini Diningrat. Gue dikasih tau Bagaskara."

Melihat Julian yang tampak puas dengan jawabannya, Anna segera meraih kembali kotak P3K tersebut. Sembari mengobati luka Julian, Anna memperhatikan raut wajah cowok itu yang tampak beda.

"Kenapa lo? Biasanya abis tawuran kalo diobatin gini langsung berontak? Kalah tawurannya?" tanya Anna yang diam-diam memancing emosi Julian.

Akan tetapi, sampai kapan pun Julian tidak akan melampiaskan emosinya pada Anna. Karena gadis itu adalah sahabatnya—sahabat terdekatnya—sejak bangku SMP.

Kalau di kelas, Julian cenderung ketus, kasar, dan memberontak tapi hal itu tidak berlaku untuk Anna Reehanna. Julian seolah menjadi pribadi yang beda ketika bersama Anna.

Katakan saja Julian tidak bisa marah pada Anna. Apalagi saat menatap netra hitam gadis itu. "Kali ini rasanya sakit banget dibandingin sama yang kemaren-
kemaren, Na. Kepala gue sakit banget," keluhnya.

"Makanya jangan tawuran mulu. Apa gak bisa?"

Meski Anna tahu betul bahwa selamanya Julian tidak akan melakukan hal itu untuknya. Karena untuk yang satu itu benar-benar sulit Julian lakukan.

Anna sudah selesai memasang perban di kepala Julian.

"Gue bisa turutin semua yang lo mau asal bukan yang itu, Na," ujar Julian.

"Kenapa?"

"Gak tau." Julian mengangkat bahu yang dihadiahi pukulan kecil dari Anna.

Bibir gadis itu mengerut. Membuat Julian gemas. Lantas ia mengacak-acak rambut Anna. "Entar gue traktir bakso mau?"

Anna tampak sumringah. "Mau lah. Segala pake ditanya."

"Ikut gue dulu temuin tuh cewek. "
"Siapa? Nayara maksud lo?"

"Siapa lagi? Mau tau aja sih muka cewek yang udah bawa gue ke sini."

"Oke. Deal!" ujar Anna.

-

LacunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang