10. Spontanitas Defensif

24 5 3
                                    


Ketua OSIS bernama Raka Mavendra, yang menolongnya dari lambungan bola basket beberapa jam lalu, yang melakukan perkenalan secara sepihak—karena Sea tak membalasnya. Raka telah tiba di depan ruang Kepsek, mengantar Sea.

"Lo masuk aja. Jangan lupa ketuk pintu. Kalo gitu gue pergi dulu," ujar Raka yang sudah menyiapkan ancang-ancang untuk pergi. "Makasih."

Raka berhenti, tersenyum simpul. "Sama-sama," balasnya. Gadis berambut hitam lurus itu terlihat begitu kaku dan dingin.

Sea mengembuskan napas berat. Langsung saja ia mengetuk pintu warna hitam itu. Tiga detik setelahnya terdengar suara—menyuruhnya masuk. Belum sempat membuka pintu, seseorang lebih dulu membukanya dari dalam. Spontan Sea mundur, memberi ruang.

Sea mengernyitkan dahi. Pria berpakaian formal dengan tas kantor di tangan tengah menatapnya. Satu detik, dua detik, tiga detik hingga pria itu memutusnya lebih dulu, berlalu dari hadapan Sea.

Sea menghela napas pelan. Lantas mematri langkah memasuki ruangan yang didominasi oleh warna abu-abu. Yang pertama kali menarik atensinya yaitu dua rak tinggi berdiri di kanan-kiri ruangan. Di sisi kanan berisi dokumen-dokumen sementara di sisi kiri berisi beberapa buku-buku tebal.

Objek inti ruangan tersebut terletak pada sebuah meja terbuat dari kaca berukuran besar di tengah-tengah. Laptop di atas meja, lembar-lembar kertas berserakan serta sebuah name tag bertuliskan "Kepala Sekolah".

"Selamat pagi, Sea. Silakan duduk." Wanita di atas kursi kebanggaannya, berseragam dinas lengkap menyapa.

"Pagi, Bu." Sea balas menyapa kemudian mendudukkan bokongnya pada kursi warna hitam itu.

"Berkas yang saya minta dibawa kan?"

Sea mengangguk, menyerahkan berkas warna hitam. Bu Laksmi mulai membuka satu persatu halamannya.

"Peringkat satu, juara satu Olimpiade Fisika tingkat provinsi, juara dua Olimpiade Matematika tingkat kabupaten. Kamu juga aktif di ekstrakurikuler. Prestasi akademik maupun non akademik kamu pantas saya acungi jempol, Sea."

Sea menunduk, agak kikuk mendengar pujian Bu Laksmi sang Kepala Sekolah SMA mandala. "Terima kasih, Bu."

Bu Laksmi tersenyum simpul. "Nilai rapor kamu juga bagus. Tinggi-tinggi." Bu Laksmi menutupnya. "Kamu mau masuk IPA atau IPS, Sea?"

"IPA, Bu," jawab Sea dengan mantap.

Bu Laksmi mengangguk mengerti. "Sebenarnya kalau dilihat dari kemampuan akademik kamu, kelas yang cocok untuk kamu yaitu MIPA satu. Tapi berhubung siswanya sudah penuh terpaksa saya masukin kamu ke MIPA dua. Tidak apa, kan, Sea?"

"Tentu saja tidak apa, Bu," jawab Sea sepenuhnya.

"Baiklah. Mari ikut saya."

Sea menurut, mengikuti. Berjalan menyusuri koridor yang tampak lengang. Pasalnya, KBM telah berlangsung sejak sepuluh menit yang lalu. Tidak ada tanda-tanda keberadaan siswa di luar kelas.

Tidak ada percakapan. Koridor lantai dua hanya didominasi oleh suara sepatu hak pendek Bu Laksmi yang mengetuk lantai. Setidaknya sampai terdengar dering telepon. Milik Bu Laksmi.

"Halo, ada apa?"

"....."

Sekali itu ekpresi Bu Laksmi tampak kaget. "Baik. Saya segera ke sana."

Sementara Sea diam, memerhatikan. Dia tebak Bu Laksmi akan meninggalkannya di sini waktu melihat ancang-ancang wanita itu yang akan segera pergi.

"Sea, saya minta maaf tidak bisa menemani kamu ke MIPA dua. Ada urusan penting dan mendadak. Kamu bisa pergi sendiri. Kelasnya sudah dekat kok. Jalan lurus saja, belok kiri, setelah itu sampai." Bu Laksmi memegang bahu Sea, merasa tidak enak.

LacunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang