Fisika mungkin menjadi mapel paling mengerikan bagi sebagian siswa. Identik dengan angka, simbol-simbol keramat, hingga huruf alphabet pun ikut andil. Cukup mendebarkan sebenarnya ketika hari pertama ujian langsung disuguhi oleh mapel tersebut.
Tiga puluh menit berlalu dengan keringat dingin. Apalagi pengawasnya adalah Bu Ranti—si guru killer. Di bangku depan Sea menunduk, fokus mengerjakan soal-soal di ponselnya. Setidaknya sampai terdengar bunyi ketukan heels pada lantai. Satu-dua ketukan lolos. Makin lama temponya makin cepat.
Sea terusik. Lantas menoleh pada Crystal. Keinginan untuk menegurnya urung waktu melihat keadaan Crystal. Gadis yang memakai heels warna navy itu kelihatan gelisah.
"Lo nggak papa?" Sea membuka suara.
Ketukan di lantai terhenti. Crystal menatap Sea, mengangkat alis. Ekspresinya kembali normal. "Am i look like i'm not okay?"
Sea mengangkat bahu. "Kaki lo gak bisa diem. Kalo diterusin semuanya bakal keganggu sama bunyi heels lo," ungkap Sea.
"I see." Crystal kemudian melepasnya, namun yang membuat Sea tersentak adalah tindakan Crystal selanjutnya. Gadis itu berjalan menghampiri Bu Ranti sambil menenteng heels miliknya.
"Bu, saya izin keluar."
"Mau kemana?" tanya Bu Ranti penuh intimidatif.
"Saya sudah selesai mengerjakan soal-soal. Buat apa lagi saya disini?"
"Peraturannya harus tetap di dalam kelas selama belum jam istirahat, Crystal."
"Tapi saya bukan mau jajan, Bu."
"Lantas?"
"Ada perlu sama Bu Lili."
"Bener?" Bu Ranti memicing.
"Apa muka saya kelihatan bercanda?"
Bu Ranti menghela napas. Berdebat dengan Crystal hanya akan mengulur waktunya. Lagi pula ia yakin kalau anak itu tidak akan bohong. "Baiklah."
Crystal tersenyum kecil. Lantas meninggalkan ruangan.
Sementara di bangku belakang Flora dan Nayara kelihatan frustasi. Tidak. Lebih tepatnya Nayara yang tampak kewalahan menghadapi soal-soal keramat. "Flo, woi! Ini apaan anjir suhu, kelvin, gama. Mana ngarti ginian gue," bisiknya pada Flora.
Nayara mengacak rambutnya frustasi ketika tak mendapat respon dari Flora. Pasalnya, gadis berbandana biru itu teramat fokus pada ponselnya. Nayara yakin Flora mendengarnya namun pura-pura budeg saja. Ingin rasanya melempar kepala Flora dengan batu.
"Sini gue kerjain."
Nayara tersentak. Ia baru sadar kalau Julian duduk di belakangnya. "Mana mungkin gaya preman kayak lo sok sok an mau ngerjain soal-soal keramat ini."
"Gue udah selesai semua padahal. Easy peasy." Tampang Julian yang meremehkan membuat Nayara ingin menggenjreng kepalanya saat ini juga.
Nayara merotasikan bola matanya. "Ogah."
"Yeee orang mau dibantu gak mau," cibir Julian.
"Bodo!"
Tak mau berhenti, Julian justru mendorong kursi Nayara dengan kakinya. Alhasil Nayara terlonjak. Apalagi saat semua pasang mata tertuju padanya akibat bunyi decitan yang dihasilkan. Terutama Bu Ranti. Wanita itu menatap nyalang ke arah Nayara.
Nayara panik, sementara Julian mengangkat sudut bibirnya sambil bersedekap dada.
"Ngapain kamu Nayara? Dari tadi saya perhatikan kamu gak bisa diam. Mau nyontek hah?" Bu Ranti mulai menginterupsi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lacuna
Ficção AdolescenteIni tentang Sea, anak perempuan yang menyaksikan kematian misterius papanya di hari ulang tahunnya. Ini tentang Sea, gadis yang kehilangan kekasihnya saat kencan pertama. Tujuan Sea pindah ke Jakarta demi mencari pembunuh papa justru membuatnya dipe...