Meski langit sudah menggelap sepenuhnya, angin-angin hanya lewat sambil lalu tanpa arti, membawa turut serta hawa panas menerpa kulit. Adrian menghapus peluh pada keningnya yang bercucuran. Lalu membuka topi yang sedari tadi dikenakannya, mengayunkannya berulang kali tepat di samping wajah.
Ia tatap murung timba yang terletak tak jauh dari kursi lipat tempatnya duduk. Kosong.
Pun pelampung umpan seharusnya bergerak sebagai indikator atau pemberi sinyal bahwa umpan sudah dinikmati ikan dan dapat diangkat hasil pancingannya. Namun, sudah dua jam terlewat, dua pelampung umpan miliknya dan Agarish hanya mengapung ringan di atas sungai yang cenderung tenang.
Mendesah panjang, Adrian memutuskan menggulung senar pancingnya, menggantinya dengan umpan yang baru- barangkali terlalu lama terendam air, membuat para ikan enggan memakan umpannya. Ia juga melakukan hal yang sama pada kail milik Agarish.
Sudah, lalu ia kembali terdiam. Termenung, bengong....
Sebenernya ia sangat menyukai suasana damai ketika memancing. Apalagi sungai rekomendasi Agarish ini jauh dari hirupikuk perkotaan, bebas polusi dan tak ada suara bising kendaraan. Lingkungannya masih asri. Ternyata di Jakarta masih terselip tempat seperti ini.
Tapi kalau sudah berjam-jam tanpa reaksi, alhasil Adrian jadi geregetan sendiri.
Ia ingin mengeluh, namun urung ketika melihat Agarish berdiri berjarak 4 meter dari tenda mereka. Mimik mukanya serius sekali. Satu tangan Agarish menempelkan ponselnya pada telinga ponselnya, sebelahnya lagi bertumpuh pada batang pohon pisang yang tingginya bahkan hampir setara dengan tubuhnya.
"Udah tahap pengecoran? Bagian itu harus lo awasin bener-bener. Ukuran besinya juga.. Iyalah, setelah semua udah dibangun harus uji ulang... Gue nggak mau denger sampai ada kolom yang nggak lulus... Nggak usah nampung sampel waktu ready mix. Orang kontraktornya pasti ada hammer test buat cek mutu betonnya kalau udah jadi."
Samar-samar Adrian mendengar suara Agarish meninggi, lalu menggeram tak kentara, atau sesekali berbicara sepatah demi sepatah penuh penekanan agar sang lawan di balik sambungan telepon paham.
Dibalik tingkah pola Agarish yang tengil, kesabarannya yang tipis serta lidahnya yang tajam. Dia adalah lelaki yang berdedikasi tinggi dan sangat detail dalam pekerjaannya. Jiwa kepemimpinannya ada. Tak ayal klien silih berganti bahkan antri ketika ingin memakai jasanya.
"Ada masalah di kantor?" tanya Adrian begitu Agarish menempati kursinya, tepat di sisinya. Hanya dibatasi oleh ember yang kosong.
Mengingat itu, perasaan jengkel Adrian kembali.
"Pegawai baru, jadi masih perlu dibimbing." Mengusap wajahnya letih, Agarish mencari posisi duduk yang nyaman. Punggungnya ia buat bersandar dengan kaki menjulur menyilang.
Ia pernah kecolongan sekali, waktu itu ia sedang berada di London. Terlalu fokus dengan pekerjaannya yang bernilai fantastis di sana, menjadikannya lalai atas proyek yang ada di Indonesia.
Kliennya kala itu yang sangat teliti. Bangunan yang seharusnya menggunakan mutu beton K300, namun ternyata hanya diberi K100 oleh pihak batching plant- tempat atau pabrik beton siap pakai yang di pesan pihak kontraktornya.
Terjadi cekcok dan kewalahan mengurus, karena jarak yang jauh dan komunikasi yang kurang efektif. Akhirnya Agarish dengan berat hati meminta bantuan pada Adrian. Beruntung, calon mertuanya yang terancam gagal itu, tidak menghakimi keteledorannya. Selanjutnya semua teratasi dengan baik.
Selain pening, Agarish juga berterimakasih. Sebab jika sampai ada keluhan di masa depan, akibatnya akan lebih fatal.
Tak mau merepotkan orang lain lagi dengan tanggung jawabnya, Agarish benar-benar memberi pemantauan penuh setiap jalannya proyeknya. Meski itu berarti ia harus bergadang dan mengganggu waktu pribadinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AGARISH
Short StoryAgarish dan Sephora sudah bersama lebih dari 8 tahun lamanya. Sudah bertunangan secara personal dan lebih dari siap untuk melangkah kejenjang selanjutnya. Yaitu, pernikahan. Lalu, tiba-tiba restu itu tak lagi mereka dapatkan dari Ibu sang pria? Apa...