Keluarga 21

624 73 19
                                    

Singto sedang makan bersama Gheza dan Anne. Namun, dari kemarin, Singto merasa tak enak badan. Singto hanya menatap Gheza yang sedang menyuapi Anne. Rasanya sedikit berbeda ketika dia masih bersama dengan Krist.

Singto meletakkan garpu dan sendoknya. Entah kenapa, beberapa hari ini, dia tak bernafsu makan. Bukan karena makanan tak enak, makanan ini selalu enak karena Gheza selalu membeli makanan yang terbaik.

Gheza melihat ke arah Singto yang meletakkan alat makannya. "Kenapa gak makan, Sayang? Makanan hari ini gak enak ya? Atau kamu mau ganti menu? Aku hubungi chef nya buat bikinin kamu menu baru ya?" Gheza menawarkan solusi yang menurut Singto tak penting.

Singto menggeleng. "Enak kok. Tapi aku gak nafsu makan. Badanku juga terasa gak enak. Dadaku sering sesak. Kamu mau kan temani aku periksa?"

Gheza menatap Singto. "Aku harus nganterin Anne. Habis itu, aku ada arisan sama teman-teman aku. Aku gak bisa ngantar kamu. Kamu sendiri saja lah. Jangan manja." Gheza kembali menyuapi Anne.

"Aku cuma minta kamu temani sehari ini saja. Bukan setiap hari. Ini juga berobat. Aku gak mungkin kuat harus nyetir sendiri." Singto menaikan suaranya.

Gheza menatap Singto kesal. "Suruh Mama kamu ke sini, atau kamu bawa sopir. Ingat, kamu harus kerja, biar uang kamu gak habis. Aku gak mau punya calon suami yang miskin." Gheza berdiri dari duduknya. Lalu menarik Anne untuk pergi dari rumah itu.

Singto memegang kepalanya yang terasa sangat pusing. "Sial, kenapa seperti ini sih? Lagian kenapa jadi lemah gini sih? Benar kata Gheza, aku gak boleh lemah. Mungkin, aku kurang tidur. Sebaiknya aku istirahat saja."

Singto berdiri dari duduknya, dan berjalan menuju kamarnya. Dia akan memejamkan matanya sejenak. Urusan perusahaan, dia akan menghubungi sekretarisnya nanti.

Singto memasuki kamarnya. Kamarnya terasa sangat dingin sekarang, berbeda saat Krist masih tinggal di rumah ini.

Singto mulai menghapus pikiran tentang Krist. Dia berjalan menuju ranjangnya. Melepas sandal yang dia pakai, lalu menidurkan dirinya.

Mata Singto terpenjam. Niat ingin menenangkan diri agar sakit yang dirasa hilang, tapi, dadanya semakin sesak. Perutnya terasa sangat mual. Singto memaksakan matanya untuk tertidur. Perlahan, kesadaran Singto menghilang, dan tertidur.

🌼🌼🌼🌼🌼

Fiat sudah terbangun tidur panjangnya. Operasi berjalan dengan lancar dan aman. Saat ini, suasana di kamar rawat Fiat sangat hening. Krist yang hanya diam menatap anaknya. Sedangkan Ryn, dia diam menatap Papa dan anak yang sedang saling menggenggam itu.

Fiat menatap pintu dengan wajah sedihnya. "Pa, boleh Fiat tanya?" tanya Fiat dengan suara pelannya.

"Kenapa, Sayang?" Krist menatap Fiat dengan senyum tipisnya.

"Ayah gak datang kesini ya?" Fiat menatap Papanya yang terkejut. "Eh, maaf, Pa. Fiat gak bermaksud. Maaf kalau pertanyaan Fiat buat Papa keingat dia lagi. Maaf, Pa. Lupakan saja ya, Pa."

Krist mengelus rambut Fiat. "Fiat mau Papa kabarin Ayah? Fiat mau dijenguk Ayah?"

Fiat menggeleng. "Gak, Pa. Fiat cuma tanya saja." Fiat kembali terdiam.

Krist menatap Ryn. Dia bingung harus mengabari Singto atau tidak. Krist tidak mau berurusan dengan Singto, tapi, sepertinya Fiat rindu dengan Ayahnya.

"Pa, maafin Fiat. Fiat gak bermaksud." Fiat menatap Krist dengan rasa bersalah.

"Gak papa. Nanti Papa kabarin Ayah ya. Kalau Fiat masih mau ketemu sama Ayah, Papa gak larang kok. Bagaimana juga, Fiat anak Ayah." Krist berusaha tersenyum.

Fiat menggeleng. "Gak, Pa. Fiat cuma kadang keingat Ayah. Tapi, Fiat sudah lebih ikhlas. Mungkin, Ayah juga sudah bahagia sama keluarganya. Fiat kadang cuma kepikiran, Ayah kangen Fiat gak ya? Ayah ada usaha buat ketemu Fiat gak ya? Apa Ayah masih ingat sama Papa? Tapi, Fiat cuma kepikiran aja kok, Pa. Beneran deh. Fiat sudah nyaman berdua sama Papa. Mungkin, lama-kelamaan Fiat akan terbiasa juga."

"Fiat mau nginap di rumah Ayah beberapa hari? Biar Fiat gak kangen terus sama Ayah." Krist mencoba memberi penawaran untuk Fiat.

Lagi-lagi, Fiat menggeleng. "Gak, Pa. Buat apa Fiat nginap? Nanti, Anne bilang Fiat pengganggu lagi. Fiat gak papa kalau dikatain sama Anne, tapi, Fiat gak mau kata Papa yang dikata-katain sama Anne. Papa itu berharga buat Fiat."

"Ya sudah, nanti biar Papa kabarin Ayah, biar Ayah jenguk kamu di sini." Krist mengelus rambut Fiat dan tersenyum.

Fiat menggeleng. "Gak mau, Pa. Cukup ada Papa sama Aunty Ryn di sini. Pa, boleh gak kalau Fiat sekarang manggil Ayah jadi Om? Fiat cuma gak mau dibilang ada hubungan sama Ayah."

Krist mengangguk ragu. Mau melarang Fiat, tapi ini sudah kemauan Fiat. Mereka kembali diam, tak ada yang membuka suara. Fiat hanya menatap cairan infus yang menetes.

🌼🌼🌼🌼🌼

Singto terbangun dari tidurnya, wajahnya semakin pucat. Dadanya semakin sesak, mual semakin menjadi.

Dengan usaha, Singto mengambil ponsel yang ada di meja samping ranjang. Singto mulai mencari nomor Gheza, lalu meneleponnya. Namun, tak diangkat sama sekali oleh Gheza.

Singto memutuskan untuk menelepon Mamanya. Tak berapa lama, Mama mengangkat teleponnya.

"Ma, tolong Singto, Ma. Sakit banget." Singto memegang dadanya yang terasa sesak.

"Aduh, Sing. Mama sibuk. Kenapa gak minta tolong calon istri kamu saja sih. Ngerepotin saja."

"Gheza aku telepon gak diangkat, Ma. Aku mohon sekali ini saja." Suara Singto semakin memelan.

"Ya sudah, Mama kesana sekarang. Kamu tunggu saja."

Singto memutuskan sambungan teleponnya. Berusaha mengatur napas agar dadanya tidak terlalu sesak.

Singto menatap langit-langit. "Dulu, kalau aku sakit, ada Krist yang merawat. Walaupun, akhirnya aku marahin. Sekarang, sakit sendiri. Tapi, setidaknya aku menjadi normal, dan mencintai Gheza."

Perut Singto semakin mual, namun, dia tak bisa memuntahkan apa-apa. Hanya mual dan sakit perut. Badan Singto semakin tak terkontrol.

"Ma, cepat datang. Ini sakit banget, Ma." Singto terus melihat ke arah pintu. Berharap Mamanya dengan cepat datang.

Singto berusaha untuk tidur, agar sakitnya menghilang. Namun, keringat terus membanjiri kening Singto, dia tak bisa tertidur. Kini, hanya teriakan kesakitan yang terdengar.

🌼🌼🌼🌼🌼

Dulu, aku pernah dengar dari cowok yang pernah selingkuh. Tapi lupa dengar di mana. Gini "Cowok kalau belum ketahuan selingkuh itu masih enak. Kayak ada kebahagiaan tersendiri. Pacaran sembunyi-sembunyi, ada tantangan. Tapi, kalau sudah ketahuan, walau dilanjut, itu udah beda rasanya. Gak menarik lagi. Lebih menarik istri sah."

Keluarga [ Singto x Krist x Fiat ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang