Keluarga 31

564 61 1
                                    

Operasi telah selesai, dan Krist sudah berada di ruang rawatnya kembali. Fiat masih setia berdiri di samping brankar Papanya.

Ryn menatap Fiat kasihan. "Bocil. Duduk sini kenapa? Dari tadi berdiri terus. Gak capek apa?"

Fiat menatap Ryn, kesal. "Aunty, diam. Nanti Papa kebangun. Berisik banget sih, Aunty Ryn. Fiat gak capek kok."

Ryn menatap malas Fiat. "Terserah bocil sajalah." Ryn duduk dengan tenang.

Fiat masih menggenggam tangan Papanya. Menatap wajah Papanya yang masih berada di bawah pengaruh bius.

Krist membuka matanya. Menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam matanya. Melihat sekeliling, dan menemukan anaknya yang menggenggam tangannya.

Fiat heboh melihat Krist yang membuka mata. "Aunty, lihat. Papa bangun. Cepat panggil dokter, Aunty. Ih, Aunty lama banget sih. Panggil Dokter, Aunty," ucap Fiat tanpa melihat ke arah Ryn.

Ryn memilih pergi untuk memanggil dokter. Jika dia menanggapi ocehan Fiat, tak akan ada habisnya. Dia pasti akan selalu salah di mata Fiat.

Dokter masuk bersama perawat dan Ryn. Ryn melihat Fiat yang masih setia di samping brankar Krist. Fiat hanya berdiri dan tersenyum.

"Dokter, Papa sudah gak papa kan? Nanti Papa bakal ngerasain sakit gak? Papa boleh bangun gak, Dok? Nanti kalau Papa kesakitan, Fiat harus bagaimana, Dok?" Fiat terus bertanya.

Ryn membungkam mulut Fiat. "Diam ya, Bocil. Biarin dokternya periksa Papa kamu dulu. Nanti kalau Papa kamu kenapa-kenapa, ini salah kamu loh ya, yang gak bisa diam."

Fiat menggeleng, setelah itu menjilat telapak tangan Ryn.

Ryn melepaskan bungkaman nya. "Ini bocil, gak sopan jilat-jilat."

Fiat menatap Ryn. "Diam, Aunty. Dokter mau periksa Papa."

Dokter hanya tertawa kecil melihat kelakuan Fiat. "Saya periksa Papa kamu dulu ya? Nanti kalau sudah diperiksa, baru deh, saya kasih tahu apa yang dibutuhkan Papa kamu."

Fiat mengangguk. "Cepat periksa, Dok." Fiat menatap Papanya kembali.

Dokter memeriksa keadaan Krist. Perawat ikut memeriksa selang infus yang ada di tangan Krist. Tak ada ekspresi sedih.

Dokter itu menatap Fiat. "Papa kamu sudah baik kok. Tapi harus menginap di sini dulu ya? Biar dokter enak meriksa keadaan Papa kamu. 3 hari saja kok."

Fiat menatap Dokter itu. "Jadi Papa harus menginap dulu? Kok lama banget sih, Dok? Kenapa gak besok saja dibawa pulangnya? Ini Papa boleh duduk gak, Dok? Kalau Papa kesakitan Fiat harus apa?"

Dokter tersenyum. "Iya, karena Papa Fiat sakit, harus dipantau sama dokter. Kalau besok dibawa pulang, terus kambuh, gimana coba? Dibawa ke rumah sakit lagi kan? Tunggu besok ya? Besok baru boleh duduk, biar gak pusing. Kalau Papa kamu ngerasa sakit, coba tangan kamu elus perut Papa kamu. Pasti hilang deh sakitnya." Dokter itu memberi pengertian kepada Fiat.

Ryn menghela napas. "Dok, jangan dengerin bocil ini. Gak ada habisnya, Dok. Terima kasih karena sudah menyelamatkan teman saya, Dok. Terima kasih."

Dokter itu menatap Ryn, lalu mengangguk. "Sudah tugas saya menyelamatkan dan merawat pasien saya. Tolong dijaga ya, jangan banyak gerak dulu. Kalau haus, bisa diberi minum. Tapi kalau makan tunggu malam nanti ya?" Dokter itu tersenyum menatap Ryn.

"Baik, Dok. Terima kasih." Ryn membalas senyuman sang dokter.

"Saya permisi dulu, Bu," pamit Dokter itu.

Tak lupa, dokter itu menatap Fiat. "Dijaga Papanya. Kamu kan jagoan."

Fiat mengangguk, lalu mengangkat jempolnya. Senyum Fiat terlihat sangat polos.

Dokter dan perawat itu meninggalkan ruang rawat Krist. Sedangkan Ryn, dia kembali duduk di tempatnya. Dia masih menatap Fiat yang masih berdiri di samping brankar Krist.

Krist menatap Fiat. "Sini duduk di ranjang Papa. Kamu pasti capek kan berdiri terus?" tanya Krist dengan suara lirihnya.

Fiat menggeleng. "Gak mau, mau di sini saja. Nanti kalau Fiat naik, takut Papa kesakitan kena senggol Fiat."

Krist tersenyum. "Gak papa kok. Papa mau dipeluk anak Papa."

Fiat mengangguk dengan semangat. Senyum Fiat masih terus merekah. Fiat mencoba untuk naik ke brankar Krist, namun, kaki Fiat terlalu pendek, hingga dia tak bisa naik.

Fiat menatap Ryn. "Aunty, dasar cewek gak peka. Fiat tuh lagi kesusahan naik. Harusnya, Aunty bantu Fiat naik. Ini, diam saja. Dikira Fiat kasih pertunjukan, sampai dilihat saja. Fiat butuh bantuan, Aunty."

Ryn tertawa mendengar ucapan Fiat. "Bocil sih. Pendek banget tuh kaki. Makanya cepat besar. Katanya mau lindungi Papanya. Tapi lupa diri, kalau dia masih kecil." Ryn berdiri dari duduknya, menghampiri Fiat.

Ryn membantu Fiat untuk naik ke atas brankar Krist. Ryn melihat keadaan Krist. "Cepat sembuh. Tepati janji kamu kemarin."

Krist tersenyum membalas ucapan Ryn. "Terima kasih, Ryn. Aku janji setelah ini, aku bakal bahagia sama Fiat."

Ryn kembali duduk di tempatnya. Melihat ke arah Fiat yang menatapnya dengan senyum polosnya. "Kenapa?" tanya Ryn.

"Terima kasih, Aunty Ryn. Aunty cantiknya Fiat. Baik banget sih sudah bantu Fiat naik," ucap Fiat memuji Ryn.

Ryn mengangguk. "Cepat besar makanya. Nanti biar bisa nonjok orang yang nyakitin Papa kamu."

"Itu harus. Biar Papa gak sakit terus." Fiat membalik tubuhnya menatap sang Papa.

"Pa, Fiat mau tidur," ucap Fiat.

Krist merentangkan tangannya. "Sini, tidur di atas tangan Papa."

Fiat memposisikan dirinya untuk tidur. Kali ini, Fiat merasa sangat rindu dengan Papanya. Selama di luar ruang operasi, Fiat terus bertanya keadaan Papanya kepada Ryn.

Kini, Fiat bisa tidur tenang di atas tangan sang Papa. Fiat menatap wajah sang Papa. "Pa, terima kasih sudah mengorbankan semuanya buat kebahagiaan Fiat. Fiat sayang banget sama Papa. Papa itu hidupnya Fiat."

Perlahan, mata Fiat tertutup. Kantuk yang sedari tadi ditahan, akhirnya bisa tertidur.

Krist menatap anaknya yang sudah tertidur. "Selamat tidur, Nak. Setelah ini, kita harus bahagia." Krist mencium kening sang anak.

Ryn menatap terharu Papa dan anak itu. Terasa hangat keluarga ini. Mereka terdiam, tak ada yang membuka suara. Hanya keheningan.

🌼🌼🌼🌼🌼

Keluarga [ Singto x Krist x Fiat ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang