Keluarga 33

590 58 2
                                    

Fiat sudah rapi dengan seragamnya. Menatap kaca yang ada di depannya. Tak lupa, Fiat memakai bedak bayi di wajahnya. Fiat menata rambutnya kembali, setelah itu Fiat memakai topi merah putihnya.

Krist masuk ke dalam kamar Fiat. "Jadi Papa antar kan? Fiat sudah siap?"

Fiat menatap Papanya. "Gak usah, Pa. Fiat bisa berangkat sendiri. Papa di rumah saja. Katanya mau buat roti lagi. Bahannya sudah Fiat siapin ya, Pa."

Krist menggeleng tak terima. "Papa sudah siap loh. Papa mau antar Fiat, dan Fiat gak boleh nolak."

Fiat cemberut. "Iya, deh. Tapi, Papa beneran gak papa?" tanya Fiat memastikan.

"Idih, ngeraguin Papa nih jadinya? Ya gak papa lah. Penglihatan Papa cuma buram Fiat, bukan buta. Jadi masih kelihatan. Siapa tahu lihat daun-daun, penglihatan Papa jadi membaik." Krist tersenyum.

Fiat lalu menggandeng tangan Krist. "Ya sudah, ayo berangkat, Pa."

Krist mengangguk. Mereka berjalan dengan bergandengan. Fiat tak henti-hentinya bercerita tentang teman-temannya yang ingin menjenguk Papanya.

"Pa, beneran deh. Teman-teman tuh tanya terus. Fiat, Papa kamu sudah sembuh belum? Perlu kita jenguk gak? Gitu, Pa." Fiat semakin asik bercerita.

"Ya sudah, nanti jawab saja. Papaku sudah sembuh, gak perlu dijenguk," ucap Krist.

"Bolehin jenguk dong, Pa. Biar Fiat yang makan oleh-oleh mereka. Kan Fiat kenyang." Fiat tertawa.

"Dasar. Gak boleh kayak gitu. Bilang saja. Papa sudah sembuh, gak perlu dijenguk. Bilang juga terima kasih sudah doain Papaku biar cepat sembuh." Krist memberhentikan jalannya.

"Loh, kenapa berhenti, Pa?" tanya Fiat.

"Sudah sampai. Kamu mau kemana kalau jalan terus?" tanya Krist.

Fiat melihat sekeliling. "Oh iya, sudah sampai. Hehe... ya sudah, Papa pulangnya hati-hati ya? Nanti kalau pulang, Fiat bantuin deh buat roti."

"Siap. Kamu belajar yang benar ya. Anak Papa pasti gak nakal, jadi gak Papa nasehatin biar gak nakal. Papa percaya Fiat." Krist mengelus rambut anaknya.

"Fiat masuk dulu ya, Pa." Fiat mencium tangan Krist. Setelah itu, Fiat berlari masuk.

Krist berjalan untuk pulang ke rumahnya. Berjalan pelan, karena penglihatannya yang tak jelas.

🌼🌼🌼🌼🌼

Mama Singto masuk ke dalam rumah Singto. Terlihat Singto yang sedang menonton televisi. Singto bahkan tak sadar jika Mamanya ada di belakang dia.

"Nonton televisi terus. Sudah makan kamu?" tanya Mama Singto.

Singto terkejut mendengar suara Mamanya. "Sudah, Ma. Ini lagi bosan saja." Singto menatap Mamanya. "Ma, kenapa harus bersujud di kaki dia sih? Mama dipaksa dia ya? Emang jalang dia."

Mama emosi mendengar ucapan Singto. Tangan Mama dengan cepat menampar pipi Singto. "Jaga ucapan kamu, Sing."

Singto memegang pipi yang ditampar oleh Mamanya. "Mama nampar aku karena jalang itu? Ma, aku anak Mama. Aku cuma gak mau harga diri Mama diinjak-injak sama dia. Dia cuma manusia rendahan, Ma."

Mama ingin menampar Singto kembali, namun tak jadi. Mama mendorong dada Singto. "Dengerin Mama. Krist bahkan lebih baik daripada kamu. Kamu bisa sehat seperti ini juga karena Krist. Dia yang mendonorkan ginjalnya buat kamu."

Mama menarik napas perlahan. "Kamu tahu? Wanita yang kamu belain, wanita yang kamu pilih, yang katamu lebih baik dari Krist? Dia yang merebut Ayah kamu dari Mama. Dia yang buat Ayah kamu lupa sama kamu. Dan dengan bodohnya, kamu mengulang kesalahan Ayah kamu. Kamu terlantarkan anak kamu dan Krist. Kamu harus tahu. Anne, yang kamu manjain. Itu anak Gheza sama Ayah kamu. Dulu, kamu sering ngeluh. Kenapa Ayah gak ada waktu buat kamu? Sekarang sudah tahu? Kamu gak penting buat dia."

Singto mematung mendengar penuturan sang Mama. "Ma, ini bohongkan?"

"Bohong? Buat apa Mama bohong? Dan kamu mau tahu keadaan Ayah kamu? Ayah kamu sudah meninggal karena kelaparan. Semua perusahaan diambil sama Gheza." Mama menatap Singto marah.

"Ayah kamu bajingan. Kenapa kamu juga bajingan? Mama dikelilingi sama orang bajingan. Dulu kamu gak mau Mama di sakiti Ayah kamu, tapi kamu apa? Menyakiti Krist. Mama kecewa sama kamu, Sing. Jangan pernah bilang anak Mama jalang. Dia lebih berharga dari apapun. Dan ingat, cucu Mama cuma Fiat." Mama meninggalkan Singto yang masih terdiam.

Singto duduk di kursinya. Tak percaya mendengar penuturan sang Mama. "Gak, ini pasti bohong. Krist gak mungkin donorin ginjalnya buat aku. Gak, gak mungkin. Gheza bangsat. Seharusnya aku tahu dari awal. Kamu jalan. Ahhh... brengsek."

Singto memukul meja kaca yang ada di depannya. Pecahan kaca berserakan, dan tangan Singto mengeluarkan darah.

"Aku harus ketemu Krist. Aku harus minta maaf. Krist harus balik ke aku. Aku mau keluarga aku." Singto berdiri perlahan dari duduknya, berjalan menuju kamarnya.

Singto akan membersihkan diri sebelum menemui Krist dan Fiat. Kini, ingatan masa lalu Singto kembali berputar di otaknya.

FLASHBACK ON.

Seorang lelaki tua meninggalkan anak kecil yang menangis memohon agar tak ditinggalkan.

"Ayah... Singto mohon. Jangan tinggalin Singto sama Mama. Singto butuh Ayah. Singto gak mau ditinggal Ayah. Singto bakal ngelakuin apapun buat Ayah, agar Ayah gak ninggalin Singto sama Mama," ucap Singto kecil memohon.

Lelaki tua itu berhenti, lalu menatap Singto kecil. "Saya mau kamu dan Mama kamu mati. Kalian mengganggu hubungan saya dan pacar saya. Kalian itu orang asing buat saya. Kalian pembawa sial."

Singto kecil menggeleng. "Gak, Ayah. Kita keluarga. Kita bukan orang asing. Ayah boleh bawa pacar Ayah ke rumah, tapi tolong, jangan tinggalkan Singto sama Mama. Singto mohon Ayah."

Lelaki tua itu menendang tubuh Singto. "Jangan pernah muncul di hadapan saya. Kita keluarga? Itu bagimu. Bagi saya, kalian hama. Kalian menumpang hidup di hidup saya. Kalian mau uang saya kan? Ambil. Jangan ganggu saya."

Lelaki tua itu meninggalkan Singto kecil yang terus menangis. Mama Singto datang lalu memeluk Singto kecil.

Singto meremas tangan Mamanya. "Ma, Ayah gak anggap kita keluarga, Ma. Singto benci Ayah. Singto cuma mau main sama Ayah. Singto cuma mau lihat Ayah, Ma. Singto mau rawat Ayah kalau Ayah sakit. Gak papa kalau Ayah gak mau lihat Singto. Singto bakal sembunyi."

"Sudah ya. Biarin Ayah bahagia sama pilihan dia. Biarkan Ayah bahagia sama keluarga Ayah yang baru. Kita jangan ganggu Ayah." Mama Singto mengeratkan pelukannya.

FLASHBACK OFF

Singto tersenyum sedih. "Kejadian dulu terulang lagi. Aku terlalu bodoh mengulangi kesalahan Ayah. Aku bodoh."

Dada Singto sesak mengingat masa kecilnya yang tak jauh berbeda dengan Fiat. Tangisan Singto semakin kencang untuk menghilangkan rasa sesak. Tak ada yang menghampiri Singto di kamarnya.

🌼🌼🌼🌼🌼

Yey... Biasanya trauma anak itu pasti kebawa. Kalau anak cewek, lihat kelakuan Ayahnya, pasti gak mau nikah. Kalau cowok, ya kayak Singto. Dia gak mau Mamanya terluka, tapi buat luka ke istrinya. Tapi banyak kok, yang ngelindungi istrinya.

Keluarga [ Singto x Krist x Fiat ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang