Keluarga 34

632 64 13
                                    

Singto datang ke rumah Krist. Niat Singto ingin meminta maaf atas semua kesalahannya di masa lalu.

Pintu rumah Krist terbuka. Singto langsung masuk ke dalam rumah tanpa mengetuk pintu. Singto melihat punggung Krist yang sedang melihat televisi.

Krist mematikan televisinya. "Kenapa harus berita seperti ini sih? Aku kan gak ngapa-ngapain. Kenapa sih, media suka banget buat berita berlebihan."

Singto terdiam. Dia juga mendengarkan berita yang menjelek-jelekkan nama Krist. Entah siapa yang menyebarkan berita tentang Mamanya yang bersujud di kaki Krist.

Tanpa sadar, Singto menatap Krist rindu. "Permisi." Singto tak sadar telah mengeluarkan suara.

Krist menatap Singto. Pandangan Krist semakin memburam. Namun, Krist terdiam. Krist berpikir itu suara Singto. "Kamu Singto?"

Singto terdiam. Krist menatapnya, namun Krist seperti tak mengenali wajahnya. Singto maju, mendekat ke arah Krist. Tangan Singto mencoba memastikan.

"Krist buta?" batin Singto.

Singto kembali fokus ke Krist. "Bukan, saya bukan Singto."

Krist terdiam sejenak. Setelah sadar, Krist tersenyum. "Suara kamu mirip sama Singto. Maaf... maaf. Ada perlu apa ya?" tanya Krist.

Singto terdiam. Dia bingung harus menjawab apa. Singto melihat sekeliling. Pandangan Singto tertuju pada roti yang ada di etalase. "Saya mau beli roti."

"Ah roti. Kamu pilih saja. Harganya sama saja kok." Krist tersenyum sangat manis.

Singto terdiam. Sudah sangat lama Singto tak melihat senyum tulus Krist. Singto ingin memeluk Krist. Tapi, dia takut ketahuan. Singto takut diusir, dan tak bisa bertemu lagi dengan Krist.

"Saya pilih rotinya dulu ya?" Singto masih menatap mata Krist.

Krist tersenyum, lalu mengangguk. "Pilih saja. Maaf kalau rasanya gak enak."

Singto berjalan menuju etalase roti itu. Bau roti itu masih seperti dulu. Singto ingat, rasa roti buatan Krist sangat enak. Sekarang, Singto rindu dengan semuanya.

Singto mengambil banyak roti, dan di masukan ke dalam tas ranjang yang ada di sana. Setelah selesai memilih, Singto membawa roti itu ke hadapan Krist.

"Ini harga rotinya berapa?" tanya Singto.

"Semua sama, 5 ribu." Krist tersenyum.

Singto terdiam. Roti seenak ini, hanya dihargai 5 ribu rupiah. "Ini semua 5 ribu? Apa gak rugi kamu? Ini enak loh," ucap Singto tak percaya.

Krist mengangguk. "Biar semua bisa makan roti aku. Rugi gak nya, biarin saja lah. Yang penting orang lain bisa makan."

Singto semakin tak mengerti jalan pikiran Krist. "Kamu kaya? Atau kamu gak butuh uang?" tanya Singto lagi-lagi.

"Aku biasa saja. Aku cuma gak mau orang-orang kelaparan. Gak enak kelaparan itu." Krist menatap Singto. Namun, pandangan Krist masih memburam.

"Ini semua berapa?" tanya Singto.

"Kamu tadi ambil berapa?" tanya Krist kembali.

"Kenapa gak kamu hitung?" Lagi-lagi, Singto dibuat bingung oleh kelakukan Krist.

"Aku percaya sama pembeliku. Dan, kalau kamu gak punya uang, bawa saja, gak papa kok." Krist memberikan kantung plastik ke Singto.

Singto memasukan semua roti itu ke dalam kantung plastik yang diberikan Krist. Singto mengeluarkan dompetnya. Lalu memberikan 3 lembar uang seratus ribu.

"Ini uangnya berapa ya? Ada kembalian kah?" tanya Krist.

"Sejak kapan kamu buta?" tanya Singto langsung.

Krist terdiam. Kata-kata sederhana, namun membuat jantung Krist berdegup cepat. Kriat hanya takut dikatai oleh orang.

"Maaf... maaf. Aku kembalikan ya uangnya." Krist dengan cepat mengembalikan uang itu.

"Aku cuma tanya. Sejak kapan kamu buta. Maaf kalau nadaku buat kamu salah paham." Singto merasa salah bicara.

Krist menggeleng. Rasanya sedikit canggung untuk sekarang. "Aku gak buta. Cuma penglihatan aku agak buram. Setelah operasi beberapa hari kemarin. Kalau kamu gak percaya sama rasa roti aku, gak papa kok. Uang kamu aku kembalikan ya. Kamu bawa saja rotinya.", Krist tersenyum. Berbeda dengan senyuman awal.

"Gak usah, uangnya buat kamu. Aku boleh makan rotinya di sini?" Singto meminta izin untuk memakan rotinya.

"Silakan. Aku buatkan minum dulu." Krist berjalan perlahan menuju dapurnya.

"Minumnya bayar berapa?" teriak Singto memastikan.

"Gak usah. Gratis kok," Krist membalas teriakan Singto.

Singto duduk di meja yang ada di dalam rumah Krist itu. Membuka satu bungkus roti yang baunya mengunggah selera.

Krist datang dengan hati-hati membawa cangkir di tangannya. Meletakkan cangkir itu di meja yang Singto tempati. "Diminum. Aku permisi dulu."

Singto menahan tangan Krist. "Bisa temani aku makan roti? Aku cuma mau ngobrol sama kamu."

Krist mengangguk lalu duduk di samping Singto. Singto memakan rotinya dan menatap wajah Krist. Roti buatan Krist masih sama seperti dulu. Tetap enak.

"Kamu habis operasi apa? Kok sudah jualan aja? Apa gak sakit?" tanya Singto.

"Operasi donor ginjal. Gak sakit kok, sudah lumayan." Krist tersenyum.

"Aku boleh minta pendapat kamu?" tanya Singto tiba-tiba.

Krist menatap Singto. "Pendapat apa?"

"Kalau seseorang punya salah fatal banget. Apa kamu mau memaafkan?" Singto menatap wajah Krist.

"Kalau aku, aku bakal maafin semua kesalahan. Tapi, ada satu yang gak aku maafin. Perselingkuhan. Yang aku takutkan, cuma bagaimana mental anak dari orang tua yang berselingkuh. Itu saja sih. Kalau ada orang yang buat salah, maafin saja." Krist tersenyum.

Singto terdiam mendengar jawaban Krist. Pupus sudah harapan berbalikan dengan Krist.

Seorang kakek tua dan anak kecil masuk ke dalam rumah Krist. Anak kecil itu berlari menghampiri Krist. "Om... Kak Fiat nya belum pulang ya?" tanya anak kecil itu kepada Krist.

"Belum, Dhian. Sebentar lagi Kak Fiat bakal pulang." Krist mengelus rambut Dhian.

Kakek itu melihat ke arah Singto. "Kamu kan?" tanya Kakek itu terputus ketika melihat kode dari Singto.

"Kakek kenapa? Kakek kenal sama dia? Eh iya, duduk dulu, Kek. Kakek mau makan nasi atau roti?" tanya Krist kepada Kakek.

"Nasi saja, Nak." Kakek itu duduk di meja samping Singto.

"Dhian mau makan apa? Atau mau makan nanti sama Kak Fiat?" tanya Krist kepada Dhian.

"Dhian tunggu Kak Fiat saja, Om. Sebentar lagi kan pulang." Dhian tersenyum kepada Krist.

Fiat datang dengan riangnya. Namun, ketika melihat Singto. Ekspresi Fiat langsung berubah. Fiat berlari menuju meja Singto. "Ngapain Om kesini? Pergi. Jangan ganggu Papa sama Fiat."

Fiat menarik baju Singto agar berdiri. "Pergi, Om. Pergi. Fiat gak mau lihat Om di sini. Pergi, Om."

Krist terdiam sejenak. Lalu menatap ke depan. "Singto? Kamu bohong? Aku mohon sama kamu, pergi dari sini. Jangan ganggu aku sama anak aku lagi. Aku sudah berikan ginjal aku buat kamu. Tolong, anggap biaya yang kamu keluarin dulu buat Fiat, lunas. Aku kembalikan uang kamu tadi. Tolong pergi dari sini."

Singto mencoba menggapai tangan Krist. "Krist aku mohon. Kembali sama aku, Krist."

Krist tertawa. "Kenapa baru sekarang? Apa karena kamu ditinggal calon istri kamu? Berarti, selama ini aku hanya cadangan? Ketika calon kamu gak ada, kamu kembali ke aku? Sudah ya. Kita sudah berakhir. Tolong kamu pergi dari sini. Aku mohon banget."

Fiat menarik baju Singto. "Keluar. Fiat gak mau lihat Om. Om jahat."

Singto mengalah. Dia tak mau membuat Krist dan Fiat semakin membenci dirinya. Singto melangkahkan kakinya keluar dari rumah Krist. Membawa roti yang tadi dia beli. Dia hanya ingin mengenang masa lalu dengan roti itu.

🌼🌼🌼🌼🌼

Keluarga [ Singto x Krist x Fiat ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang