Keluarga 10

756 87 8
                                    

Fiat masih menunggu Singto pulang. Menatap pintu yang tak kunjung terbuka. Fiat ingin sekali saja, memeluk kaki Singto ketika Singto pulang dari bekerja. Fiat ingin menjadi pelepas penat Ayahnya.

Krist di samping Fiat menatap jam yang terus berdenting. "Sudah pukul 10," batin Krist.

"Fiat tidur ya. Sepertinya, Ayah gak pulang. Besok kamu ngantuk kalau sekarang belum tidur. Katanya besok mau masuk sekolah?" Krist mencoba membujuk Fiat.

"Iya, Pa. Pa kalau Ayah pulang, bangunin Fiat ya. Fiat mau ucapin selamat malam buat Ayah." Fiat menatap Krist.

"Iya, nanti Papa bangunin kamu. Sekarang kamu tidur." Krist mencoba membantu Fiat berdiri. Krist berniat untuk mengantar Fiat ke dalam kamar, namun, Fiat menolak. Fiat ingin ke kamar sendiri.

Krist berjalan menuju kamarnya. Namun, sebelum membuka pintu kamarnya, Krist mendengar pintu dibuka.

Krist ingin melihat siapa yang membuka pintu, tapi, suara langkah kaki itu sudah menjelaskan siapa yang datang.

Singto berada di depan Krist, dengan wajah tanpa dosanya, Singto mendorong Krist. "Minggir, ini bukan jalan kamu."

Krist menarik tangan Singto. "Kenapa baru pulang? Fiat dari tadi nungguin kamu. Dia cuma mau peluk kamu. Dia cuma mau main sama kamu."

Singto menghempaskan tangan Krist. "Dia anak kamu. Bukan anak aku. Aku gak peduli, dia nungguin aku lah. Dia mati lah. Aku gak peduli."

"Dia anak kamu, bangsat. Dia cuma mau kamu luangkan waktu sebentar. Setidaknya kalau kamu manusia, kamu punya hati." Krist menunjuk ke arah dada Singto.

"Berani kamu sentuh aku? Aku bahkan gak sudi di pegang sama tangan kotor kamu." Singto mendorong Krist hingga dahi Krist tergores meja yang ada di sana.

Singto menjambak rambut Krist. "Ini semua salah kamu. Ini semua salah anak haram itu. Kalau kalian gak ada di hidup aku, mungkin aku sudah bahagia."

Ditengah kesakitan, Krist masih berusaha menjawab, "kamu yang minta aku buat jadi pasangan kamu. Kamu yang mengemis di depan rumah yang kamu sebut gubuk itu. Kamu memohon, kamu menjanjikan kebahagiaan. Tapi apa? Kamu cuma memberikan satu kebahagiaan, dan itu Fiat. Selebihnya, hanya siksaan?"

"Lihat baju kamu!" Krist menatap noda lipstik di baju Singto. "Bibir jalang mana yang mencium kamu? Apa kamu pikir, dengan begini aku akan cemburu? Gak! Hati aku bahkan sudah mati."

Singto menghantamkan kepala Krist ke arah tembok. "Dia jalang, tapi lebih baik daripada kamu. Bahkan, harga diri jalang lebih tinggi daripada kamu. Jalang melayani pria di bayar. Kamu? Kamu jalang gratisan buat suami. Menjijikan bukan?"

Darah mengalir dari dahi Krist. "Setidaknya aku masih ada harga diri. Aku dinikahkan, sah secara negara. Sedangkan para jalang? Tidur dengan semua orang."

Singto menampar Krist. "Mulut sampah kamu sudah berani bicara ya? Siapa nih yang ngajarin? Selingkuhan kamu? Atau tamu yang kamu suguhi lubangmu?"

Krist meludahi Singto. "Aku gak semurah kamu. Aku cuma melayani suami aku. Bukan seperti kamu, setiap tempat bisa membayar jalang."

Lagi-lagi Singto menampar Krist. "Mulut anak jalanan memang gak benar ya. Ah pantas, anak jalanan gak layak menjadi pasangan manusia. Gak bisa diatur."

Wajah Krist sudah mengeluarkan banyak darah. Bahkan, bekas tamparan juga menghiasai wajah Krist. Krist menatap benci Singto. "Kamu boleh ngatain Aku. Tapi aku mohon, temui Fiat. Dia cuma mau ucapkan selamat malam."

Singto tersenyum licik. Dan dengan tiba-tiba, Singto meludahi Krist. "Buat apa bertemu pembawa sial? Ucapan selamat malam dari anak haram itu gak berguna. Gak beri aku untung."

Singto melepaskan jambakannya. Lalu berdiri menatap Krist. Tak lupa, Singto menendang perut Krist. "Ah, maaf aku tendang. Siapa tahu di dalam itu ada anak, biar keguguran. Dan kalaupun gak ada, biar jadi pelajaran buat kamu, biar gak melawan perkataan suami. Aku pulang, capek seharian di kantor. Pulang-pulang diajak adu bacot sama jalang murahan. Menguras emosi tahu gak?"

Singto menginjak kaki Krist. Mendengar teriakan Krist, Singto semakin tersenyum. "Aku pergi, aku gak mau serumah sama jalang."

Singto pergi meninggalkan Krist yang masih terduduk. Membanting pintu hingga suaranya menggelegar seluruh rumah.

Krist mencoba untuk bangun, dengan kaki yang terasa sakit, perut yang terasa sangat nyeri, serta wajah yang sudah kebas. Krist ingin mengambil tisu untuk membersihkan noda darah di lantai. Dia tak ingin Fiat melihat darah itu.

Krist berusaha menahan sakit badannya. Tangannyapun bergemetar. Dengan pelan, Krist mengambil tisu yang tak jauh darinya. Krist membersihkan darah yang ada di lantai.

Krist tak menangis sama sekali. Dia hanya takut Fiat melihat dan mendengar pertengkarannya dengan Singto. Kamar mereda lumayan dekat.

Setelah bersih, Krist berjalan tertatih memasuki kamarnya. Krist membersihkan dirinya serta mengobati lukanya.

Di kamar Fiat, Fiat menangis mendengar pertengkaran orang tuanya. Fiat paham jika itu suara pukulan. Kini, Fiat semakin yakin, dia pembawa sial untuk Papanya.

"Jangan pukul Papa. Ini semua salah Fiat. Papa gak salah. Jangan pukul Papa. Papa baik. Fiat gak mau Papa terluka karena Fiat. Kenapa harus Papa yang dipukul? Kenapa gak Fiat? Ini gak adil. Yang bawa sial itu Fiat, kenapa Papa yang dipukul. Kenapa??" Fiat mengucapkan itu dengan nada yang ditahan ditenggorokannya.

Fiat seolah tak merasakan sakit di tenggorokannya karena menahan suara. Yang Fiat pikirkan hanya keadaan Papanya. Dia tak mau Papanya merasakan sakit.

🌼🌼🌼🌼🌼

Keluarga [ Singto x Krist x Fiat ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang