Keluarga 11

679 77 8
                                    

Krist memakaikan perban di tangan anaknya. Fiat memaksa agar dia masuk sekolah hari ini. Dengan telaten, Krist memakaikan perban, tak ingin membuat Fiat kesakitan.

Fiat hanya menatap wajah Papanya. "Pa..." panggil Fiat.

Krist menatap Fiat. "Kenapa, Sayang?"

"Wajah Papa kenapa? Kemarin bukannya gak ada luka ya?" tanya Fiat.

Krist tersenyum. "Kemarin Papa cuma jatuh aja. Terus kegores meja. Jadinya gini." Krist melanjutkan memasang perban di tangan Fiat.

Fiat hanya mengangguk. Dia ingin tahu apakah Papanya akan berkata jujur atau tidak. Tetapi, Papanya memilih berbohong.

"Ayo berangkat." Krist membawa tas yang akan dipakai Fiat.

Mereka berangkat menuju sekolah Fiat. Menaiki motor maticnya. Krist mengemudikan motornya dengan perlahan. Dia tak mau terjadi apa-apa.

Sesampainya di sekolah, Fiat turun dari motornya. "Pa, Fiat masuk dulu, ya. Papa hati-hati. Jangan ceroboh lagi, nanti jatuh lagi."

Krist tersenyum. "Iya, Papa hati-hati. Ya sudah, sana masuk."

Fiat berlari menjauh dari Krist. Fiat tak sanggup jika melihat luka di wajah Papanya. Fiat ingin menangis melihat Papanya yang harus terus berbohong.

Krist menjalankan motornya untuk pulang. Hari ini, Ryn akan mengantarkan surat perceraiannya. Dia juga ingin menghabiskan waktu bersama sahabatnya sedari dulu itu.

Krist memarkirkan motornya di depan rumah. Memasuki rumah dengan perasaan hampa. Perut Krist terasa sangat sakit.

Krist duduk di kursi ruang tamu, memegang perutnya yang terasa sakit. "Tuhan, kenapa sakit banget. Padahal aku sudah minum obat pengurang rasa sakit."

Krist mencoba memejamkan matanya sejenak, berharap rasa sakit di perutnya berkurang. Perlahan, kesadaran Krist menghilang. Krist sudah berlabuh di dunia mimpi.

🌼🌼🌼🌼🌼

Krist merasa ada yang menepuk pipinya. Mata Krist mulai terbuka, menatap sekeliling untuk menyesuaikan cahaya yang masuk.

"Kamu sudah sampai?" tanya Krist kepada Ryn yang duduk di sampingnya.

Ryn hanya diam, menatap wajah Krist. Ryn menatap luka-luka yang yang ada di wajah Krist. "Wajah kamu kenapa?"

Krist menggeleng. "Gak papa. Cuma luka jatuh kemarin saja."

Ryn menatap tak percaya. Tangan Ryn menyentuk luka di wajah Krist. Lalu melihat seluruh wajah Krist. "Kamu dipukul sama Singto? Kenapa diam? Jangan lemah Krist. Kamu harus lawan dia. Gak bisa dia seenaknya menyiksa kamu."

Krist menyingkirkan tangan Ryn. "Gak papa. Biarin dia puas nyiksa dulu. Habis inikan aku bebas. Aku sama Fiat bakal pergi dari rumah ini."

Ryn teringat berkas yang ada di tasnya. Dia mengeluarkan berkas itu, lalu menyerahkan kepada Krist. "Ini surat yang bisa buat kamu bahagia."

Krist menerima berkas itu. "Terima kasih, Ryn."

Ryn mengangguk. "Gak ada yang mau kamu ceritakan? Sudah lama kita gak ketemu loh."

Krist menatap Ryn. "Aku bertahan karena Fiat. Dari awal, aku sudah capek. Bahkan, aku sudah mau mengajukan perceraian dari awal kehamilanku. Tapi, aku gak mau Fiat sama seperti aku. Gak mendapatkan kasih sayang orang tua."

Krist menatap ke arah televisi yang tak nyala itu. "Kamu bahkan tahu kehidupan aku dulu. Hidup di jalanan, tanpa orang tua. Bapakku yang memilih wanita lain, Ibuku yang memilih pergi dengan orang lain juga. Hidup aku hampir sama dengan Fiat. Tapi, aku gak mau Fiat sama seperti aku. Setidaknya, Fiat masih ada aku. Aku juga gak mau kalau Fiat tekanan batin. Mendengar pertengkaran orang tuanya terus menerus. Bahkan, Singto tak sungkan menyebut Fiat anak pembawa Sial."

Ryn menyela ucapan Krist, "Fiat tahu tentang luka di wajah kamu?"

Krist menggeleng. "Aku bohong sama dia. Aku gak mau dia semakin benci Ayahnya. Lucu ya. Aku pengen Fiat terbuka sama aku, tapi aku malah gak ngajarin cara terbuka itu gimana. Ya kamu pikir saja Ryn, gak mungkin aku bilang, Papa dipukul Ayah kamu. Aku gak mau bikin hati anak aku luka Ryn. Aku gak mau lihat Fiat menangis juga."

"Aku pikir, kembali ke rumah jalanan ku gak buruk. Setidaknya, aku bisa buat usaha. Ada Fiat di samping aku." Krist menatap Ryn. "Kalau mau main, kesana saja."

"Kapan kamu mau jujur sama Fiat tentang semuanya. Tentang kelakuan Ayahnya ke kamu?" tanya Ryn.

"Mungkin Fiat gak akan tahu. Kamu gak lihat kemarin Fiat gimana? Itu dia cuma lihat Ayahnya sama orang lain. Aku cuma mencoba menjaga mental anakku, Ryn. Asal kamu tahu, bahkan Fiat berpikir kalau dia lahir itu membawa kesialan. Dia benci ulang tahunnya, Ryn. Dia benci hari kelahiran dia. Aku cuma mau anakku tumbuh sesuai usianya. Aku gak mau dia dewasa karena keadaan. Bayangin, anak seusia dia bisa bermain dengan cutter. Aku bahkan gak pernah tahu sejak kapan dia bermain cutter. Hancur aku, Ryn. Hancur. Lihat tangan anakku penuh luka, diary yang penuh kesakitan." Krist menghapus air matanya yang menetes.

"Gak ada yang bisa hancurin aku. Tapi, aku lihat anakku lemah di brankar rumah sakit, saat itu aku hancur. Aku pengen banget peluk erat Fiat. Aku merasa gagal gak bisa jaga anak aku." Krist menatap Ryn. "Selingkuhan Singto sepertinya sudah punya anak, atau itu juga anak Singto. Aku gak tahu. Fiat merasa iri sama anak itu. Fiat bilang, anak itu kesayangan Ayahnya."

Ryn mengelus pundak Krist. "Nangis saja. Jangan ditahan."

"Aku gak menyesal karena punya Fiat. Yang aku sesali cuma kenapa harus Singto yang jadi Ayahnya? Kenapa aku gak bisa menjaga anakku? Kenapa aku bodoh, gak bisa mengurus rumah tanggaku. Kenapa aku menerima lamaran Singto? Banyak penyesalan aku."

"Tenang, Krist, tenang. Jangan buat penyesalan jadi alasan kamu terpuruk. Kamu masih ada Fiat. Kamu bisa menatap hidup yang lebih baik." Ryn masih mengelus pundak Krist.

"Kalau aku mati, Fiat sama siapa, Ryn. Aku takut, anak aku gak terurus. Aku takut ninggalin Fiat sendirian. Siapa yang mau peluk anakku saat dia sedih. Aku ada saja gak berguna. Apa Fiat bisa mengurus hidupnya sendiri? Aku gak mau Fiat diambil Ayahnya kalau aku mati." Krist menatap Ryn dengan mata yang sudah basah.

Ryn menggeleng dengan cepat. "Gak, jangan bicara macam-macam. Kamu bakal sama Fiat terus. Dan aku janji, kalau kamu kenapa-kenapa, aku yang bakal perjuangin hidup Fiat. Dia sudah seperti adikku sendiri."

"Terima kasih sudah menjadi sahabatku, Ryn. Terima kasih sudah membantu aku sama Fiat. Aku gak tahu gimana jadinya kalau gak ada kamu." Krist tersenyum, namun, air matanya tak berhenti menetes.

Ryn menarik tubuh Krist, lalu memeluknya. Tangisan Krist semakin pecah. Dia tak sekuat itu menghadapi dunianya yang hancur.

🌼🌼🌼🌼🌼

Keluarga [ Singto x Krist x Fiat ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang