— 155.
___________________________________________________Mereka pulang dengan, selamat.
Setelah banyak praduga yang dilayangkan Decky dan Michael, Nuga menukas semua itu dengan menepikan mobil di basement dengan nyaman dan aman. Namun, memang benar, tidak ada pembicaraan secara intens antara mereka selain ajakan untuk segera masuk unit, bersihkan diri, serta makan malam yang kini sudah selesai.
Decky sudah kembali ke unitnya bersama Jehan yang tadi bergabung untuk makan, sedangkan Jio, dia kembali ke kafe yang seharusnya sudah tutup entah untuk apa. Untuk Cakra, benar, dia tidak pulang. Lelaki yang malang.
Setelah semua rutinitas malam selesai, Nuga keluar dari kamar mandi lengkap dengan piyama navy silk. Sungguh menawan ditambah sorotan cahaya bulan yang terpancar dari jendela yang masih terbuka lebar.
"Back to your room, Michael. Gue mau tidur."
Sembari melemparkan handuk kecil pada oknum yang seenaknya tidur di ranjang king size miliknya.
"Hm, lima menit lagi, ngantuk." Michael tidak menggubris.
Nuga memutar bola mata, malas. Akan tetapi, tetap saja ia membiarkan lelaki yang sudah kelelahan—karena belanja, membawa banyak barang, serta memasak untuk porsi banyak—itu beristirahat. Ia membangunkan Michael agar lelaki tersebut tidur dalam posisi nyaman, tidak seperti sebelumnya yang akan membuat leher sakit ketika bangun nanti.
Memberi ruang pada Michael, Nuga mengambil ponsel yang beberapa waktu tidak ia sentuh. Ia duduk di meja tempat ia banyak menghabiskan waktu dalam ruangan kamar ini.
Tidak ada yang spesial saat ia nyalakan benda pipih tersebut, selain sahutan grup juga beberapa pesan dari anggota baru yang meminta izin di organisasinya besok.
"Bang, kira-kira reaksi ibu gimana, ya, pas tau gue pulang bawa kabar udah baikan sama lo?"
Pertanyaan itu mengalihkan atensinya. Michael belum tertidur pulas, lelaki itu hanya memandang lurus langit-langit kamar, membayangkan.
Berbicara mengenai ini, Nuga juga penasaran. Selama satu minggu kebelakang, Nuga memang memfokuskan diri agar bisa lebih menerima Michael—melihat bagaimana lelaki itu melakukan banyak hal demi berdamai. Ia sadar, tidak seharusnya ia membenci bahkan menjauhi Michael.
Jauh sebelum Cakra berkata bahwa Michael bukan objek yang pantas dibenci karena kesalahan orang tua mereka, Nuga sudah sadar. Namun, sebagai manusia biasa sikap denial kerap menghampiri. Melihat Michael bagi Nuga seperti melihat sang ayah, ia baru menyadari jika mereka semirip itu.
"Gue nggak tau." Jawaban itu membuat Michael kembali bercerita.
"Dulu, pas ibu tau lo sama mama pergi dari kota yang kita tempati pas kecil, dia sempet nggak bisa makan apa-apa kalau bukan gue yang paksa."
Nuga bergeming, mendengarkan.
"Awalnya gue juga marah sama ibu. Karena dia, gue sama lo jadi jauh banget. Bahkan mama nggak mau lagi mandang gue kaya anak sendiri kaya sebelumnya. Gue sakit hati sama ibu, kenapa dia bisa nikah sama suami sahabatnya sendiri?"
Yang mana yang Isa dipercaya antara cinta memang sebodoh itu, atau semua hal memiliki alasan?
"Tapi gue juga nggak bisa biarin ibu sakit. Maaf, kalau waktu itu sempet egois karena mihak ibu." Michael menunduk, ia teringat bagaimana ia berjuang agar ibunya kembali mendapat semangat dan terlepas dari belenggu rasa bersalah. "Selama hidup gue, ibu nggak pernah bahas bahkan temuin gue sama ayah, lo tau itu. Dan ketika gue tau, kalau ada sosok laki-laki yang mengaku sebagai ayah dateng ke rumah, gue seneng bukan main. Waktu itu lo juga ada di sana pas gue nangis karena terlalu bahagia."
Michael mengusap sedikit bulir yang tiba-tiba mengalir, ia menghela napas singkat sebelum melanjutkan.
"Gue seneng, karena akhirnya gue punya sosok ayah juga. Dan ibu, dia punya sosok suami yang nggak pernah gue liat wujudnya. Gue bahagia, karena bayangan keluarga lengkap akhirnya gue rasain."
Terhenti.
Nuga melirik kecil pada Michael, ia tahu apa alasan mengapa lelaki itu berhenti berbicara.
Karena ini, akan menyakitinya.
Lanjutan dari cerita itu, disaksikan sendiri oleh Nuga. Nuga yang dulu seterbuka itu harus melihat kebahagiaan orang lain, di atas kehancuran ibundanya sendiri. Iya, pria yang datang ke rumah Michael adalah ayahnya. Ayah yang dulu ia jadikan role model sebagai pria terhebat yang selalu menomorsatukan wanita yang dicintai.
Dulu, selepas ia melihat jelas semua itu. Nuga pulang, memeriksa keadaan sang ibunda. Namun, yang ia temukan adalah serakan barang dan pecahan kaca, dengan sang ibunda yang meraung sakit di pojokan.
Hari itu, adalah hari kehancuran mereka berdua. Kenyataan memberi ibu beranak itu plot hidup yang tidak terduga.
Sang ayah yang menyembunyikan wanita lain, sang ayah yang menyembunyikan darah dagingnya sendiri, dan sang ayah yang baru saja menghancurkan dua hati paling kuat dengan sekali gertakan.
"Andai aja dulu ibu gue nggak secinta itu sama ayah, mungkin keluarga kalian bakal baik-baik aja. Andai aja dulu gue bisa cegah kedatangan laki-laki itu ke rumah, mungkin kita nggak perlu jauh-jauhan. Mungkin gue nggak akan lahir buat ngerasain ini, dan mungkin ibu lo ...."
Mungkin mama masih ada, di sisi gue sekarang.
Michael lagi-lagi menahan, dan Nuga melanjutkan.
Nuga menghela napas panjang, kemudian mendongak—menahan air mata yang mungkin akan meluncur kapan saja saat ia berkedip. Ia terbawa suasana, terbawa arus masa lalu saat di mana sang ibunda tak bisa lagi menahan rasa sakit hingga nekat melakukan hal yang dilakukan orang-orang putus asa.
"Tapi ... gue nggak memungkiri, Bang." Dengan suara yang sudah parau, Michael masih tetap bercerita. "Nggak memungkiri kalau gue seneng liat ibu bisa senyum lebar, liat ibu nggak tidur sendiri, liat ibu nggak kesepian. Gue jahat, gue tau."
Nuga mengalihkan seluruh atensinya pada Michael yang kini memeluk lutut, menangis di sana. Sementara lelaki itu sendiri, ia merasa tidak bisa menahan emosionalnya yang meledak begitu saja setelah sekian lama. Persetan dengan malu karena lelaki tidak boleh menangis, ia selalu ingat apa yang dikatakan sang ibu jika siapa saja berhak merasa sedih bahkan jika harus menangis sekali pun.
Detik berikutnya, Michael tersentak. Ia tiba-tiba dirangkul seseorang. Ia mendongak, menemukan Nuga dengan keseriusannya memberikan ia bahu agar bisa bersandar.
"Nggak usah dilanjut, kita sama-sama tau. Dan gue udah mutusin buat berhenti benci sama orang-orang atas kehancuran gue di masa lalu. Gue nggak mau, bikin mama menderita di tempat tenangnya, seenggaknya itu yang jadi tumpuan gue sekarang," ujar Nuga sambil menepuk pundak Michael, menguatkan.
Entah apa yang sedari dulu semesta rencanakan untuk mereka. Nuga yang selalu dirundung kehilangan orang tersayang serta diliputi kesendirian. Pun Michael, Dewi Kebahagiaan selalu memaksa lelaki itu agar terus tersenyum setiap saat, meski rasa sepi sepanjang hidupnya membuat ia perlahan sekarat.
Tidak ada yang lebih baik dari rasa sakit. Namun, hal itu bisa menjadi awal, agar manusia bisa sama-sama belajar walau harus melewati banyak hal, seperti mereka. Mudah? Tentu tidak. Mereka hanya berpegang pada prinsip hidup harus terus berjalan meski merangkak dengan berdarah-darah.
Semesta, mulai hari ini, restui mereka agar saling kuat satu sama lain, selayaknya kakak beradik yang saling menyayangi.
—Next chapter
![](https://img.wattpad.com/cover/313867283-288-k688179.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Paper Rings | Jeon Wonwoo
RomantikIni narasi AU ajaaa, lebih lengkapnya di Twitter © xxanianddd yaaa! Judulnya sama. Udah end