Him

388 11 0
                                    

186. Him

Sesaat setelah bel tersebut tak lagi berbunyi, Arkeyna memberanikan diri untuk mengintip di balik bel kamera monitor. Seorang dengan beanie hat hitam, lengkap dengan masker yang hampir menutupi seluruh wajahnya, tengah berdiri di sana.

"Key?"

Arkeyna sontak mundur dengan degup jantung cepat, pria itu kembali memanggil namanya seraya mendekatkan diri ke speaker monitor yang terhubung ke kamarnya.

"Keyna lo belum tidur, kan? Gue liat lo bikin SG galau setengah jam lalu."

Kurang aj ... apa katanya? Tunggu, Arkeyna merasa mengenali suara itu. Ia kembali mendekat, dan meneliti dengan seksama bagian wajah yang nampak di sana. Bulu matanya cukup lentik untuk ukuran lelaki, dan ... astaga! Arkeyna jelas tahu siapa sosok di balik pintu itu saat kedua netranya bertemu satu sama lain.

Dengan cepat ia membuka ponsel kemudian menelpon seseorang yang dirasa benar dia orangnya.

"Eh? Hal ...."

"Kak Han?" Sambil memerhatikan gerak-geriknya, Arkeyna bertanya untuk memastikan.

"Apa? Ini lo ngapain telepon, Key, astagaaa. Mending bukain pintunya bentaran."

Helaan napas lega mengudara. Benar saja, pria itu adalah Jehan. Ia segera membuka pintu dan kembali menelisik bila-bila ia salah mengenali seseorang.

"Astaga, Kak ...."

Kerutan dahi menjadi respons pertama yang menyambut. Jehan tidak habis pikir, kenapa Arkeyna menatapnya menyelidik seakan ia adalah maling?

"Ini beneran gue, Jehan. Nih!" Jehan membuka masker yang menutupi wajahnya, dengan gamblang. "Percaya?"

"Sekarang iya."

"Kenapa nggak langsung cek aja tadi, gue nunggu lama asal lo tau." Jehan melirik jam digital yang terpasang di tangannya. "Hampir satu jam."

Arkeyna menggedikkan bahu acuh. "Lagian perawakan kaya gini emang udah seharusnya dihindari." Kemudian, ia melirik ke kanan dan ke kiri bahwa lorong apartemen ini cukup sunyi saat malam hari. "Apalagi datang tengah malam tanpa ngabarin dulu."

Sedang Jehan, mulutnya enggan mengatup ketika mendengar penuturan itu. Ya ... benar, sih ... tapi, kan, ia punya alasan sendiri untuk itu! Batinnya mencari pembenaran.

"Lama bareng sama si Nuga jadi ketularan sarkasmenya," sindir Jehan sangat pelan, hingga Arkeyna hanya menaikan satu alisnya bingung saking tidak jelas apa yang dikatakan. "Dah, dah. Sorry, ya. Tapi gue beneran nggak punya waktu banyak. Sekarang mau balik kerja lagi. Nih, cuma mau ngasih ini aja."

Jehan memberikan dua buah paper bag besar langsung pada tangan Arkeyna.

"Jangan tanya apa-apa dulu ke gue sekarang soal ini, intinya lo lia-liat aja barangkali ada surat atau apalah gitu."

Arkeyna menerima. "Emang ... ini dari siapa?"

"Dari Emak gue! Ya bukanlah, Arkeynaaa. Ish, udah dibilang jangan tanya-tanya dulu."

Arkeyna mengerucutkan bibirnya. "Ya udah. Thank you."

"Gitu doang?"

"Apalagi?"

Jehan menggelengkan kepala. "Tawarin minum minimal."

"Yang katanya buru-buru? Udah, ah, Kak. Nggak enak diliatnya malam-malam gini masih bertamu."

"Astagaaa ... beneran ngusir. Ya udah, gue balik dulu. Jangan lupa, tuh," tunjuk Jehan pada paper bag yang tadi ia berikan. Ia berjalan mundur seraya melambaikan tangan. "Dah! Hati-hati lo sendirian di apart. Kalau ada apa-apa hubungin siapa aja yang lo kenal. Gue, Cakra, Mika atau ...."

"Atau siapa? Orang nggak pernah ada apa-apa juga," tukas Arkeyna cepat. Ia mendelik sebal saat mendengar kekehan keluar dari mulut lelaki yang sekarang menghilang dari hadapannya.

Selepas kepergian Jehan, Arkeyna sekilas melirik paper bag di tangannya, disertai pikiran yang tiba-tiba hinggap. Kemudian, mengingat apa yang dikatakan lelaki itu tadi.

"Kerja apaan tengah malam gini pake pakaian serba tertutup?" Ia masuk kembali ke dalam, seraya mengunci pintu. "Selebritis bukan. Eh, apa iya? His, ngapain juga mikirin itu. Nuga aja nggak pernah cerita." Sadar apa yang ia katakan, Arkeyna menghela napas lebih dalam. "Kenapa harus dia lagi, sih, Key ...." 

Sementara di bawah apartemen ini, Jehan bersama seorang lelaki lain yang selalu mengikutinya ke mana-mana itu tengah berdebat kecil, sang manager.

"Gue udah bilang, ini lebih penting dari apa pun. Lo juga tenang aja, ini udah paling oke buat penyamaran biar nggak ketahuan orang. Tuh. Oke, kan, gue? Cakep begini. Lagi pun gue bukan orang yang penting-penting amat."

"Kalo nggak penting mana mungkin lo di undang ke banyak acara, Rajehan. Kita juga bisa telat, lo belum tidur sebelum pemotretan nanti pagi."

"Nggak usah lebay, gue bisa tidur diperjalanan nanti."

"Semerdeka lo aja."

Jehan menyunggingkan senyum, ia menang. Meskipun benar apa yang dikatakan lelaki di sebelahnya, ia tidak ambil pusing. Toh, belakangan ini ia sudah cukup rehat, makanya bisa disebut pengangguran.

"Oh iya satu lagi, kalau ada apa-apa sama gue, jangan langsung ngadu ke Jio atau Cakra. Jangan repotin mereka."

"Repotin mereka jangan, repotin gue sama tim oke-oke aja."

"Emang." Jehan tertawa melihat raut wajah sebal lelaki itu. Tidak sepenuhnya serius, karena sejatinya ia hanya tidak ingin membuat orang lain kesusahan karena dirinya.

— Next chapter

Paper Rings | Jeon WonwooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang