179 | Not Easy, Actually

322 12 0
                                    

—179. Not  Easy, Actually.

•°•°•

"Udah, kan, nggak ada yang ketinggalan?" tanya seorang wanita dengan baju kemeja tipis di musim hujan yang dingin ini. Balutan serba putih dengan celana panjang khas penampilan seorang pegawai kantor itu bisa menjelaskan bahwa beliau menyempatkan diri pergi hanya untuk mengantar sang anak ke bandara.

Senyuman tersemat. Pernyataan berulang yang dengan sabar ia jawab. Nuga mengangguk mengiyakan, lalu melepas mantel panjang miliknya, dan menyemaikan itu pada pundak wanita tersebut.

"Bawa pulang, ya. Nanti pasti dingin."

"Tapi Nuga gimana?"

"Nggak apa-apa. Ibu lebih butuh. Lagian, Nuga udah biasa sama cuacanya di sana."

Ibu dari Michael, atau lebih tepatnya sahabat dari mendiang sang ibunda, yang sempat berselisih dengannya selama bertahun-tahun.

"Jangan khawatir, Nuga pasti ke sini lagi, bareng Michael," ujar Nuga memahami makna lewat pancaran mata yang wanita itu tunjukkan, kekhawatiran.

Sedang sang empu yang namanya disebut hanya memalingkan wajah. Ia masih kesal dengan Nuga usai hari itu mereka berbincang. Sebentar lagi mereka pulang bersama, tetapi keduanya belum saling berbicara satu sama lain. Pikiran Michael masih berada pada hari di mana ia mengetahui hubungan Nuga dan Arkeyna berakhir, tanpa dicegah. Ia tidak bisa membayangkan, bagaimana gadis itu melalui harinya sekarang.

Michael berdecak kecil, kenapa juga ia yang merasa tidak diadili? Sudahlah, Michael tidak mau berlama-lama. "Bu, Mika beli dulu minuman, ya. Sendirian, nggak mau dianter," izinnya cepat saat sang ibu sudah melirik Nuga.

Sama seperti apa yang lelaki jangkung itu pikirkan, Nuga pun sama. Melihat Michael marah padanya dengan mengedepankan Arkeyna sebagai laki-laki, membuat ia teringat gadis itu, sesaat. Secepat pikiran itu melintas, secepat pula ia menepis, setidaknya untuk menghargai keberadaan seorang wanita lain di sini, sang ibu.

"Nuga?"

Ah, ternyata ia melamun sedari tadi. Nuga terintrupsi. Ia menghela napas panjang, kemudian mengusap surai wanita itu.

"Nggak ada apa-apa, Nuga sama Mika cuma selisih paham aja, bukan hal besar."

Ini bukan kali pertama Nuga memberikan kehangatan padanya sejak beberapa hari kemarin mereka kembali dekat, tetapi Karina—nama wanita itu—tetap saja terenyuh dengan perlakuan tersebut.

"Bu Karin, izin memberitahu rapat ...."

"Iya saya tau, ini cuma sebentar. Anak saya mau pulang sekarang, padahal belum puas ketemu udah ditinggal lagi."

Seorang lelaki dewasa berpakaian sama formalnya dengan Karina langsung kembali mundur setelah mendengar penuturan tersebut. Dia memberikan lagi jarak untuk ibu dan anak yang sempat terpisah itu.

"Udah, Ibu pulang aja, ya. Nuga sama Mika sebentar lagi juga pergi."

"No. Ibu masih kangen kalian, ibu kangen Nuga." Karina melempar tatapan kesal pada sekertarisnya karena merusak suasana tadi. Lalu, atensinya kembali pada Nuga. "Ibu ... boleh peluk, ya?"

Satu anggukan tanda setuju. Nuga lebih dulu merengkuh tubuh Karina yang mampu menerbitkan senyuman dari sang ibu.

Dalam dekapannya, memori Karina tetap berjalan di masa sekarang yang sulit ia percayai. Seperti saat Nuga datang jauh-jauh untuk menemuinya, pun memiliki hati lapang untuk kembali memperbaiki sesuatu yang terlanjur rusak.

Meski hari-hari pertama Nuga masih denial, tetapi dengan sabar Karina mencoba untuk lebih dekat. Seperti memasakkannya makanan kesukaan saat dulu, atau sekedar berbincang kecil walau Nuga lebih sering menghindari itu. Tak apa, keesokan harinya ia terus mencoba lagi dan lagi, hingga respons baik diberikan Nuga.

Paper Rings | Jeon WonwooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang