217. Tak.dir (?)

314 11 0
                                    

—217. Tak.dir (?)

Setelah menunggu pesan yang tak kunjung mendapat balas dari Michael, Nuga kembali menjatuhkan kepalanya di tepi ranjang putih, lelah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah menunggu pesan yang tak kunjung mendapat balas dari Michael, Nuga kembali menjatuhkan kepalanya di tepi ranjang putih, lelah. Hubungan mereka kembali menciptakan jarak, dan lagi-lagi hal ini tidak diketahui sang ibu yang menanyakan kabar mereka serta menitipkan amanat agar tetap akur di waktu yang bersamaan.

Sesaat pandangannya terfokus pada gadis yang masih berbaring di depannya.

"Kamu nggak bosen tiduran?" tanya Nuga sambil mengusap pipi Arkeyna lembut, dengan punggung jari telunjuknya. "Aku bisa ajak kamu jalan-jalan sore kalau kamu bangun."

"Kita bisa naik sepeda kembar, terus main sampai ke pantai lagi." Nuga menghela napas, ia tidak ingin bersedih saat mengingat kenangan mereka. Maka dari itu, ia memilih memaksakan senyum seraya berkata, "aku bakalan kasih kamu banyak cokelat pasar malam. Nggak apa-apa kamu ngambek, aku seneng liatnya."

Dua hari tanpa melihat Arkeyna berekspresi tentu membuat Nuga merasa ada yang hilang. Lupakan tentang apa yang telah terjadi kemarin, sekarang ia hanya akan mendeskripsikan apa yang hari ini dilewatkan.

Cokelat.

Cemilan manis itu. Tiba-tiba teringat akan satu orang lagi. Orang yang belakangan selalu membuat grup menjadi berisik.

Nuga membuka ponselnya kembali dan mencari kontak bernama Cakra di sana. Kemudian mengirim beberapa pesan hingga bertukar balas.

Angkat teleponnya, gue mau ngomong.

Nuga membasahi bibirnya ketika membaca satu bubble chat dari sana. Lelaki itu pasti akan mengomel lagi.

Mau tak mau, Nuga menekan tombol hijau agar telepon terhubung.

"Hm?" gumam Nuga lebih dulu menyapa.

"Gue nggak bakalan tanya-tanya soal lo yang dua hari ini terus diem di RS."

Nuga mengerutkan kening. "Oke ... then?"

"Tapi hari ini lo harus pulang. Jehan bentar lagi pasti sampe apart, lo harus ada buat makan malem bareng sama yang lainnya."

"Gue usahain."

"Nggak ada nggak ada! Gue mau mereka liat sendiri lo makan."

"Gue makan."

"Siapa yang percaya? Nggak ada. Nu, lo tuh ...."

Dan banyak lagi perihal makan, makan, dan makan. Cakra berceloteh panjang mengenai hal yang sama setiap harinya. Iya, Nuga tahu ia harus makan. Akan tetapi, bagaimana bisa ia melakukannya seperti biasa saat sesuap nasi saja terasa tidak enak? Hambar, dan tak berselera.

Jangan salahkan ia yang kehilangan napsu makannya.

"... lo dengerin gue, nggak?"

"Denger," responsnya kemudian. Ia hendak mematikan topik dengan mengingatkan lelaki itu untuk segera menutup telepon karena penerbangan yang akan segera dimulai, tetapi Cakra tetap kekeuh mengatakan 'bodo amat!'.

Nuga terdiam menunggu balasan dari lelaki di seberang sana, tetapi ia tak menemukan sebisik suara pun hingga ia mengeceknya.

"Halo? Cak?"

Nuga heran, lantas ia berdiri dari sana dan berjalan ke arah jendela untuk melihat matahari yang semakin menutupi diri di balik gedung-gedung tinggi.

"Cak?" panggilnya sekali lagi. Masih tidak ada jawaban.

"Nu."

Saat akan mematikan telepon karena dirasa Cakra sudah selesai, lelaki itu malah mengeluarkan suara yang membuat ia memandang jauh ke bawah sana.

"Pulang. Kasian Michael harus tinggal sendirian."

Ternyata topik itu yang membuat Cakra sulit mengatakan hal tersebut. Nuga membuang pandangan ke sembarang arah, bayangan saat Michael menatapnya marah masih terngiang di benaknya.

"Nanti, Cak."

"Kalo ada masalah, selesain sekarang. Jangan lagi lo tunda-tunda kaya yang udah-udah."

Menohok.

Dan itu benar. Tidak seharusnya ia membiarkan ini begitu saja dengan dalih memberi ruang untuk meeka berdua.

"Kalau lo khawatir karena nggak mau Keyna sendirian, lo bisa bilang itu sama yang lain. Gue sama anak-anak udah sering bilang itu ke lo, kan?" Nada bicara Cakra tak lagi tinggi, justru terdengar seperti sang kakak yang tengah memberi wejangan bijak bagi adik-adiknya. "Gue juga dapet kabar dari dokternya. Suhu tubuh dia normal, kok. Tinggal nunggu siuman."

"...."

"Belum lagi besok mamanya dia bakalan dateng, kan."

Di sana, Cakra berharap Nuga paham. Namun, ternyata jawabannya tetap membuat lelaki itu naik pitam.

"Nggak papa. Biar sekalian ketemu."

"Jangan gila!"

Dua kata yang menggambarkan kekesalan Cakra atas kebebalan seorang Nuga.

•••

Di tempat lain, Cakra tengah memijat pangkal hidungnya. Pusing, kenapa anak ini keras kepala sekali? Pikirnya.

"Nggak papa. Biar sekalian ketemu."

"Jangan gila!"

Pekikan itu hampir membuat orang sekitarnya menoleh. Sial, Nuga hampir saja membuat ia jadi bahan tontonan di sini.

"Sebelum ngurusin orang, urusin dulu diri sendiri, Man! Soal makan aja lo masih suka ditutup-tutupin dari yang lain, susah banget kenapa, sih? Dibilang jangan sampe kelewat tuh dengerin. Mereka khawatir sama lo, Sawindu."

Terlalu kesal hingga ia menyebut nama depan lelaki itu. Nuga di seberang sana mendengus.

"Beberapa hari lagi wisuda, sadar nggak lo udah ditahap itu? Jangan kira udah selesai, masih banyak yang harus lo urus." Cakra menjeda saat ada sebuah announcement pemberangkatan terdengar. Kemudian melanjutkan. "Soal ibunya Michael, besok lusa dia ke sini. Masa lo nggak akan nyambut apa-apa?"

"Gue bakalan jemput ke bandara nanti."

Cakra mengacak rambutnya, frustrasi. "Bukan masalah it ... hhhh, astaga, Nu." Cakra menghela napas lelah. "Lo nggak kepikiran buat beresin kamar, gitu? Di unit siapa dia bakalan tinggal buat beberapa hari ke depan? Ya kali hotelan terus!"

Nuga terlalu banyak alasan untuk bisa pulang ke unit. Kini lelaki itu malah diam tak berkutik, merasa terpojok.

"Gue tau lo khawatir ... mungkin lebih dari kita-kita yang kenal Keyna dari lo. Tapi tetep aja, Nu, jangan sebegininya ...." Ia kembali melembut. Cakra rasa ia tidak salah berkata demikian. Karena memang pada dasarnya khawatir berlebihan itu tidak baik. Apalagi Nuga sampai tidak memikirkan kesehatannya sendiri. "Itu juga kalo lo nggak mau liat dia sedih."

"... Gue cuma ngerasa bersalah, Cak."

"Ini bukan salah lo, semua yang nimpa Keyna itu murni kecelakaan."

"Lo ... percaya sama gue?"

"Iya. Gue sama anak-anak percaya sama lo. Nggak ada kita mikir kalau lo sengaja dorong atau apalah itu. Sekarang, jangan abaiin diri sendiri lagi, ya, Nu. Semua bener-bener peduli sama lo." Cakra mulai berjalan, menuju pesawat yang hendak ia tumpangi. Namun, sebelum benar-benar mematikan ponselnya, ia kembali berujar, "Dan apa yang terjadi sama kita sekarang, itu takdir."

Cakra menghentikan langkahnya sesaat, suara Nuga tak lagi terdengar, mungkin telah terputus? Ia tak tahu. Karena sebuah bayang di pikirannya tiba-tiba mengambil alih tubuh, Cakra tidak bisa lagi berpikir jernih karena perkataannya sendiri.

Takdir? Cakra tersenyum kecut. Sial banget gue masih percaya takdir disaat cewek gue sendiri lagi koma di RS yang sama. Dua tahun, Cak.

next chapter

Paper Rings | Jeon WonwooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang