Di dalam, tidak seperti apa yang ia takutkan. Malahan, Nuga tetap bertanya tentangnya, tentang bagaimana persiapannya untuk beberapa hari ke depan, tentang siapa saja yang akan berpartisipasi, dan lain-lain.
Nuga tetap seperti biasa, hanya saja ia tahu apa yang dilakukan lelaki itu agar tidak ada perselisihan di antara mereka.
"Oh iya. Obat pereda nyeri, bawa?" tanya Nuga. "Takutnya di sana kamu keram lagi. Kalau lupa, masih ada di belakang, kemarin aku sengaja beli," lanjutnya masih tak digubris. Lantas, Nuga melirik Arkeyna yang hanya menatapnya.
"Key?" tanyanya lagi sembari kembali fokus menyetir. Nuga melirik spion sebelum memutar tuas ke kiri tanda ada belokan. "Kok diem?"
"Kamu boleh, kok, marah sama aku. Tapi jangan kaya gini."
"Gini gimana?"
"Kamu marah, kan, sama aku gara-gara hari ini banyaaak banget hal harusnya kita lakuin berdua batal karena aku. Iya, kan?"
"Kenapa mikirnya sampai sana?"
"Ya kamu mikirlah!" Tak sadar, Arkeyna tersulut emosinya sendiri. Namun, detik berikutnya ia menyesal karena meninggikan suara. Air matanya tiba-tiba kembali menggenang. "Kamu nggak bales chat aku ... telepon aku ..., bahkan kamu matiin HP kamu. Itu apa coba kalau nggak marah?" tanyanya sedikit lirih di akhir.
"Handphone aku lowbat, Keyna. Lupa charger. Aku sempet mau balas, cuma udah mati duluan. Maaf, ya?"
Bagaimana bisa lelaki itu meminta maaf untuk hal seperti itu lebih dulu, daripada ia yang menciptakan hal yang bisa saja menyebabkan masalah fatal dalam hubungan mereka? Arkeyna tetap tidak percaya. Apalagi sedari tadi Nuga tidak memakai sapaan Sayang sebagai pengganti namanya.
"Nuga ...."
"Hm? Kenapa?"
Arkeyna tidak bisa mengontrol lekukan bibirnya, nampak sekali ingin menangis.
"Ka-kamu pasti kecewa sama aku hari ini. Nuga aku minta maaf ...." Arkeyna menutup wajahnya kemudian, ia menangis entah untuk apa, tetapi rasa sesak di dadanya membuat ia merengek seperti anak kecil yang telah melakukan kesalahan.
Dan untuk yang satu ini, Nuga hanya terdiam sampai mereka berhenti di titik kumpul yang telah ditentukan. Di seberang sana, sudah ramai orang. Decky, Michael, Esha, Tasya, dan banyak lagi perempuan yang ia yakin itu teman kekasihnya.
Nuga keluar lebih dulu, lalu membukakan pintu untuk Arkeyna.
Di sinilah ia. Masih berdiri dengan tangan menutup tangisnya di hadapan Nuga.
"Nuga aku serius, kamu marah aja. Jangan bikin a-aku .... ah, Nugaaa, please ...."
Sial sekali. Arkeyna payah dalam menahan tangisnya dan sekarang ia malah terisak.
Sedang Nuga mengembuskan napas panjang, lalu membasahi bibirnya seperti saat ia sedang meredam sebuah emosi. Tanpa aba, ia melangkah lebih dekat dan mendekap Arkeyna erat. Membawa gadis itu ke dalam pelukannya sambil memejamkan mata, membiarkan kehangatan menghapus segala amarah di dada. Nuga melakukan semua itu yang membuat sang empu tersentak.
"Tunggu, biarin kaya gini dulu ... sebentar."
Nuga meletakkan dagunya di kepala Arkeyna. Terdiam untuk beberapa waktu, sebelum mencium lembut pucuk kepala gadis itu.
"Kamu hati-hati, ya, di sana. Baik-baik. Jangan sampai telat makan, aku udah nitip beberapa makanan yang kamu suka ke mereka. Kalau perlu bantuan, minta tolong sama Mika atau Decky, aku udah percayain kamu sama mereka. Jaga kesehatan, perut kamu lagi sensitif apalagi kalau lagi dapet, ditambah akhir-akhir ini pikiran kamu penuh sama skripsi-an. Makannya yang sehat-sehat, ya? Tolong dengerin aku, jangan dulu banyak minum kali ini. Oke?"
Arkeyna terenyuh mendengar penuturan penuh kelembutan itu. Seketika, tangis yang mereda kembali mengalir. Ia memeluk Nuga tak kalah erat sambil menyalurkan seluruh rasa yang sedari tadi tidak sepenuhnya tersampaikan.
"Nuga ... bukan itu yang mau aku denger," gumam Arkeyna tetap bersembunyi di balik dada bidang lelaki itu. Ia ingin apa yang terjadi hari ini, dibicarakan.
Nuga melonggarkan pelukan mereka tanpa melepasnya. Ia menggeleng, tidak lupa mengusap air mata gadis itu.
"Kita bahas itu nanti, ya? Sekarang kamu harus happy sama mereka. Jangan terlalu dipikirin soal hari ini."
"Nggak akan bisa, Nugaaa. Aku bakalan tetep kepikiran kalau gitu caranya. Gimana mau happy kalau aku ninggalin kamu kaya gini. Gimana mau happy kalau belum mastiin kamu marah atau nggak. Gimana mau—"
Terpotong.
Kecupan singkat yang mendarat di bibir ranumnya menghentikan ocehan tersebut. Arkeyna benar-benar mematung dibuatnya.
"Udah. Nggak ada aku marah sama kamu. Nggak ada aku kesel sama kamu. Nggak perlu khawatir, ya?"
Tidak. Tidak. Arkeyna ingin menyelesaikan ini, tetapi sikap Nuga yang terlihat seperti enggan membuat ia berpikir jauh.
"Nuga, kamu ... nggak lagi bicara soal perpisahan, kan?"
Berat sekali bertanya seperti itu kala kecupan singkat baru saja dilayangkan. Namun, lain dengan Nuga. Lelaki itu malah mengernyit, kemudian terkekeh kecil sembari menggenggam tangannya.
"Nggak, Sayang. Cukup satu kali hal aku ngelakuin hal bodoh itu, dan cukup satu kali kamu pergi. Jangan lagi," ujar Nuga serius. "Aku mau sama-sama terus sama kamu."
"Kasih aku alasan."
Nuga tersenyum memandangi gadisnya. Memang, komitmen mereka setelah perpisahan yang berlalu adalah setiap ada masalah harus diselesaikan saat itu juga. Mereka saling belajar satu sama lain, memperbaiki, untuk lebih baik lagi.
"Aku tau, harusnya kita bicarain ini. Tapi, aku juga nggak mau kalau apa yang kita bahas ini malah bikin mereka nunggu lebih lama," jelas Nuga seraya melirik teman-teman Arkeyna. "Terlebih sekarang udah waktunya kalian berangkat, kan?"
"Terus kita gimana ...."
"Aku bakal hubungin kamu besok."
"Kok besok?"
"Hari ini, sampai sana kamu tidur, istirahat. Perjalanannya cukup jauh."
"Kalau aku call kamu tengah malam nanti, boleh?"
Nuga mengangguk. "Anytime. Nggak apa, kan, kalau gitu? Aku cuma nggak pengen ada hal di luar kendali kita yang malah bikin hubungan yang baru aja baik ini kacau."
Arkeyna terdiam, berpikir hal yang sama. Tidak mungkin Nuga tidak marah, tidak mungkin Nuga tidak kecewa. Apalagi, kondisi mereka yang sama-sama lelah dengan kesibukan masing-masing akan berdampak pada argumentasi mereka nanti.
Namun, ia senang. Nuga selalu menjadi penenang kala hal tersebut tidak bisa dibicarakan. Tetap saja, nantinya, mereka akan berbicara lagi satu sama lain, dan memperbaiki apa yang seharusnya mereka perbaiki demi kelangsungan hubungan mereka berdua.
"Berarti tadi kamu beneran marah, ya?"
"Nggak semarah itu."
"Still."
"Nggak juga."
"Ih tetep ajaaa."
"Nggaaak."
"Tetep!"
"Nggak."
"Nugaaaa ...."
"Iya, Sayang?"
"Ish!"
"Hahaha, love you."
"Hate you."
"Love you too."
—next chapter
KAMU SEDANG MEMBACA
Paper Rings | Jeon Wonwoo
RomanceIni narasi AU ajaaa, lebih lengkapnya di Twitter © xxanianddd yaaa! Judulnya sama. Udah end