I'm the problem, isn't? part 2

252 5 0
                                    

"Aku pulang ...."

Arkeyna mengedarkan pandangan pada rumah sepi yang sunyi ini. Tidak ada yang menyambut kepulangannya selain kucing yang berlari dan melompat ke pangkuannya.

"Hei, Nduuuu, kamu udah makan?" tanya Arkeyna pada kucing itu. Kemudian hewan berkumis itu mengeong seakan menjawab, ya.

Arkeyna tersenyum sembari mengusap bulu-bulu lembut berwarna abu itu dengan jari-jari yang kini nampak lebih lemas dari biasanya.

"Kamu kangen Pipa, ya?"

Pertanyaan itu kembali keluar dari mulutnya sendiri. Sejak mereka bercekcok beberapa hari lalu—tidak-tidak, hanya ia, Arkeyna selalu menemukan celah untuk merindukan pemilik asli dari kucing cantik ini.

Ia menghela napas panjang, sungguh, lelahnya berkali-kali lipat saat tidak merasakan kehadiran lelaki itu di sampingnya.

"Aku ... juga kangen. Tapi kita lagi marahan sekarang."

Menceritakan Nuga membuat ia kembali berkaca-kaca. Arkeyna merindukan sosok penyabar yang telah ia kecewakan, semarah apapun ia, Arkeyna selalu menemukan celah untuk merindukan lelaki itu, merindukan Nuga-nya.

"Ndu, aku nyesel udah bilang nggak mau ketemu dia. Harus gimana? Nuga pasti kecewa waktu aku bilang pisah kamar ...." Sekarang Arkeyna menangis. Ia mengingat semua hal yang terjadi dua hari lalu saat mereka sedikit berselisih paham berujung penyesalan terbesar, padahal Nuga telah meminta maaf meski itu bukan kesalahannya. "Ndu ..., Pipa kamu kangen aku juga, nggak, ya? Atau dia juga ikutan marah?"

Kucing yang diberi nama depan sama seperti pemiliknya itu berguling-guling di sana, bermain dengan jari Arkeyna seakan tengah menghibur. Akan tetapi, bukannya tertawa, Arkeyna malah semakin terisak.

"Ka-kamu jangan imut gini ... aku jadi makin ka-kangen Nugaaa aaaa."

Astaga, ia menjadi sensitif sekali. Meraung-raung hanya karena merindukan lelaki yang menikahinya satu tahun lalu. Iya, ia keterlaluan. Pernikahan mereka baru seumur jagung, tetapi saat ada kesalahpahaman ia langsung meminta hal yang tentu saja dibenci Nuga.

"Nduuu, aku nyesel. Aku nggak dewasa banget, aku ... aku ...."

Bahkan, Arkeyna tidak mampu melanjutkan kalimatnya karena sibuk menutup wajahnya sendiri. Ia menangis sendirian, hingga tak sadar jika seseorang masuk dengan keadaan yang sama lelahnya karena baru saja pulang dari pekerjaan yang digeluti.

Nuga yang berniat langsung membersihkan diri mengernyit saat mendengar suara isakan. Kemeja yang baru terbuka setengahnya ia biarkan begitu saja dan berlari ke sumber suara.

Di kamar, Arkeyna memeluk lutut sambil menangis. Wanita itu masih menggunakan pakaian kerjanya ditemani kucing yang ia adopsi.

"Key?"

Nuga lekas menghampiri wanita itu khawatir. Ia hendak menyibak rambutnya, tetapi Arkeyna menahannya. Selintas terpikir jika Arkeyna masih marah.

"A-aku lagi jelek, jangan liat!"

Akan tetapi, dari nada bicaranya, Arkeyna nampak baik-baik saja, tidak sedingin kemarin.

"Kamu kenapa nangis?" Nuga ikut duduk di tepi ranjang mereka seraya membuka heels yang masih terpasang di kaki jenjang wanita itu. "Istriku?"

Sang empu yang masih menutupi dirinya kini semakin meraung. Sapaan itu membuat ia semakin merasa bersalah.

Lain dengan Arkeyna yang masih gengsi. Nuga malah semakin mendekat, segala cara ia lakukan untuk melihat keadaan Arkeyna agar lebih jelas.

Namun, tidak sadarkan lelaki itu jika tingkahnya sangat menggemaskan?! Nuga malah mengintip wajah Arkeyna dari bawah seperti anak SD yang menanyakan orang yang membuat ia menangis saja.

"Kamu ... beneran nangis? Masih red day, ya? Perutnya sakit? Kepalanya pusing lagi?"

Stress! Arkeyna tidak tahan dengan kelakuan Nuga yang seperti ini.

"Kamu sengaja, ya?" tembak Arkeyna meninggikan suara seraya membuka diri, memperlihatkan jelas jejak air mata serta kemerahan pada hidungnya. "Stop bertingkah kaya gini!"

Nuga terkejut. Ia menarik tangannya perlahan. Ternyata istrinya itu masih merajuk.

"Maaf, nggak akan diulangi."

"Aku tuh kangen kamu tau!"

"Eh?"

Astaga lihat siapa yang katanya sebentar lagi menginjak kepala tiga? Mata minimalis yang tiba-tiba membesar seraya menatapnya terkesiap itu membuat Arkeyna gemas!

"Kenapa kamu selalu pulang telat dua hari ini. Kan aku yang marah, kenapa kamu yang ngehindarin rumah? Kamu beneran nggak mau ketemu aku? Kamu mau balik marah juga? Kamu pikir dengan kamu kaya gitu bisa luluhin ak ...." Arkeyna berhenti, ia malah salah fokus. Sorot matanya malah mengarah pada lelaki yang kemejanya setengah terbuka dengan dasi yang masih tergantung di sana. Oh God, padahal lelaki itu baru pulang dari kerjanya. Nuga-nya sedang kelelahan bekerja, Arkeyna! "Aku ...."

"Aku?"

"Aku kangen kamu."

Hening, sesaat. Lalu, kekehan ringan Nuga memecah suasana yang membuat Arkeyna ikut tersadar akan ucapannya. Astaga, energi yang terkuras karena menghadapi tim audit saat di kantor tadi, kembali terisi hanya dengan kejujuran perempuan itu.

"Ih malah ketawa. Jawab aja kenapa kamu pulang telat?" Arkeyna bertingkah sebaliknya untuk menutupi rasa malu. Ia mengerjap beberapa kali ketika melihat lelaki itu mengulum senyum dan sebisa mungkin menghindari tatapannya.

"Banyak kerjaan, Sayangku," jawab Nuga dengan sedikit kebohongan. Iya, Nuga menebak jika ia menjawab jujur maka Arkeyna akan merasa bersalah mengingat bagaimana kepribadian wanita itu. Nuga bukan pulang terlambat, ia selalu sampai rumah tepat pada pukul 17.00. Justru Arkeyna-lah yang selalu pulang lebih awal entah untuk alasan apa.

Bibir Arkeyna masih setia melengkung ke bawah, lagi-lagi membuat Nuga terkekeh dan secara naluriah membawa wanita itu ke dalam pelukannya, mencium mata sembabnya, pipi kemerahannya, dan terakhir bertahan di bibir ranumnya.

Untuk waktu yang cukup lama, mereka sama-sama memejamkan mata. Nuga yang menunggu izin Arkeyna, dan Arkeyna mencerna apa yang baru saja terjadi. Satu tahun mereka membina rumah tangga, bukan tanpa alasan lelaki itu selalu meminta izin untuk menyentuh istrinya saat mereka selesai bersitegang. Nuga hanya ingin gadis itu merasa nyaman, dan Arkeyna senang dengan itu. Sampai pada akhirnya, Arkeyna memberi akses untuk Nuga agar menyelesaikan apa yang mereka mulai.

Kerinduan yang terpendam dua hari ini tersalurkan melalui ciuman yang berlanjut sampai keduanya melebur menjadi satu, pada malam penuh cumbu.

Paper Rings | Jeon WonwooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang