10. Sekarang, ke mana?

20 8 0
                                    

SELAMAT PAGI, SIANG, SORE, MALAM, TENGAH MALAM, SUBUH.

MAKASIH MASIH BACA CERITA INI. MOHON DIKOREKSI BILA ADA PENULISAN YANG SALAH.

HAPPY READING

Cabrón, ¿por qué Adinata me hizo aceptarla aquí?
(Bajingan, mengapa Adinata membuatku menerimanya di sini?)

Sang anak yang baru menginjak satu anak tangga berhenti, lalu berbalik menghadap mamanya.

"Adinata?" ulangnya.

"Siapa?"

Wanita itu membalas pertanyaan anaknya dengan senyum, "Ada, temen Mama." Wanita itu lalu berjalan mendekati anaknya, "Sekarang kamu belajar, ya, di kamar." ucapnya membuat sang anak langsung mengeluh.

"Malas, Mah. Nanti aja ya belajarnya."

Sang mama menggeleng, "Sebentar lagi papa kamu datang, setidaknya pura-pura belajar saja."

"Tapi, Elysa malas Mah. Elysa pura-pura tidur aja ya? Biar papa ga nyuruh aku buat bela ... "

"ELYSAA! MANA ANAK ITU?"

Teriakan seorang pria dari luar. Suaranya yang begitu lantang dapat terdengar jelas hingga ke dalam rumah. Elysa yang merasa dirinya sudah tidak aman, menyembunyikan tubuhnya di belakang sang mama.

Pintu rumah terbuka begitu pria yang menjabat sebagai papa Elysa itu menendangnya kuat-kuat. Wajahnya memerah, sudah dipastikan itu karena amarah yang ada dalam dirinya semakin membesar.

Vaden__ayah Elysa berhenti sejenak menyadari anaknya bersembunyi di belakang mamanya. Pria yang tampak kacau itu sedikit menenangkan dirinya.

"Sini kamu." ucapnya pelan.

"Elysa!" Vaden mulai meninggikan suaranya saat tak ada respons dari Elysa.

"Elysa minta maaf Pah." jawabnya sedikit mengintip Vaden.

"Minta maaf? Kamu kira dengan minta maaf semuanya bisa kembali seperti semula?"

"Maafin Elysa, Pah."

Kata-kata 'maaf' yang terus bibir Elysa ucapkan membuat amarah Vaden kian meningkat. Pria itu mendekat ke arahnya lalu menjambak rambut anaknya sendiri. Air mata Elysa berjatuhan begitu saja. Sang mama yang terus mencoba menolong selalu digagalkan oleh Vaden yang menghentikan pergerakan istrinya.

"Maafin Elysa, Pah." suaranya terdengar pelan bersamaan dengan air yang terus keluar dari matanya.

"Papa sudah bilang, kan? Jangan berbuat yang aneh-aneh sebelum semuanya selesai. KENAPA KAMU LAKUKAN ITU?" tatapan Vaden seolah menusuk Elysa membuat gadis itu tidak bisa berkata apa-apa.

"Dan bukannya anak-anak yang biasanya, tapi anak seorang direktur? APA KAMU TIDAK PUNYA OTAK, ELYSA?"

Vaden memejamkan matanya sejenak, anaknya ini tidak akan mengerti jika hanya diberi teguran melalui kata-kata. Masih dengan tangan yang menjambak rambut Elysa, ia berniat membawanya ke gudang belakang rumah mereka.

Langkah Vaden terhenti saat sesuatu memegangi kakinya. Wajah baru berada di dalam rumahnya dan tanpa sepengetahuannya? Apa orang-orang di rumah ini semuanya sudah gila?

"Siapa kamu?"

"Lepaskan dia."

Vaden lagi-lagi memejamkan matanya sejenak, "Ini bukan urusan kamu, lepaskan tanganmu!"

Sarga menggeleng kuat, ia mengeratkan pegangan tangannya pada kaki Vaden sehingga ia tidak bisa berjalan.

Tapi, anak-anak tetaplah anak-anak, seyakin apapun mereka terhadap kekuatannya sendiri akan tetap kalah oleh orang dewasa.

"ANAK INI. JANGAN IKUT CAMPUR."

Tamparan keras Sarga terima tanpa aba-aba, ia menyeka darah yang keluar dari mulutnya setelah tamparan itu.

"BAWA ANAK ITU KELUAR DARI SINI!" Bodyguard Vaden yang berada di ruang tamu mengangguk kecil lalu membawa Sarga keluar dari rumah Vaden. Sedangkan pria itu melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda.

***

Mobil yang membawa Sarga melewati terowongan kecil, berhenti di ujung terowongan tersebut.

Sarga yang tidak tahu di mana dirinya kini berada hanya menatap keluar jendela. Bisa Sarga lihat pagar besi yang membatasi antara daratan dan sungai.

"Turun." ucap pria yang membawanya.

Sarga hanya diam menatap pria itu cukup lama. Tubuhnya tetap bergeming di tempat duduknya dan tak ada niatan sama sekali untuk pergi.

Bodyguard Vaden berdecak, ia lalu turun dari mobil terlebih dahulu kemudian mengeluarkan Sarga dari dalam mobil dengan paksa.

"Pak, tolong jangan tinggalkan saya." pinta Sarga memegang tangan pria itu.

Tidak mungkin ia bisa bertahan hidup sendiri di sini tanpa seorang pun yang membantunya. Walaupun Sarga ikut kembali dengan pria itu dan mungkin akan dipukuli, tapi setidaknya, Sarga paham dengan apa yang dikatakannya. Jika Sarga sendirian di sini, bagaimana ia harus menjalani hidupnya? Apa yang bisa dilakukan anak berusia 13 tahun yang tidak mengetahui satu katapun dari apa yang dikatakan orang-orang di negara ini?

Sarga menatap mobil hitam itu berjalan menjauhinya, orang-orang berlalu lalang tanpa memedulikan dirinya.

Sekarang, ke mana Sarga harus pergi? Ke mana tempat yang harus ia tuju di negeri orang ini? Apa ia bisa bertahan hidup di sini?

"Mama ... Sarga harus gimana sekarang?"

SARGA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang