17. Pesan Sania

12 3 0
                                        

SELAMAT PAGI, SIANG, SORE, MALAM, TENGAH MALAM, SUBUH.

MAKASIH MASIH BACA CERITA INI. MOHON DIKOREKSI BILA ADA PENULISAN YANG SALAH.

HAPPY READING


Suara tamparan terdengar di dalam ruangan. Tubuh Sarga sudah penuh dengan lebam karena Adinata terus memukulinya. Kesadaran pria itu hilang setengah karena efek dari minuman keras yang ia minum.

Sania yang sudah terkapar tak berdaya masih terus ia pukuli. Sakit karena penyakitnya serta sakit karena dipukuli suaminya membuat Sania sakit secara batin juga fisiknya.

Entah berapa banyak yang pria itu konsumsi, siapapun yang berada di dekatnya pasti akan mencium bau alkohol yang sangat menyengat.

Barang-barang yang ada di ruang tamu semuanya diambil lalu dilempar sembarang arah olehnya, ruang tamu yang seharusnya rapi kini berubah bak kapal pecah dengan puing-puing kapal yang berserakan di mana-mana.

"Jangan sakitin Mama." Sarga merentangkan kedua tangannya saat Adinata akan memukul Sania kembali. Namun apalah daya, tubuh kecilnya tidak dapat menghalau kekuatan Adinata yang jauh lebih besar darinya.

"Minggir!"

Sarga masih dalam posisinya, kedua matanya menatap tajam ke arah orang yang ia sebut Papa.

"Dasar anak nggak tau diri, berani kamu lawan Papa kamu?" bentak Adinata lalu melayangkan pukulan pada pipi Sarga. Ujung bibir anak itu sedikit sobek sehingga cairan merah mulai keluar dari sana.

Adinata semakin tak terkontrol, pria itu bergumam tentang sesuatu, entahlah hanya ia dan Tuhan yang tahu.

"Ka ... lian *#$"("!;#:." Pria itu ambruk seketika, kini ia 100% benar-benar kehilangan kesadarannya.

"Sayang, kamu nggak apa-apa?" tanya Sania lembut mengusap pipi anaknya.

Sarga tak menjawab, mungkin juga tak mendengar pertanyaan itu. Matanya menyorot tajam tubuh Adinata di atas lantai. Rasa marah dan dendam terhadap Papanya sendiri kini timbul di dalam dirinya.

"Sarga." Panggilan Mamanya membuat ia sadar dan menoleh ke arah wanita itu. Rasa perih di bibirnya ketika ia tersenyum tidak menjadi masalah.

Sarga menatap wajah Sania, ada lebam di pipi sebelah kiri wanita itu. Ia mengelusnya lembut, seolah-olah elusan itu dapat mengurangi rasa sakitnya.

"Mama nggak apa-apa? Kita obati luka Mama, ya?" Sarga membantu Mamanya untuk berdiri, ia lalu mendudukkan wanita itu pada sofa.

"Kamu bisa, kan, bantuin Mama pindahin Papa kamu ke kamar?" tanya Sania, kini hanya mereka bertiga yang ada di rumah. Semua orang yang dulunya bekerja di sini dipecat oleh Adinata tanpa alasan yang jelas.

"Nggak. Biarin aja dia di situ." tolak Sarga

"Sarga." Sania menatap anaknya.

"Kamu jangan benci papa kamu gara-gara ini, ya?" Pesan Sania.

Wanita itu menatap anaknya yang tak kunjung menjawab, "Papa mungkin ngelakuin ini karena efek minumannya, tapi dia sebenarnya baik, kok. Kamu juga tau, kan?" ucap Sania memberi penjelasan.

"Kamu dengar, kan, ucapan Mama?" Sarga masih tak menjawab, bahkan gerakan tubuh untuk merespons Sania pun tidak ada.

Sania mengelus pipi Sarga yang lebam, sakit rasanya melihat anaknya di sakiti oleh suaminya sendiri. Tapi ia tidak ingin Sarga menjadi anak yang nantinya akan membenci papanya sendiri. Sania pun masih bertanya-tanya, apa yang menjadi penyebab suaminya bersikap seperti itu.

Setelah membujuk Sarga, akhirnya mereka membawa Adinata ke kamar tamu untuk dibaringkan. Tidak memungkinkan jika harus membawanya ke kamar yang ada di lantai dua.

"Sarga." Sania memegang pergelangan tangan Sarga guna menghentikan anak itu untuk pergi.

"Ingat pesan Mama tadi, ya?" ucap Sania mengusap lembut punggung tangan anaknya.

Sarga tak kunjung menjawab, tidak ada kata maupun kalimat yang terbentuk untuk ia keluarkan sebagai respons terhadap perkataan Sania. Sarga menatap Sania dan Adinata secara bergantian. Sebenarnya apa yang terjadi di sini? Sejak kapan keluarga mereka jadi begini? Kenapa sikap papanya seperti itu?

SARGA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang