perasaan yang abstrak

5.7K 1K 138
                                    


Bukan tanpa alasan Kara memilih untuk mengejar Hansa, meski tahu peringatan apa saja yang berdering di kepalanya ketika sadar Hansa orang yang nggak seharusnya dia dekati.

Ketika bertemu Hansa untuk pertama kalinya, Kara sudah tahu kok, kalau Hansa adalah bendera merah yang berkibar. Dari cara dia tersenyum dan menyapa, Kara hafal betul Hansa ini casanova kelas kakap.

Mulanya Kara menurut ketika Nana memperingatinya untuk menjauhi Hansa, karena dia juga merasa ribet jika harus menghadapi cowok yang gebetannya di mana-mana. Selain itu, ini juga bukan kali pertama Kara bertemu dengan lelaki modelan Hansa.

Semasa sekolahnya, Kara menyaksikan banyak lelaki genit mendekatinya, meski pada akhirnya mereka semua harus mundur teratur karena Nana menggagalkan semua aksi mereka sebelum benar-benar bisa mendapatkan hati Kara.

Dengan kata lain, Kara sampai saat ini nggak pernah punya pacar ya karena sikap Kakaknya yang overprotektif bukan main. Hal positifnya, Kara sedikit banyak berterima kasih pada Nana, karena dia menjauhkan Kara dari orang-orang yang mungkin ke depannya akan membuat Kara berada di posisi nggak nyaman.

Sejak kecil Kara anak yang sensitif terhadap lingkungannya. Dia tahu mana orang-orang yang mendekatinya dengan maksud tertentu, dan mana juga orang-orang yang tulus terhadapnya. Kara kurang lebih bisa membaca itu semua.

Sampai SMA pun, Kara masih menjadi anak yang pilih-pilih dalam berteman, ditambah lagi Nana yang satu sekolah dengannya membuat Kara jauh lebih mudah menyaring mana-mana saja yang baik, dan mana-mana saja yang bisa membawa dampak buruk.

Mungkin karena alasan itu pula semasa sekolahnya, Kara tumbuh menjadi anak yang pendiam dan nggak punya terlalu banyak teman. Namun, itu juga yang membuat Kara akhirnya menjadi sosok yang dilindungi oleh hal-hal baik di sekitarnya.

Selama ini, Kara nggak pernah protes dengan sikap Nana yang cenderung membatasinya dalam bergerak, toh Kara juga tipe yang malas banget ribet sehingga sifat Nana yang overproktektif membuatnya selalu berada di zona nyaman.

Semua yang dilakukan Nana, tentunya bukan tanpa alasan.

Kara dan Nana tumbuh dengan hujanan cinta dan kasih yang diberikan oleh kedua orang tua mereka semasa kecil.

Rumah yang hangat, makanan yang lezat, dan pola hidup yang sehat, semua mereka dapatkan tanpa batas.

Nggak ada yang lebih mereka syukuri dari kasih sayang yang begitu berlimpah di bawah atap rumah tersebut.

Saat usia Kara 7 tahun, dan Nana 8 tahun, Kara sakit-sakitan. Dia bisa tiga kali sakit dalam sebulan, yang membuat orang tua mereka harus bekerja keras demi pengobatan yang layak untuk anak bungsu mereka.

Nana juga menyaksikan bagaimana di usianya yang kala itu masih belia, betapa sedih dan lelahnya orang tuanya saat Kara jatuh sakit hingga harus dirawat di rumah sakit selama berhari-hari.

Melihat Kara kecil yang kesehatannya terus melemah setiap saat, membuat Nana takut dan khawatir dengan kondisi adiknya tersebut, sehingga nggak jarang dia berlebihan dalam melindungi Kara.

Sampai ketika usia Nana 10 tahun, dan Kara 9 tahun, keadaan ekonomi keluarganya melemah. Ayahnya memutuskan untuk resign dari pekerjaan yang sebelumnya dan mengambil pekerjaan yang selama ini enggan dia geluti, namun terpaksa dia terima meski dengan risiko harus jauh dari keluarga.

Dan itu sudah 9 tahun yang lalu, sejak Ayah mereka bekerja di pertambangan minyak di tengah laut dan hanya pulang enam bulan sekali, atau bahkan setahun sekali.

Meski pada akhirnya harus hidup terpisah dalam jangka waktu yang lama, itu juga yang justru membuat perekonomian keluarga mereka kembali stabil—bahkan lebih dari cukup.

NiskalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang