24. Tidak semanis chocolate

16 2 0
                                    

Baik buruknya anda, baik jahatnya anda, anda tetap ayah saya, anda tetap orang tua saya.

Setelah mendapat pesan dari ayahnya, Aya langsung menarik tangan Dewa. Aya meminta agar Dewa lebih cepat membawa motornya.

Di sepanjang jalan tubuh Aya sudah tremor hebat. Mata indahnya terus saja mengeluarkan butiran putih yang paling dia benci. Ke dua tangannya berkali-kali menyeka air matanya. Dia benci dirinya yang seperti ini.

Saat sebuah motor aerox berwarna kuning berhenti tepat di depan sebuah rumah minimalis. Aya langsung turun dari motor Dewa.

"Lo pulang aja." Ucap Aya dengan tatapan kosong.

Dewa membuka helm, lalu membukakan helm milik Aya juga. "Gue nggak akan ninggalin lo kali ini. Udah cukup lo selalu nyuruh gue pergi di saat seperti ini." Tolak Dewa menggenggam tangan Aya.

"Ini urusan keluarga gue, lo nggak berhak ikut campur. Gue minta sekarang lo pergi!" Sentak Aya melepas kasar genggamnya.

Dewa menghembuskan napas pelan, sebisa mungkin dia menahan segala emosinya agar tidak membentak Aya. "Gue berhak ikut campur Ay, lo itu keluarga gue, lo adek gue."

Baru saja Aya ingin menolaknya lagi, tapi tiba-tiba suara teriakkan terdengar dari dalam rumahnya. Aya langsung masuk ke dalam rumah tanpa memperdulikan Dewa. Aya langsung berlari ke arah kamar mamahnya.

Di depan sebuah kamar dengan pintu coklat, Aya memegang gagang pintu kamar tersebut dan membukanya. Tapi nihil, pintunya di kunci. Dirinya saling bertatap dengan Dewa.

"Ada kunci cadangan?" Tanya Dewa.

Tanpa menjawab Aya langsung berlari ke ruang tv, membuka semua laci yang ada disana berharap mendapatkan kunci tersebut. Tetapi tidak ada. Dirinya benar-benar sesak mendengar suara dari balik pintu kamar itu.

Dewa pun tidak bisa tinggal diam, dia mendobrak pintunya berkali-kali. Setelah berhasil Aya langsung berlari masuk ke dalam kamar itu.

Mendapati seorang wanita yang terduduk lemas di pojok ruangan dengan penampilan yang sudah sangat kacau. Tubuh Aya melemas. Dirinya berlari dan langsung memeluk tubuh wanita itu.

"Mah, sadar. Ini Aya mah." Aya memegang kedua pipi mamanya, menyadarkan mamahnya agar tidak pingsan. Tetapi rasa pusing sudah mendominasi, mamahnya pingsan tidak sadarkan diri.

"Mah nggak, mah, bangun mah." Teriak Aya histeris. "Wa tolong bawa mamah ke rumah sakit sekarang." Pintanya.

"Gue nggak akan ninggalin lo sendirian Aya,"

"INI BUKAN SAATNYA BUAT DEBAT DEWA!"

"Tapi lo gimana?"

"Gue akan baik-baik aja, tapi kali ini gue mohon banget sama lo, bawa mamah ke rumah sakit dan jagain mamah buat gue."

"Shit!" Umpatnya dan langsung menggendong mamah dan membawanya ke rumah sakit.

Aya berdiri, mengandarkan pandangannya ke sekeliling. Tangannya terkepal kuat, mengumpulkan sisa tenaganya dan memberanikan diri. Matanya berhenti pada satu titik.

Seorang pria yang sedang duduk di nakas kasur dengan tatapan kosongnya. Pria dengan tangan yang penuh darah. Pria yang membuat kekacauan ini terjadi dan pria yang membuat mamahnya terluka.

"Udah puas, Yah?" Ya benar, dia adalah ayah Aya.

"Udah puas ayah hancurin mental, fisik, dan batin mamah?"

Kali ini Aya benar-benar udah capek sama semuanya. Tubuhnya bergetar hebat, sesak di dada seakan di hujam belati berkali-kali, air matanya terus keluar.

RAYALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang