3. Kesal

207 85 11
                                    


Aya tidak memperdulikan sepupunya yang ada di hadapannya itu. Makanan Dewa sudah abis, sedangkan Aya masih sisa sedikit lagi.

"Ay, lo marah?" Aya tidak menjawab ia masih fokus menyantap makanannya. Dewa berpindah duduk menjadi di sebelah Aya, ia memegang kening Aya. "Padahal lo nggak demam deh, atau lo kesambet penunggu sini," Dewa pun melihat ke arah sekitar, banyak pohon besar.

"Alhamdulillah kenyang," Aya meneguk segelas air putih dan melihat sepupunya yang kurang waras itu.

"Eh udah ada suaranya lagi, kirain lagi puasa ngomong."

"Stres lo ya?"

"Nggak, gue waras kok, kalo gue stres nggak mungkin kan gue jadi rebutan banyak cewek," ucapnya dengan bangga.

"Dih lo aja nggak naik kelas," ujar Aya mengejek. "Harusnya tuh, lo udah jadi mahasiswa, malu gue jadi sepupu lo,"

Dewa yang mendengarnya meringis, bisa-bisanya ia di ejek oleh sepupunya sendiri. "Itu karena kesalahan teknis Aya, makanya gue sampe nggak naik kelas."

"Cih, kesalahan teknis gundul mu. Umi sabar banget sih ngerawat lo yang nggak berguna ini?"

"Gue ini aset keluarga, ketampanan gue bisa merubah keturunan gue nanti, jadi lo nggak boleh ngeremehin gue,"

"Apa sih lo, nggak nyambung banget. Paras lo yang standar ini nggak bisa ngerayu guru lo buat lo lulus nanti dan nggak bisa ngerayu malaikat Ridwan buat masuk surga, jadi nggak usah lo banggain tuh muka standar lo, kalo otak lo aja dangkal dan belum ada bekal buat akhirat," Ya itulah Aya, berbicara dengan frontal dan sangat jujur, omongannya memang sangat menohok tetapi mampu buat semua orang sadar.

"Ya Allah, kenapa Dewa punya sepupu yang mulutnya pedes banget kek cabe-cabean,"

"Gue bukan cabe-cabean, lo tuh terong-terongan, dasar jamet anak alay." Cebir Aya. Aya bangkit dari duduknya membawa piring dan juga gelas kotornya.

Dewa miris mendengar perkataan sepupunya itu. Bagaimana bisa dirinya di bilang jamet anak alay? Apakah dirinya se alay itu? Dewa mengeluarkan ponsel miliknya dan membuka kamera. Ia melihat wajahnya di kamera. "Nggak kok, gue nggak mirip jamet, tapi kenapa si Aya bilang gue jamet anak alay ya?" Dewa menaruh kembali ponselnya di dalam saku celananya, ia berdiri membawa piring dan gelas kotornya.

"Bu Ani, ini udah selesai piring sama gelas kotornya, mau Aya cuci sekalian boleh?" Tanya Aya menghampiri Bu Ani.

"Aya ini sekalian," ujar Dewa yang langsung di ambil oleh Aya.

"Aduh neng Aya, nggak usah repot-repot. Di dalam sudah ada yang mencuci kok."

"Oh gitu, yaudah ini biar Aya taro di belakang ya Bu?" Bu Ani mengangguk. "Makasih ya neng."

Aya membereskan beberapa piring kotor dan menumpuknya, lalu ia pergi ke belakang untuk menaruh piring kotornya. Saat Aya menaruh piring kotor kebelakang, Dewa membayar makanannya.

"Permisi mbak, ini piring kotornya di taruh mana ya?" Tanya Aya kepada seorang perempuan.

"Eh neng, udah taro di meja aja,"

Aya pun langsung menaruh piringnya dan keluar dari dapur. "Bu Ani, Aya pamit pulang dulu ya, masakkan Bu Ani memang selalu juara!" Seru Aya.

RAYALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang