7. Terang bulan

145 68 6
                                    

Mereka berdua telah keluar dari ruangan Pak Kiyai.

"Aya Pak Kiyai orang tua cewek cantik itu,"

"Nggak usah ngomong sama gue!" Aya memperingati Dewa. Membuat Dewa memanyunkan bibirnya seperti anak kecil yang di omeli Ibunya.

Saat ini ke duanya sudah berada di depan Masjid. Langit sudah mulai menggelap, yang awalnya berwarna oranye kemerahan kini telah berganti menjadi awan hitam.

Suara tadarus di masjid terdengar jelas sangat merdu di dengar. Para jama'ah masjid pun sudah berdatangan. Banyak anak muda, bapak-bapak, dan juga anak kecil. Aya menghentikan langkahnya saat ingin memakai sandalnya, suara adzan Maghrib telah berkumandang.

Aya kembali lagi masuk ke dalam masjid, Dewa yang melihatnya di buat bingung. "Ay, ada yang ketinggalan?" Tanya Dewa yang sudah pasti tidak di hiraukan oleh sepupunya.

Aya menaiki tangga untuk ikut sholat berjama'ah di masjid, Dewa terus saja mengikuti langkah Aya. Aya mengambil mukenah di pojok lemari yang sudah di siapkan. Di shaf perempuan sudah ada dua shaf perempuan yang sudah siap dengan mukenahnya. Aya yang masih mengambil mukenahnya di lemari tidak menyadari jika sedari tadi Dewa terus mengikutinya di belakang.

Aya membalikkan tubuhnya dengan kaget,  "Astaghfirullah, ya Allah untuk nggak copot jantung gue," Dewa cengengesan.

Aya melihat ke sekitar, semua orang melihat ke arah mereka dengan tatapan sinis. Aya yang menyadarinya langsung melototkan mata ke arah Dewa. "Lo bener-bener udah nggak waras ya?"

Dewa yang tidak tau apa-apa hanya diam tak bergeming. "Lo ngapain ngikutin gue sampe ke tempat cewek?" Dewa mengadarkan pandangannya.

"Lo mau ngapain sih?" Aya mengelus dada sabar. "Lo nggak denger tadi udah adzan? Kita sholat dulu sebelum pulang,"

"Bilang dong dari tadi, kalau tau kan gue nggak harus ngikutin lo ke jama'ah perempuan,"

"Otak lo aja yang udah nggak berfungsi," Dewa menggedikkan bahu acuh, ia meninggalkan Aya menuju lantai bawah untuk ikut di jama'ah laki-laki. Aya segera pergi ke tempat wudhu.

Mereka pun menunaikan ibadah sholat Maghrib terlebih dahulu sebelum pulang di masjid Al-Ridwan. Aya selalu mengutamakan ibadahnya sebelum ia melakukan sesuatu. Bisa saja ia menunaikannya di rumah, tetapi ia tidak mau menunda waktu sholat. Bagaimana kalau umurnya tidak sampai di rumah, tetapi ia belum melaksanakan sholat? Jadi dirinya selalu mengutamakan ibadah di banding hal lainnya. Itu mengapa ia memilih untuk sholat berjama'ah di masjid .

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh," Aya mengucapkan salam terakhirnya ke arah kiri dan ia mengusap wajahnya dengan ke dua telapak tangannya.

Sebelum ia membuka mukenahnya, Aya menyempatkan diri untuk berdzikir dan berdo'a.  Lalu baru ia membuka mukenahnya dan melipat kembali.

"Duluan ya," ucap para cewek tersenyum ke arah Aya. "Eh iya ka," Aya pun ikut tersenyum ramah.

Aya menaruh kembali mukenahnya di tempat semula, lalu ia turun untuk menghampiri keberadaan sepupunya itu. Aya melihat kesana kemari, tidak ada batang hidungnya yang terlihat. Hingga akhirnya Aya memutuskan untuk menunggu Dewa di parkiran motor.

...

Para jama'ah laki-laki tidak langsung pulang, mereka mengikut tadarus Qur'an bersama para santri. Anak-anak kecil dan yang lainnya juga pada berdatangan untuk mengaji seperti biasa. Saat ini belajar mengajinya di lantai bawah karena kebetulan anak-anak kecilnya sudah terlanjur berada di sana.

Ustadzah Vanya datang bersama para anak cewek yang memakai pakaian gamis. Mereka duduk dengan batasan yang tak begitu jauh dari para cowok.

Dewa yang baru saja ingin keluar di tahan oleh Pak Kiyai, karena dirinya di suruh untuk ikut mengaji bersama dengan yang lainnya.

"Kamu," panggil Pak Kiyai kepada Dewa yang baru saja ingin melangkah keluar.

"Kamu anak Umi Sumi, siapa nama kamu?"

"Dewa, Pak Kiyai,"

Pak Kiyai mengangguk dan berkata, "Dewa kamu ikut tadarus dulu aja sebentar sebelum pulang," Dewa tidak bisa menolak, dirinya pun mengikuti tadarus bersama dengan yang lain. Dewa mendudukkan dirinya tepat di samping Ray.

"Bro, baca surah apa?" Bisik Dewa semabari membuka Al-Qur'an yang ada di hadapannya.

Ray menoleh berhenti sejenak membaca Qur'annya, "surah Al-mulk ayat 12," setelah menjawabnya Ray kembali membaca Al- Qur'annya.

Dewa pun membuka surah Al-mulk dan langsung membacanya.

Setelah mereka selesai melantunkan surah Al-mulk dan di lanjut dengan surah-surah pendek lainnya.  Sebelum melanjutkannya, Dewa lebih dulu untuk pamit karena ia baru inget kalau masih ada Aya yang sudah pasti sedang menunggunya.

"Bro, nama lo siapa?" Tanya Dewa kepada Ray.

"Rayyan, panggil Ray aja," Dewa mengangguk, "tolong titip salam ya buat Pak Kiyai, gue pamit pulang duluan, Ray. Takut singa betinanya ngamuk," jelas Dewa.

"Yang ente maksud singa betina itu, sepupu ente?" Dewa terkekeh dan mengangguk. "Gue duluan ya kalau gitu, assalamualaikum,"

"Wa'alaikumsalam." Ray kembali meneruskan tadarusnya setelah kepergian Dewa.

Dewa mencari Aya ke atas di jama'ah perempuan tetapi tidak ada, di atas sudah kosong tidak ada orang. Dewa pun memutuskan untuk pergi ke parkiran.

Benar saja, sepupunya itu sudah menangkring di atas motornya. Dewa pun menghampiri Aya. Aya memanyunkan bibirnya saat melihat keberadaan Dewa.

"Lama ya?" Tanya Dewa mengusap puncak kepala Aya.

"Pake nanya lagi, lo abis dari mana sih?"

"Maaf Aya ku sayang, tadi di suruh Pak Kiyai ikut tadarusan dulu,"

"MasyaAllah, abang Dewa taubat,"

"Yeh, dasar," Dewa menyentil kening Aya.

"Yaudah yu pulang," ajak Dewa Aya pun mengangguk, "lo nggak di gigitin nyamuk?" Tanya Dewa.

"Di gigitin, udah malah sendirian lagi, di bawah pohon sawo gede banget," Aya dengan wajah melasnya yang membuat Dewa gemas.

Dewa mencubit pipi Aya yang mengembung, "ih sakit tau,"

"Lagian gemes banget gue sama lo," Dewa pun naik ke atas motornya. "Pegangan," lanjutnya membawa kedua tangan Aya ke pinggangnya.

Aya tanpa protes memeluk Dewa dari belakang yang membuat Dewa tersenyum dari balik kaca spion. "Tumben lo nggak protes?"

"Ngantuk," jawab Aya mengeratkan pelukannya.

Dewa mengusap tangan Aya yang sudah melingkar di perut sixpacknya itu, lalu ia melajukan motornya dengan kecepatan sedang. Ia sangat tau persis sepupunya itu, sangat manja dan menggemaskan. Tetapi Aya selalu bisa menempatkan sifat manjanya pada waktu yang tepat. Ia selalu bersikap tegas dan dewasa jika memang sedang banyak masalah menghampirinya. Bersikap cuek dan jutek kepada orang yang belum mengenalnya. Dan sikap manis, manja dan menggemaskannya hanya ia tunjukkan kepada orang-orang yang ia sayang seperti keluarganya.

Dewa sudah Aya anggap seperti abangnya sendiri, walaupun sifat dewa yang kekanakan tapi ia juga bisa menjadi dewasa saat Aya membutuhkannya. Aya sebenarnya sangat suka bermanja pada sepupunya itu, tetapi karena mereka sama-sama sudah beranjak dewasa, jadi Aya tidak terlalu sering bermanja kepada Dewa seperti dulu.

Malam ini di hiasi dengan sinar bulan yang sangat terang, angin malam menusuk sangat dingin ke tubuh. Lampu-lampu jalan yang berkelip menerangi gelapnya jalanan. Suara kendaraan pun menghiasi dinginnya malam.

Tanpa sadar, Aya terlelap di pelukkan Dewa. "Ay, lo tidur?" Tanya Dewa melihat Aya dari balik kaca spion.

"Pegangan ya, jangan sampe jatoh," ujar Dewa sedikit menambah kecepatan agar cepat sampai rumah.

RAYALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang