chapter 6.2

126 13 3
                                    

Kongpob tidak mengerti apa yang dikatakan sang dokter. Kandunganya? Kandungan? Ini Arthit yang sedang mereka bicarakan bukan? Apa mereka mungkin membicarakan orang yang berbeda?

"Loh? Arthit tidak memberitahumu?" Tanya sang dokter lagi, Kongpob hanya menggeleng.

"Sepertinya aku sudah melakukan kesalahan. Lupakan saja." Lanjut sang dokter bersiap untuk pergi, tapi Kongpob tidak akan membiarkanya. Kongpob harus tahu apa maksud perkataan dokter tadi.

Dia terus membujuk sang dokter untuk mengatakanya, walaupun dia harus berbohong dengan mengatakan bahwa dirinya adalah kekasih Arthit.

Setelah berusaha membujuk sang dokter untuk mengatakanya, akhirnya dia membuka suara,

"Arthit datang sendirian sekitar dua minggu yang lalu. Dia mengeluh sering mual, pusing dan perutnya merasa tidak enak. Setelah diperiksa, mungkin ini terdengar tidak biasa bagimu, tapi.. Arthit sedang mengandung."

Arthit sedang mengandung.

Kejadian laki-laki mengandung ini memang jarang sekali terjadi. Kongpob pernah mendengarnya saat dia masih sekolah dasar, setelah itu dia tidak pernah mendengar lagi kabar serupa sehingga Kongpob mengira mungkin hal itu hanya rumor belaka. Tidak disangka justru kini dia sendiri yang mengalami hal ini.

Membayangkan kemungkinan jika anak dalam kandungan itu miliknya, membuat Kongpob tersenyum. Namun senyumanya tidak bertahan lama memikirkan bagaimana reaksi Arthit mendengar hal ini.

Kongpob tahu betul betapa Arthit membenci dirinya, tidak bisa dibayangkan bagaimana rasanya harus mengandung bayi dari orang yang sangat kau benci. Bagaimana rasanya mengetahui ada bagian dari orang yang kau benci tumbuh dalam tubuhmu sendiri. Kira-kira apa yang akan Arthit lakukan dengan bayinya?

Memikirkan hal itu, wajahnya berubah horror. Kongpob takut Arthit sengaja tidak menjaga diri dengan baik karena bayi dalam kandunganya. Kongpob takut Arthit melakukan sesuatu yang membahayakan diri dan calon bayinya. Kongpob takut Arthit kenapa-kenapa, dan semua itu tidak lain adalah karena dirinya.

Kongpob makin menyesali perbuatan yang telah dia lakukan.

"Walaupun terlihat kecil, namun kandungan itu sudah memasuki bulan ke 5. Sebagai laki-laki, Arthit sendiri juga tidak percaya. Butuh waktu lama untuk meyakinkanya, kami bahkan memintanya untuk periksa langsung ke dokter kandungan, namun Arthit menolak. Mungkin dia malu, jadi saya memberikan rekomendasi untuk pergi ke rekan saya, dia dokter kandungan dan membuka praktek dirumahnya. Arthit datang padanya seminggu yang lalu untuk memastikan, dan akhirnya dia percaya. Menurut kabar dari rekanku, Arthit belum menemuinya lagi setelah itu."

Entah harus bagaimana Kongpob menanggapi penjelasan dokter. Dia hanya mengangguk. Dokter kemudian keluar dari ruangan dan meninggalkan Kongpob dan Arthit disana.

Saat menatap Arthit, Kongpob akhirnya menyadari bahwa perutnya sedikit lebih besar. Tidak terpikirkan olehnya akan kemungkinan Arthit mengandung.

Kongpob kembali teringat dengan sikap Arthit yang tidak biasa seminggu kebelakang, sekarang dia tahu alasanya. Saat masuk kamar Arthit tadi, Kongpob melihat beberapa obat warung berbagai merk yang sudah habis di atas meja, apa Arthit sengaja memakan obat-obatan itu? Sengaja membuat dirinya sakit?

Kongpob tidak bisa membiarkan hal ini. Kongpob yang awalnya akan meninggalkan Arthit di klinik dan memberitahu teman Arthit untuk menjemputnya, kini mengurungkan niatnya.

Kongpob tidak peduli seniornya akan semarah apa, ataupun mungkin dia akan membunuhnya saat sadar nanti, Kongpob akan menunggu sampai Arthit sadar dan menanyakan langsung padanya.

Saat Arthit sadar, Kongpob sudah memprediksi akan bagaimana reaksi Arthit melihat dirinya disana. Arthit sangat marah, dia berteriak dan mengumpat di depan wajahnya, andai saja tubuh Arthit tidak terbaring lemah di ranjang pasien, mungkin Kongpob sudah tidak sadarkan diri.

REMORSEWhere stories live. Discover now