chapter 9

119 17 1
                                    

Perjalanan Arthit menuju tempat tinggalnya, terhenti saat sebuah pesan masuk dalam ponselnya. Pesan yang membuatnya harus membaca berulang kali untuk memastikan bahwa pesan yang dia baca benar.

Pesan singkat yang mengatakan bahwa, Arthit bisa menemui Arka sekarang. Kongpob bahkan mengajaknya untuk menjemput Arka bersama.

Setelah membaca pesan itu Arthit mematung di tempat, dia masih tidak percaya. Kongpob benar-benar mengizinkanya bertemu dengan Arka? Ini bukan mimpi, kan? Setelah memastikan bahwa kejadian itu bukan mimpi dengan mencoba menampar pipinya sendiri, kini Arthit bergegas menuju lokasi daycare yang dikirim Kongpob.

Saat Arthit sampai, Kongpob sudah menunggunya di depan gerbang. Arthit dengan ragu menghampiri Kongpob. Dirinya tidak tahu kenapa Kongpob tiba-tiba mengajaknya untuk menjemput Arka. Sekarang Arthit merasa sangat gugup.

"Ayo masuk."

Kongpob masuk lebih dulu ke area daycare diikuti Arthit dibelakangnya.

Arthit tidak tahu harus berekspektasi seperti apa. Apa Arka akan senang bertemu denganya? Atau apakah dia akan menangis? Walau mereka pernah bertemu sekali, tapi Arthit tidak yakin Arka masih mengingatnya.

Arthit dan Kongpob kini sudah berada di depan kelas Arka. Keringat dingin mulai membasahi telapak tanganya, Arthit benar-benar gugup sekarang. 

Dia sangat senang, keinginanya untuk bertemu Arka akhirnya akan terwujud. Hal yang selalu ia bayangkan sejak 3 tahun yang lalu akhirnya terwujud. Arthit tidak sabar ingin segera memeluk dan menggendong malaikat kecilnya itu.

"Arka.. Papa datang menjemput.." Panggil Bu Guru, Arka yang sedang asyik bermain lego mengalihkan pandanganya pada sang Papa.

"Papa!"

Mendengar suara Arka membuat jantung Arthit berdegup lebih kencang. Arthit tau panggilan 'Papa' itu ditujukan untuk Kongpob, tapi entah kenapa dirinya sangat senang mendengarnya.

Arthit.. juga ingin dipanggil dengan panggilan seperti itu.

"Papa! Mana bingkisan Arka?" Arka yang baru saja keluar dari kelas langsung memeluk Kongpob erat.

"Hari ini temen Papa ga kasih bingkisan, sayang."

"Loh kenapa? Temen Papa ga masuk sekolah? Sakit?"

"Em.. oh iya, Arka inget ga pernah bilang mau ketemu temennya Papa yang selalu kasih bingkisan?"

"Inget!"

"Arka kan katanya mau bilang terimakasih, Arka bisa bilang langsung sekarang."

Kongpob berbalik untuk mengenalkan Arthit pada Arka, namun dia mendapati sang senior menghadapkan punggung nya pada mereka berdua.

Dilihatnya bahu sang senior sedikit bergetar, walau tak terlihat tapi Kongpob tahu Arthit sedang menangis sekarang. Kejadian ini persis seperti saat dirinya memergoki Arthit yang sedang menangis di belakang podium saat wrist tying ceremony setelah Kongpob menyelesaikan masa orientasinya.

"Paman kenapa nangis?" Pertanyaan yang tidak bisa ditanyakan Kongpob ternyata dikatakan oleh anaknya. Kongpob membiarkan Arka menghampiri Arthit sedang dirinya memperhatikan mereka dari belakang.

"Jangan menangis Paman." Arka meraih jemari Arthit dan mengayunkan genggaman tangan mereka pelan.

Merasakan tangan mungil yang kini menggenggam jemari tanganya membuat Arthit merasa semakin sesak.

Untuk pertama kalinya, akhirnya untuk pertama kalinya Arthit dan anaknya itu berkontak fisik. Tangan Arka terasa sangat kecil dalam genggamanya. Arthit mengelus tangan mungil itu lembut, rasanya aneh, tapi juga hangat dan nyaman. Arthit mendongakkan kepalanya ke atas, berusaha membuat air matanya tidak jatuh.

REMORSEWhere stories live. Discover now