01. Seorang Jurnalis Dan Fotografer

361 56 344
                                    

📌
Biasakan vote lebih dulu sebelum membaca

○○》《○○

Suatu hari di tahun 2018...

Bogor tengah menunggu kedatangan senja tatkala seorang lelaki dewasa dengan rambut sedikit gondrong nampak fokus pada sketsanya yang belum usai. Jarinya begitu lihai bergerak di atas kertas, menggiring sebuah pensil 2b membentuk coretan kasar gedung-gedung tinggi beserta ingar bingarnya. Rupanya lelaki itu tengah menggambar apapun yang ada di hadapannya, termasuk beberapa orang yang sempat lewat dan berhasil terekam dalam ingatannya. kursi kayu di atas trotoar jalan seakan enggan untuk di duduki siapa-siapa lagi kecuali lelaki itu beserta semua fantasinya, juga tas serta barang-barangnya yang dia letakan di samping ia duduk sehingga tidak ada lagi sisa.

"Lo tau tadi Mr. Dandi bilang apa?" Dito menoleh, mendapati kehadiran seseorang. Barang-barangnya di singkirkan sebagian, untuk tempat  duduk pria ini.

"Katanya satu hari sebelum hari H, itu artikelnya harus udah di kirim. Wahh gilaa!" dia berdecak tidak percaya.

"Gapapa masih punya waktu empat minggu kan?" Jawab Dito tanpa menoleh, pria bernama Niko di sebelahnya sampai terheran-heran.

"Kok lo bisa santai gitu si Dit? Nih ya minggu depan aja kita baru berangkat, belum nyari objek dan idenya. Lo kira nyari ide gampang apa?"

Tapi Dito tidak menghiraukan lagi, dia membiarkan Niko terus menerus bicara sementara fokusnya pria itu tetap pada sketsanya yang hampir selesai. Sampai terlalu lama tidak ada jawaban, keterdiamannya membuat lelaki di sampingnya terpancing untuk sebatas melirik.

"Dit?"

Dito berdeham pelan. "Kenapa lo gak jadi seniman aja? Skill gambar lo keren! Ya di bandingkan dengan profesi lo sekarang yang harus pulang pergi ke luar kota. Kayaknya kan kalau jadi pelukis gampang tuh, lo tinggal duduk terus kerja deh."

Untuk beberapa saat yang bernama Dito tersenyum kecil karena penuturan temannya, terus mulai merapihkan buku sketsa beserta pensilnya ke dalam tas berbahan kanvas model selempangan berwarna hijau lumut. Dan terakhir ia meraih kamera DSLR miliknya yang sedari tadi di taruh cukup asal lalu mengalungkan benda itu di lehernya.

"Gak tertarik," jawabnya kemudian memilih berlalu.

Hanindito Laerasatya, lahir 21 tahun silam di bulan Agustus di sebuah kota hujan. Ia lahir di keluarga yang terbilang harmonis dan berkecukupan. Sejak ia lahir ayahnya sudah berprofesi sebagai dokter gigi sampai sekarang, mamahnya hanya ibu rumah tangga biasa tetapi mantan pegawai bank yang saat ini pekerjaan itu diteruskan oleh mas Nendra; kakaknya.

Menjadi pelukis? Mungkin cukup menarik bagi beberapa orang, sudah biasa bagi ia mendengar saran-saran seperti tadi. Orang tuanya, bahkan eyangnya sekalipun selalu acap bicara 'akan lebih baik ia menjadi seniman, akan lebih baik ia menjadikan kemampuan menggambarnya sebagai profesi alih-alih itu hanya sebagai hobi seperti keinginannya.' Namun seorang Hanindito tidak serta merta mengiyakan saran dari orang-orang begitu saja termasuk dari ibunya sendiri.

Tapi Dito. Ialah seorang yang berprinsip dan mempunyai keputusannya sendiri.

Kendati sebenarnya pekerjaan di bidang kepenulisan serta pemotretan ini pun belum bisa dia kuasai sepenuhnya, upahnya tidak juga sebanyak gajih kakaknya yang bekerja sebagai pegawai bank. Tapi Dito tidak mau sampai menjadi orang yang pragmatis, dia mafhum kalau akan selalu ada perjalanan yang panjang dalam sebuah proses.

Dito jadi ingat kata-katanya pablo picasso yang beranggapan, bahwa "Semua anak adalah seniman. Masalahnya adalah bagaimana ia tetap menjadi seorang seniman setelah besar nanti." Mengacu pada kalimat tersebut, Dito jadi berpikir tentang: dunia tak selamanya butuh seorang seniman saja bukan? Jadi kalau sebagian dari mereka bertahan untuk menjadi seniman, maka sisanya ada yang menjadi dokter, pilot, guru yang sejatinya jauh lebih dibutuhkan oleh dunia ini.

Lukisan Tanpa WarnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang