18. Sebuah Foto

33 4 19
                                    

Dua hari setelah kepulangannya dari Solo Satya harus ditimpa sakit secara tiba-tiba. Tubuhnya menggigil seharian ini akibat demam tinggi, kepalanya sakit disertai batuk-batuk. Gendis risau, air kompresan sudah kelima kalinya ia peras dari baskom, tapi demam Satya tak kunjung turun.

"Kita pergi ke dokter saja ya." Ucap Gendis, mulai serba salah dengan keadaan Satya yang belum ada perubahan.

Namun suaminya itu justru menggeleng lemah. Bukan betulan tidak mau, Satya hanya malas atau justru dia terlanjur merasa tak punya tenaga bahkan hanya untuk memeriksa kesehatannya.

"Dis.." Panggil Satya pelan. "Dingin, saya mau air hangat."

Tanpa jawaban segera Gendis berlari ke dapur, menyiapkan secangkir air putih panas untuk Satya. Tapi sebelum benar-benar kembali, Gendis teringat satu hal; ketika keranjang berisi macam-macam sayuran dan bumbu dapur tertangkap oleh matanya; sewaktu dulu kalau-kalau ia atau adiknya demam, ibu selalu membuatkannya racikan jahe yang direbus dan disatukan dengan kunyit, hangat itu yang dia pikirkan. Air panas sebelumnya tetap akan ia bawa tapi kini ditemani secangkir racikan jamu yang baru saja ia buat.

Setelah dua gelas cangkir di letakan di atas meja, pelan-pelan Gendis membantu Satya untuk duduk dan bersandar pada dipan. Satya sempat bertanya akan apa minuman yang dirinya beri, tapi begitu Gendis menjelaskan dan ia rasakan sendiri sensasi hangatnya di tenggorokan; jamu itu Satya habiskan dalam sekali teguk.

"Maaf ya." Satya tiba-tiba berucap sementara istrinya kebingungan.

"Belum bisa ajak kamu bersepeda ke pertengahan kota,"

Gendis sadar, itu permintaannya bulan lalu yang bahkan ia sendiri hampir tidak ingat. "Gak apa, kamu sehat aja dulu."

"Setelah sehat, saya janji akan ajak kamu ke sana." Ucap Satya, dan Gendis menebar senyum.

☆☆☆☆

Sehari; kesehatan Satya perlahan membaik, dua hari ia mulai kembali beraktivitas seperti biasanya, lalu di hari ketiga ketika tubuhnya sudah benar-benar fit Satya menepati janjinya, mengajak Gendis menuju pertengahan kota dengan sepeda tuanya yang lama tidak digunakan. 

Selama perjalanan Satya dan Gendis menebar senyum sembari menyapa orang-orang di jalan yang sekiranya mereka kenali. Jalanan berlubang lihai Satya hindari, jaga-jaga supaya sepedanya tidak terbentur aspal yang nantinya bisa saja membuat perjalanan mereka menjadi tidak nyaman.

Gendis menebar senyum manakala tangannya ia rentangkan hingga menyentuh pepohonan ilalang yang tumbuh di sisi jalan. Ilalang tak selalu lebat tumbuhnya, musim kemarau seringkali membuatnya kering lalu mati atau kadangkala keberadaannya di pinggir jalan seringkali membuatnya terlindas kendaraan-kendaraan besar.

Rumah-rumah penduduk berganti menjadi jejeran pohon-pohon yang mereka lewati, lalu kini suasana pedesaan tak lagi mereka tangkap kecuali jejeran gedung-gedung tinggi beserta ingar bingarnya di sekitar jalan raya. 

Sepeda mereka berhenti, Satya menaruh sepedanya di antara motor-motor milik orang lain yang terparkir bersama beca-beca. Perjalanan di teruskan dengan berjalan-jalan kecil, Satya mengeluarkan kameranya dari tas kecilnya; memotret setiap pergerakan Gendis yang berjalan lima langkah lebih dulu di depan sana. Kadang kala beberapa orang yang lewat ikut Satya abadikan dalam kameranya.

"Satya.." panggil Gendis.

Satya menghentikan kegiatannya yang tengah memotret langit, lalu menoleh pada Gendis.

Gendis menunjuk pertengahan jalan yang sepi, diantara gedung-gedung tinggi. "Fotokan aku di sana," pintanya.

Satya mengangguk langsung mencari posisi yang pas untuk hasil yang bagus, sementara Gendis berlari ke pertengahan jalan dengan semangat. Rambut panjang serta dress putihnya menari-nari mengikuti gerakan angin.

Lukisan Tanpa WarnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang