17. Binar

43 5 21
                                    

Kini kegiatan melukis benar-benar hanya Satya jadikan sebagai pekerjaan sampingan atau hobi semata. Kalau dulu seluruh waktunya dia pakai untuk terus mencari ide dan berkutat dengan alat-alat melukisnya, saat ini kegiatan itu hanya Satya kerjakan jikalau ia benar-benar sempat. Terkadang ia juga mesti rela mengikhlaskan waktu istirahatnya demi melukis. Satya tidak ingin sampai benar-benar meninggalkan impian dia itu.

Minusnya pekerjaan dia sekarang ini adalah, Satya harus bolak-balik pulang pergi dari Jakarta ke Solo atau Solo ke Jakarta, sebab tanggung jawab dia kini ada dua, pekerjaannya juga janjinya pada ibu dan bapak dengan Gendis. Meski sesekali istrinya itu ikut bersamanya ke Solo, tapi hanya untuk beberapa waktu. Kata Gendis, rumah mereka tetaplah di Jakarta sementara kota Solo hanya tempat singgah.

Walaupun Satya tahu betul kalau perjalanan yang ia tempuh tidak makan waktu sedikit. Harus ada kisaran 1 sampai 2 malam di perjalanan. Koper hitam besar ia seret dari ruang tengah sampai depan pintu, Satya hendak pamit. Dua hari yang lalu Satya menerima kiriman surat dari rekan kerjanya yang bicara kalau perusahaan tengah mengalami penurunan, itu artinya Satya harus ikut serta berada di sana.

"Kamu benar tidak mau ikut?" tanya Satya. Dia paham betul dengan perubahan raut wajah istrinya sejak satu jam yang lalu.

"Enggak.." Gendis menggeleng. "Harus satu bulan ya?"

"Paling lambat satu bulan, tapi saya usahakan pulang secepatnya. Kemungkinan hanya dua minggu.." Jelas Satya.

"Yasudah," Gendis mengangguk lesu.

Satya tersenyum sambil mengucak rambut Gendis yang tidak di ikat. "Baik-baik ya," Lalu mengecup keningnya singkat.

"Kamu gak mau ke rumah ibu?"

Lagi, Gendis menggeleng. "Nanti aku hubungi ibu, supaya dia kesini."

Satya balas anggukan. "Saya pergi.."

Hingga dengan berat hati Gendis harus menyaksikan mobil milik suaminya yang perlahan-lahan menjauh dari halaman rumah.

☆☆☆☆

Magelang, 1972

Hari ini saya pergi ke borobudur bersama rekan kerja. Dari magelang kami pergi menaiki andong dengan dua kuda. Tadi di jalan saya lihat ada sepatu lucu yang terbuat dari anyaman kayu, nanti saya beli untuk kamu.

Perusahaan mulai membaik saya usahakan pulang secepatnya. Bagaimana di sana? Jangan sampai lupa makan ya..

Surat dari Satya yang di kirim lewat kantor pos.

Dua minggu tanpa Aryasatya Gendis menginap di rumah orang tuanya, sebab salah satu kelemahannya yaitu : tidak berani berada di dalam rumah sendirian. Hari-hari berjalan seperti biasanya, malah Gendis merasa; berada di rumah ibu tanpa suaminya sama seperti dahulu semasa Gendis melalui hari-harinya sebelum kenal Satya. Hanya bedanya kali ini ia harus diberatkan oleh perasaan rindu.

Seringkali bapak atau ibu menyuruhnya untuk pergi ke tempat penelponan umum dan menghubungi nomor rumahnya Satya di sana. Tapi Gendis menolaknya dengan menanti-nanti, dia sudah bisa membayangkan sesibuk apa Satya di sana. Sampai selama dua minggu ini hanya sempat memberi kabar satu kali.

Di dalam kamar Gendis melamun, lalu hatinya membatin.

"Gak papa, dua minggu lagi..."

☆☆☆☆

Tanggal demi tanggal di kalender sudah Gendis coret satu persatu, dan hanya tersisa satu tanggal lagi kini. Bukan sebab tanggal dan hari itu belum Gendis lewati, tapi karena Gendis masih enggan dan menduga-duga kemana perginya Satya selama 31 hari lebih tanpa kabar. Satu bulan lewat satu minggu Satya tidak pulang. Gendis bimbang, cemas juga sebab kini bukan lagi rasa rindu yang membelenggunya tapi justru perasaan khawatir.

Lukisan Tanpa WarnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang