08. Di Pertengahan Ilalang

158 26 375
                                    

Annyeong Yeorobun👋 seperti biasa aku selalu ngaret setiap up cerita ini,. Ya gimana ya, selain banyak kegiatan, cerita ini juga rada musingin🥲

Setelah di pikir matang-matang sampe gosong malah, kayaknya bahasa jawanya gak harus aku banyakin deh. Walaupun akan ada saatnya dialog antar tokoh  pakai bahasa jawa, tapi kayaknya  sedikit² aja, atau hanya ada di part² tertentu. Sekian, aku pun pusing hehe🙏

Ogeyy dehh lanjuttt!!! Selamat membaca, jangan lupa baca bismillah🤎

📌

Biasakan vote sebelum membaca

○○》《○○
□□■■□□

Malam hari yang sejujurnya tidak terlalu gelap, tapi bulan sabit kelihatan terlalu malu-malu untuk menampakan dirinya di atas langit sana sehingga ia biarkan kumpulan asap hitam itu menutupi bentuk indahnya serta menyamarkan cahaya terangnya. Tapi usah risau karena Satya sudah terbiasa dengan kegelapan.

5 bulan silam ketika dirinya menginjakan kaki di ibu kota, Satya hidup sendiri diselimuti temaram nan hitam tanpa pencerahan apapun. Tidak ada banyak uang yang ia bawa, tidak ada tempat tinggal kecuali kontrakan kecil yang Satya sewa tanpa uang muka. Tidak ada keluarga ataupun teman. Sampai suatu saat di pasar Satya bertemu dengan Danang seorang penjual obat tradisional ketika ia tengah ada niat akan membeli obat untuk pegal-pegal di tangannya. Sama sepertinya, Danang juga merupakan seorang pria kelahiran tanah Jawa yang mewarisi keahlian ibunya dalam membuat jamu, lalu pada akhirnya menetap seorang diri di Jakarta.

Dagangannya laris manis sejak awal, banyak orang-orang bicara bahwa jamu dan obat-obatan yang dijual manjur untuk setiap keluhan serta rasa sakit. Usah heran sebab daerah Jawa terutama bagian tengah memang dikenal sebagai pembuat jamu terbaik. Semakin kesini status mereka yang semula hanya ikatan antara pedagang dan pembeli kini perlahan mulai berubah menjadi teman.

Danang suka akan kehadiran Satya karena mereka sama-sama anak rantau dan kebetulan dari kota yang sama. Satya suka cara pemikiran Danang yang bicara, bahwa hidup memang perlu diperjuangkan; bahwa manusia diberi nyawa untuk bergerak bukan untuk diam; manusia diberi hidup untuk berguna bukan untuk sebaliknya. Terutama ketika Danang bicara: bersama-sama pasti akan lebih mudah, sebab sesulit apapun keadaanmu, pasti akan ada selintas pikiran bahwa kamu tidak sendirian di dunia ini, dan pada akhirnya satu kontrakan juga berjuang bersama menjadi kesepakatan terakhir.

Satya memasuki kamar kontrakan yang tidak terlalu besar tapi juga tidak terlalu kecil, fasilitas yang ada cukup lengkap di antaranya satu kamar mandi kecil, dapur dan satu kamar cukup lega sehingga bisa dimasuki oleh dua kasur ukuran pribadi.

"Gimana lukisanmu, Sat?" suara Danang menyambutnya, dari balik gulungan selimut dua lapis yang tersengar samar di telinga Satya. Lebih ke dengaran nada menggigil sebab Satya tahu, pria itu sedang dalam kondisi yang tidak baik selama lima hari kebelakang.

"Yo, ra ono perubahan-- ra ono penaikan. Podo wae," ungkap Satya apa adanya. (Ya, gak ada perubahan-- gak ada penaikan. Sama saja.)

Pria dibalik selimut berdeham kelewat malas. "Tadi kau diapain sama pak Nengdar?"

Satya diam seketika, gerakan tangannya yang baru saja hendak menuang air dari termos untuk kopi hitamnya di dalam gelas berhenti. Praduganya berprasangka bahwa si pak Nengdar tak hanya ke pasar dan menghampirinya, tapi juga kemari.

Lukisan Tanpa WarnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang