05. Kami, 1970

191 32 330
                                    

Entah feel di part ini bakalan sampai ke kalian atau enggak. Tapi semoga sampai deh ya, silahkan dirasakan tahun 1970😭

Baca 'bismillah' sebelum baca ya hehe biar rasa dari author tersampaikan🫠

Hal-hal yang aku pelajarin dari jaman dulu•

1. Nikah beda umur bertahun-tahun itu udah biasa.
2. Perempuan gak baik nunda-nunda nikah, jadi banyak yang nikah muda.
3. Pendidikan di jaman dulu belum sepenting kayak di jaman sekarang.
4. Harga pada murah-murah kalo dibandingin sama jaman sekarang.
5. Belum ada alat komunikasi, kecuali telepon umum (atau selebihnya aku gak tahu)
6. Apalagi ya? Yang tahu dan mau nambahin, kasih tau aku di komen ya hehe..

Narasumber : Neneknya author^^

Sebelumnya jangan kaget kalau bahasanya bakalan lebih baku di sini, karena ya jaman dulu belom ada bahasa gaul wkwk

Ya pokoknya selamat membaca🤎

○○》《○○

Pada buku pertama dengan sampul merah, Dito mendapati satu tulisan 'Gendis' nama eyangnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pada buku pertama dengan sampul merah, Dito mendapati satu tulisan 'Gendis' nama eyangnya. Lalu pada buku kedua dengan sampul hitam yang jauh lebih tebal daripada buku pertama, dia dapati pada sampulnya sebuah tulisan tangan berhuruf sambung.

Tulisan lusuh termaktub kata: Kami, 1970

☆☆☆☆

Juli, 1970...

Suara alunan mesin jahit yang terdengar seirama dalam satu ruangan berhasil memekakan telinga. Cukup untuk membuat seorang gadis perlu meninggikan nada bicaranya ketika ia berucap.

"Sudah aku bilang kan, dia itu orangnya terlalu berlebihan. Aku gak suka!" katanya disertai sorot mata kesal.

Rumi, sahabatnya yang diajak bicara menggeleng-geleng tidak percaya. "Ya terus kamu itu sukanya yang bagaimana?"

Perempuan itu kehabisan kata, dia cukup lelah dengan pendapat sahabatnya yang tidak sejalan dengan pemikirannya. Belum lagi suara dari mesin jahit yang masih terdengar membuatnya malas jika harus berteriak dua kali.

"Gendis! Kamu dengar aku tidak?!"

"Rumi!!" Gendis terkesiap, membentak temannya tapi dengan suara tertahan. Ia terkejut ketika tanpa hitungan detik suara-suara dari mesin jahit di ruangan itu senyap, terkecuali mesin jahit miliknya yang masih bekerja.

Beberapa pasang mata melihat ke arah mereka berdua dengan sorot mengintimidasi, seorang wanita berusia hampir setengah abad berdeham dengan suara dalam yang kedengaran lebih horor dari pada omelan bapaknya kemarin malam pada saat ia pulang ke rumah kemalaman.

"Apa ada perintah untuk berbicara?!" bu Ida, selaku guru kesenian itu bertanya dengan nada tak bersahabat.

☆☆☆☆

Lukisan Tanpa WarnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang