15. Membelai

64 6 45
                                    

Mei, 1971

Satya pikir menatap barisan orang-orang yang tengah memperhatikannya saat ini sudah membuatnya gugup bukan main. Suasana perkebunan yang dilaluinya kemarin malam kalah mencekam dengan atmosfer rumah Gendis saat ini.
Tiba-tiba, tangannya sudah ada dalam jabatan seorang pria berpeci di hadapannya hanya terpisah sebuah meja kecil di tengah-tengah. Dan ia tak paham mengapa orang-orang memperhatikannya dengan tampang awas, seakan siap menelannya jika ia membuat kesalahan sekecil apapun itu.

Dia mengatur napas, ditatapnya penuh keyakinan bapak berkumis di hadapan. Pemuataran ulang bagaimana sewaktu beliau menatapnya hanya dengan sebelah mata dan sempat meremehkannya yang hanya berstatus sebagai pelukis jalanan kembali disaksikan sekilas. Sampai akhirnya kemarin Satya buktikan datang bersama keluarganya, bahwa niatnya sedari awal memang tidak main-main.

Jari jemari Satya menegang, genggaman mereka menguat.

"Saya nikahkan engkau Aryasatya Adiwangsa bin Hamong Tirto, dengan putri saya Gendis Kaliyani Nagendra binti Avandi Nagendra dengan mas kawin seperangkat alat salat beserta uang tunai sejumlah lima puluh ribu rupiah, dibayar tunai."

"Saya terima nikah dan kawinnya, Gendis Kaliyani Nagendra binti Avandi Nagendra. Dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai." Jawab Satya.

Para saksi serta orang-orang yang hadir serempak menyebut kata 'SAH'. Satya dan Gendis sama-sama mengamini hari bahagia mereka. Gendis tak hentinya menebar senyum, Ada rasa lega ketika punggung tangan Satya menyentuh hidung serta bibirnya. Tatapan mereka beradu, Satya terpana bukan karena riasan yang di pakai oleh perempuan ini, namun sebuah sorot kebahagiaan yang terpancar dari wajahnya.

"Terima kasih.." lagi-lagi Satya tidak paham, mengapa kata-kata itu yang harus terucap dari mulutnya. Dia hanya merasa, kehadiran Gendis membawa banyak perubahan untuk hidupnya.

"Terima kasih juga..."

☆☆☆☆

Orang tua Gendis mengizinkan Satya untuk tinggal dirumah mereka selagi keduanya belum ada niat untuk membeli rumah. Baik ibu dan bapaknya kini menyambut Satya dengan sangat baik, memperlakukannya seperti anak sendiri. Di ruang makan, Gendis lihai menata piring juga sendok-sendok serapih mungkin, mengingat sebentar lagi ibu pasti akan memanggilnya dari dapur sebagai tanda bahwa masakannya sudah jadi.

Tak lama masakan datang bersamaan dengan kehadiran bapak dan Satya dari ruang tengah; harumnya aroma makanan membuat kedua lelaki itu melupakan sejenak topik tragedi demo politik yang diperbincangkan berita belum lama ini dan baru saja mereka bahas. Papan hitam putih masih terpajang di atas meja bersama anak-anak caturnya, yang belum sempat mereka bereskan.

Makan malam berlalu bagai adegan drama yang menampakan keluarga cemara di dalamnya. Terselip banyak canda, tawa juga cerita yang terucap dari mereka semua.

Satya mensyukuri nikmat ini. Tapi tiba-tiba saja dia terpikirkan akan lukisan-lukisannya yang cukup lama tak ia sentuh.

Mungkin di situ Satya merasa sedih, tapi keputusan tetaplah keputusan. Lagipun lukisan-lukisan itu masih bisa dia sempurnakan jikalau senggang, hanya saja prinsipnya yang berubah.

☆☆☆☆

Satya akhirnya tahu bagaimana bentuk kamar yang selama ini melindungi Gendis dari teriknya matahari juga derasnya hujan. Bagaimana bentuk kasur yang seringkali ditidurinya, selimut yang senantiasa memeluknya kala dia kedinginan. Tatapannya kini tertuju pada seorang gadis di depan cermin yang kini sudah berstatus sebagai istrinya. Satya hampir lupa, kalau Gendis di dunia nyata kelihatan lebih cantik dibandingkan Gendis yang berada dalam khayalannya. Ia memperhatikan tiap detail wajah gadis itu dari cermin, tangannya lihai menyisir rambut panjangnya, tapi tatapannya diam-diam curi-curi pandang.

Satya memanas, bilah gairah menguasai pikiran liarnya. Tangannya sempat meremas sprei putih tanpa Gendis ketahui, hingga akhirnya ia memutuskan keluar untuk pergi ke toilet sebentar.  Dan ketika ia masuk kembali, posisi Gendis kini berada di depan jendela yang tirainya belum tertutup, memandang keadaan di depan sana yang sudah sangat sepi juga gelap. Satya maju lebih dekat, dirangkulnya tubuh Gendis dari belakang.

"Satya..."

"Hemm?"

"Aku masih ingin melihat kamu melukis.." Kata Gendis, sebelum menjawab, Satya berpikir sejenak.

Hingga di detik berikutnya tubuh mereka sudah berhadapan. Satya tersenyum penuh ketulusan; menyiratkan bahwa semua akan baik-baik saja; bahwa apa yang sedang Gendis khawatirkan tidak akan terjadi.

"Saya akan terus melukis, Dis..." ucapnya lembut, lalu Gendis memeluknya tanpa ragu.

Cukup lama, Satya membuat jarak, tidak banyak hanya sampai pelukan mereka terlepas. Suasana kembali memanas, Satya enggan mengulur waktu di kecupnya bibir Gendis tanpa ragu. Masa-masa di mana ia tahan rindu habis-habisan, juga waktu di mana ia hampir melepaskan gadis ini kini rasanya seperti perasaan-perasaan itu ia hempas sejauh mungkin, sebab malam ini Gendis hanya miliknya seorang.

Tautan bibir mereka berhenti, Gendis tertawa kecil selama Satya menatapnya kebingungan. Di liriknya tirai yang belum sempat di tutup. Satya ikut tertawa, ia mengerti lalu sigap menarik tirai. Suasana mendadak menjadi serius, saat dimana Satya menggiringnya ke tempat tidur,  Gendis menyadari bahwa malam ini akan menjadi malam yang panjang bagi keduanya.

☆☆☆☆

2018...

Cukup lama ia merenung di depan sebuah pintu.  Bingung pada pilihan antara masuk atau tidak. Tangan keriputnya berhenti pada kenop pintu yang bahkan belum ia gerakan. Satu tarikan napas membuat ia yakin, pintu akhirnya terbuka. Ia kebingungan, cucunya tidak ada di sana. Ia memilih bergerak, mencari keberadaan seseorang yang tengah ia cari. Seorang diri, ditemani sepi, sebab waktu sudah masuk cukup malam.

Pertama di ruang tamu ia perhatikan jejeran sofa dalam keadaan kosong, lalu di dapur ada satu kursi kayu panjang di sana dengan bantalan empuk, tapi nihil tempat itupun kosong. Ia sempat merenung selama beberapa saat, lalu sekilas terpikirkan akan satu tempat. Untuk memastikan ia benar mengecek tempat itu, gerak jalannya yang tak lagi bagus membuat ia harus pelan-pelan menuruni tangga kayu.

Benar saja, lampu gudang dalam keadaan menyala. Lalu di pojok ia dapati cucunya tertidur pulas di sana sembari memeluk buku lusuh bersampul hitam. Hatinya terenyuh, tangannya bergerak mengusap lembut rambut sang cucu. Mulai sekarang ia tak kan lagi menyembunyikan ini semua, sebab hatinya membatin.

"Mungkin sudah waktunya, ia mengetahui yang sebenarnya..."

Lagipun Gendis tahu, bahwa Dito orang yang gigih yang tak akan bisa ia cegah dalam hal ini. Jadi biarkan saja semuanya berjalan sebagaimana harusnya.

Pandangan wanita tua itu kini beralih pada sebuah lukisan yang terpajang di dinding. Sudah sangat lama tidak ia lihat lukisan ini, hingga catnya mulai memudar. Lukisan wajah dirinya ketika muda dulu, kini mulai menampilkan putaran wajah sang pelukis, tersenyum di sana sampai seakan-akan Gendis dapat merasakan kehadirannya kembali. Ia mendekat, tatapannya berubah sendu. Tangan keriputnya bergerak, mengelus lukisan itu penuh rasa rindu.

"Satyaa...."

¤¤¤¤¤

Jangan lupa klik bintang, terima kasih sudah menyempatkan mampir.

Love you all🤎

Love you all🤎

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Lukisan Tanpa WarnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang