19. Para Pelukis

35 3 24
                                    

"Diss, sayangg!!"

Dari arah luar Satya cepat-cepat membuka sepatunya untuk memasuki rumah dan mencari Gendis. Suara pancuran air terdengar mengisi rumah yang sepi, dan rupanya Gendis baru selesai mencuci piring di sana.

"Mereka menerima karya saya, Dis." Sebertemunya tatapan mereka, Gandis bisa lihat kalau raut wajah suaminya ini tengah senang bukan main.

"Apaa?" Gendis masih belum paham.

"Galeri byakta, kamu ingat? Tempat yang pernah kita kunjungi waktu itu." Gendis mengangguk pertanda ia ingat.

"Mereka akhirnya menerima salah satu karya saya untuk bisa di abadikan di sana."

Yang diberi tahu baru mengerti, Gendis menebar senyum turut senang dengan berita baik ini. "Serius? Terus mereka menerima karya kamu yang mana?"

Satya menoleh ke seisi rumah, terutama pada dinding-dinding yang sudah dihiasi lukisan ciptaannya. "Mereka bilang lukisan yang saya buat hidup, dan mereka kagum sama lukisan laut yang saya buat kemarin,"

Lagi, Gendis tersenyum. "Selamat ya, aku turut bahagia dengarnya."

"Makasih," Satya menekankan kata itu sembari memeluk Gendis. "Saya gak akan bisa sampai sekarang, kalau bukan karena kamu."

Satya benar berpikir demikian, berkat siapa dia berada dan menetap di sana kalau bukan karena rasa cintanya pada Gendis.

☆☆☆☆

Satu minggu berlalu terhitung singkat bagi Satya yang memang tengah menargetkan lukisannya selesai dalam seminggu ini. Lukisan laut biru yang kelihatan lebih detail dari sebelumnya betulan Satya bawa dengan mobilnya menuju Galeri Byakta. Perasaan senang dan juga lega mengiringi perjalanannya yang singkat karena lima belas menit saja ia sudah sampai di tempat tujuan.

Dengan bangga, Satya langsung membawa lukisan miliknya dengan satu tangan, disambut tatapan-tatapan hangat para pelukis senior di sana. Kalau Satya perhatikan lebih jauh, mereka semua kelihatan beragam dengan karakter yang kuat pada masing-masing, ntah dari bentuk kumis yang membedakan juga bagaimana cara mereka menyambut kehadiran Satya dengan penuh tawa.

Pak Santoni, biarpun sudah beruban dan seluruh tubuhnya sudah dihiasi keriput, tapi Satya perhatikan semangatnya hampir tidak pernah redup. Ada kiranya tiga lukisan abstrak hasil ciptaannya yang di pajang di sini dan ia akui ia belum pernah melihat lukisan abstrak seindah itu sebelumnya, karena biarpun abstrak Satya bisa merasakan pesan yang di sampaikan di sana. Dan Satya dengar dari orang-orang, kalau beliau merupakan pelukis pertama yang bisa mengabadikan karyanya di sini.

Ada satu lukisan yang menampakan keramaian di depan monas terutama pada ondel-ondel yang lebih ditonjolkan karyanya bang Sarbini, pelukis yang Satya tahu beliau orang betawi. Beliau cukup asik, sejak berkenalan dengan Satya dua minggu lalu cukup banyak lawakan lawakannya yang Satya bisa terima dan ikut tertawa padahal sebetulnya mendengar logat bicaranya saja Satya cukup kesusahan.

Lalu ada satu lukisan yang menurut Satya paling beda dari yang lain, paling kreatif, paling niat, lukisan yang dibentuk dan diwarnai dari dedaunan kering dan cangkang telur. Satya baru pertama kali melihat lukisan seperti itu, selama melukis dia bahkan tidak pernah terpikirkan untuk mewarnai lukisannya dengan bahan lain kecuali cat. Dan ketika Satya ketahui siapa pelukisnya, ia makin di buat kagum, Arista Yunanta, satu-satunya pelukis senior perempuan di sini.

Terakhir ada Gema, pelukis junior yang mengabadikan karyanya sejak satu bulan lalu. Ia dua tahun lebih muda dari Satya dan baru satu karyanya yang di pajang di sana, sebab katanya melukis di sela sela kegiatan kuliahnya. Sama seperti Satya, Gema lebih suka melukis alam dan pemandangan. Bedanya lukisan Satya terkesan apa adanya, sementara lukisan yang dibuat gema kelihatan hampir seperti lukisan tiga dimensi karena penggunaan cat nya yang tebal dan ada kesan menonjol pada bagian-bagian objek yang dia anggap hidup, mungkin itu yang akan menjadi ciri khasnya.

Dan saat ini Satya melihat lukisannya telah mengisi salah satu celah dinding yang masih kosong di sana. Ia tersenyum bangga. Ada rasa tidak menyangka bahwa ia bisa sampai sejauh ini. Satya merasa, dia bangga pada dirinya sendiri.

"Pernah gak melukis manusia, Sat?" tanya pak Santoni di tengah-tengah obrolan mereka.

"Pernah." Jawab Satya "Terakhir saya buat wajah seorang ibu permintaan dari seorang gadis yang saat ini sudah menjadi istri saya."

Jawaban Satya mampu memecah keseriusan mereka, terutama Gema yang tiba-tiba bertanya.

"Ohh mas Satya sudah menikah ya? Saya kira masih bujang," katanya dengan tawa tipis.

Satya menjawab "sudah." tanpa kembali menimpali tebakan Gema yang dia anggap sebagai candaan.

"Lu liat aje deh Sat, kebanyakan lukisan dimari itu pemandangan, objek mati, kalaupun ada objek yang hidup ye paling itu kerbau same kembang." Kata bang Sarbini, sembari memberi satu puntung rokok beserta koreknya.

Satya menerimanya dan lagi dia baru ingat kalau rokoknya tertinggal di dalam mobil. Ia menimang selagi rokok yang sudah di emut oleh kedua bibirnya belum menyentuh api sampai selepas rokoknya menyala dan ia mulai mengeluarkan asap dari mulut dan hidungnya Satya baru menjawab.

"Saya bisa mengisi sisa- sisa celah di dinding yang masih kosong dengan lukisan yang lebih hidup lagi, lukisan yang menampilkan manusia di dalamnya." dengan nada tegas.

Arista, satu-satunya pelukis perempun senior di sana tertawa tipis. "Padahal laut yang kamu ciptakan saja sudah cukup hidup," katanya pelan, entah kedengaran yang lain atau tidak.

Tapi daripada itu Pak Santoni dan bang Sarbini saling bertukar pandang kemudian keduanya bertepuk tangan. Satya terlalu berani mengambil tantangan sebelum di beri.

"Gue suke yang begini nihh." kata si pelukis asal betawi, bang Sarbini.

"Bisa selesai satu bulan tidak, Sat?" Pak Santoni tiba-tiba menambah tantangan.

Satya diam sejenak dan memilih membuang rokoknya yang belum sepenuhnya habis, dia tidak menyangka bahwa dirinya benar-benar di tantang oleh empat pelukis sekaligus. Kini tatapan-tatapan itu tertuju kearahnya, bukan lagi tatapan hangat yang ia dapati seperti awal, tapi tatapan yang meminta jawaban dari dirinya saat itu juga. Satya sebetulnya ragu, tapi sebagai pendatang baru ia tidak mau sampai mengecewakan sehingga dengan mantap ia menjawab.

"Saya usahakan, lukisan pertama selesai dalam satu bulan."

Hanya ada satu kata, Satya yakin.

☆☆☆☆☆

Di perjalanan pulang Satya terpikirkan Gendis. Senja yang menemani perjalanannya akan terasa lebih hangat jika saja Gendis ada di sampingnya, ia berpikir demikian hal itu membuat dia ingin cepat-cepat sampai ke rumah tetapi ternyata macetnya jalanan tidak mendukung keinginannya yang satu ini.

Satya merenung sambil merasakan tenggorokannya gatal hingga terbatuk-batuk kecil.
Mungkin efek rokok yang bang Sarbini kasih tadi beda merek dengan rokok yang biasanya dia hisap.
Tapi semakin Satya diamkan batuknya semakin menjadi, sampai bisa dia rasa matanya berair dan dadanya sesak tiba-tiba. Lebih dari satu menit batuknya belum juga reda, Satya berusaha tenang sambil mengelus dadanya sendiri. Padahal kenyataannya batuk ini membuat ia capek lama-lama, hingga mencapai puncak Satya rasa ada yang akan keluar dari mulutnya detik itu juga, tangannya sigap menyangga mulutnya yang seperti hendak muntah, dan benar saja.

Darah, itu yang keluar dan berhasil ia muntahkan dari dalam sana. Satya cukup dibuat syok, telapak tangannya kini penuh dengan darah, dan ia membiarkan dunianya berhenti selama pandangannya kabur memperhatikan cairan merah itu.

Ada apa? Satya bertanya-tanya, sebelum-sebelumnya ia tidak pernah batuk sampai mengeluarkan darah seperti sekarang. Apa benar ini efek dari rokok tadi atau...

Ahhh,... Satya berusaha tidak pikir panjang dia hanya ingin cepat sampai ke rumah dan menemui Gendis.

¤¤¤¤







SIAPA YANG OVT BACA NYA?😞
JANGAN LUPA VOTE NYA SAYANGKUU

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 11 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Lukisan Tanpa WarnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang