10. Seni

122 24 209
                                    

Anyeong, author double up!!👋🤎🤎

Part ini awalnya sempat mau aku hilangkan karena termasuk rumit isinya, dan juga aku pusing sama bahasa Jawa yang aku pakai di part ini. Tapi di pikir-pikir kalau part ini gak ada, nantinya alurnya sedikit berantakan dan juga bisa dibilang part ini tuh part yang menggambarkan Satya banget.

Jadi alhasil, aku ringkas lagi bagian-bagian yang rumitnya, dan penggunaan bahasa Jawanya aku kurangin.

Okeyy sekian... Selamat membaca🤎🤎

📌
Votenya ojo lali yo😄

○○》《○○
●●●

Beberapa tahun silam ketika Satya menginjak usia 15 tahun, dia ingat betapa dirinya mengidam-ngidamkan mimpinya untuk bisa menjadi seorang seniman yang nantinya bisa mengharumkan nama tanah air. Di sekolah dasarnya dulu Satya hanya di kenal sebagai anak yang punya bakat dibidang melukis oleh guru serta teman-teman sebayanya, tidak ada sama sekali ketertarikan untuk mewakili jiwa-jiwa seniman; kecuali setelah ia diperlihatkan satu kenyataan bahwa sang kakek merupakan seorang seniman negeri ini yang berhasil membawa karyanya sampai negara Belanda.

Djantaka Tsantuardjo, namanya. Seorang pelukis, pemahat serta penyanyi dari tanah Jawa yang akhirnya berhasil membawa karyanya dikenal oleh banyak orang dalam keadaan yang Satya tahu, negeri ini masih berada dibawah penjajahan Jepang. Bukan hanya itu, beliau juga seorang dalang yang selalu berada di balik layar untuk bermain bersama wayang kulitnya-- menghibur rasa cemas, risau serta rasa takut orang-orang lewat pertunjukan karyanya, kala itu.

Betapa Satya sangat mengagumi sang kakek bahkan sampai beliau sudah tidak ada lagi di muka bumi ini. Tahu akan kenyataan bahwa bakatnya diturunkan dari sang kakek, serta merta membuat Satya ingin meneruskan apa yang beliau lakukan semasa hidup. Terutama, sama seperti kakek: Satya juga ingin mengharumkan nama tanah air lewat karya-karyanya.

Di usia 15 tahun, Satya memutuskan untuk terus menekuni minat dan juga pengetahuannya di dunia seni. Jika awalnya kegiatan yang melibatkan alat-alat melukisnya ia lakukan kalau ada tugas dari sekolah saja, kini kegiatan itu menjadi makanan sehari-harinya. Lama kelamaan Satya mulai merasa ada kenyamanan, ketika bukan lagi tempat-tempat yang ia lihat yang dapat ia poleh di atas kertas. Tapi, juga ungkapan dari perasaannya bisa dia kreasikan menjadi sebuah karya.

Bapak dan ibu awalnya biasa-biasa saja dan menyetujui selagi kegiatan itu tidak mengganggu konsentrasi belajarnya. Tetapi, setelah ia menginjak usia dewasa. Ibu banyak disuguhkan oleh keadaan-keadaan miris yang menimpa para seniman di negeri ini; ihwal beberapa di antara mereka ada yang hanya menjadi pelukis jalanan, dibayar seikhlasnya, atau bahkan sampai diabaikan keberadaannya.

Menginjak usia 22 tahun selepas ia menamatkan perkuliahannya di bidang seni, Ibu mengarahkannya untuk bisa meneruskan usaha sang bapak yang mengurus perusahaan permesinan turun temurun sejak zaman penjajahan Jepang dahulu. Satya awalnya menurut saja, tapi lama kelamaan ia merasa seakan pekerjaan ini membuatnya tak ada waktu untuk sekadar berkutat dengan alat-alat melukisnya. Entah mungkin ini permainan yang direncanakan sang ibu, sehingga ia selalu dibuat sibuk setiap harinya.

Sampai pada suatu hari, Satya memberanikan diri untuk memberi penolakan hingga memicu perdebatan.

Ibu terus berkata dan teguh pada pendapatnya, bahwa menjadi seniman di negeri ini tidaklah semudah itu, di dukung beberapa contoh yang memang sudah jelas buktinya, hingga Satya beberapa kali kalah telak.

"Nganti kapan bisa? Delengen tanggane, apa sing digayuh saka wayang kulit? Bojo lan anak-anake angel mangan!" kata ibu di tengah-tengah perdebatan mereka.(Sampai kapan bisa berhasil? Lihat tetangga tuh, dapat apa dari wayang kulit? Istri dan anaknya mau makan aja susah)

Lukisan Tanpa WarnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang