13. Menghilang

97 15 89
                                    

Hai, maaf udah buat nunggu😊

Selamat membaca🤎

○○》《○○

Semoga kamu mengerti bahwa keras kepalaku serta merta karena terlalu mencintaimu.

Ini bukan kali pertamanya dia tidak mendapati keberadaan Aryasatya beserta lukisan-lukisannya di tempat biasa. Awalnya Gendis hanya mengira pria itu memang tengah beristirahat atau mungkin sedang tidak enak badan, tapi di hari ke 5 dalam keadaan yang masih sama. Gendis jadi bertanya-tanya, kemana perginya sang pelukis?

Satya menghilang? Atau justru sengaja menghindar? Banyak prasangka buruk menggelayuti pikirannya. Sejak tiga hari yang lalu hati dan pikirannya menjadi tak jenak, belum lagi kali terakhir mereka bertemu dan bicara serius. Dia ingat bagaimana wajah Satya seakan tidak siap menerima ucapan-ucapan darinya.

"Satya, bilang kalau memang gak mau. Jangan menghilang...."

Satu jam lebih menunggu di antara lalu lalang orang-orang juga khalayak keramaian pasar, Gendis sadar; Satya tidak akan kemari.

☆☆☆☆

Di hari ke 7 Gendis kembali di kejutkan dengan adanya kehadiran keluarga yang lagi-lagi merupakan kerabat dekat bapaknya. Entah sudah keberapa kalinya ibu meminta ia untuk membuat keputusan yang benar-benar matang, entah sudah keberapa kalinya juga bapak acap bertanya "Mana laki-laki yang ia idam-idamkan itu?" Hingga akhirnya bapak memberinya waktu satu bulan, kalau dalam kurun waktu yang bapak tentukan Satya masih belum juga kembali. Maka Gendis terpaksa mengambil keputusan terakhir.

Manakala rumahnya justru sedang kehadiran tamu, Gendis justru memilih untuk mengasingkan diri di kamarnya. Diam merenung di antara jendela yang terbuka lebar, membuat angin berlomba-lomba masuk mengisi ruang. Waktu rasanya melambat dalam dimensinya, Gendis tidak mau berpikiran yang buruk-buruk. Ia benci ketika pikirannya kerap kali membayangkan hal yang tidak-tidak bahkan diluar kendalinya.

Setidaknya Gendis ingin yakin bahwa Satya bukanlah pria seperti apa yang pikirannya duga, Satya bukan pria yang buruk. Dia yakin itu.

Pintu kamar yang semula tertutup rapat kini membuka perlahan, ibu memanggilnya; memintanya untuk menemui tamu di depan supaya ada kesan menghargai. Gendis menurut saja, tapi sebelum bangkit, ia menyeka air matanya dahulu.

☆☆☆☆

Bagi Gendis Jakarta pada malam hari tidak terlalu menyeramkan, tidak 100% seperti apa yang ibunya selalu ceritakan yang kesannya malah terlalu intimidatif. Entah katanya banyak perampok, preman-preman dan apapun yang berhubungan dengan orang-orang jahat.

Malam ini Gendis memberanikan diri, berbaur bersama gelapnya malam. Sepuluh menit sebelumnya, dia bisa dengar adzan isya berkumandang. Jalanan setapak yang ia lewati sepi, tapi berbanding terbalik dengan jalan raya beberapa meter di hadapannya yang kelihatan ramai oleh lalu lalang kendaraan.

Langkahnya berhenti masih di tempat yang sama, pikirannya langsung terbang begitu ia menelisik tempat ini. Pada obrolan-obrolan sederhana bersama Satya kala itu. Terutama ketika Satya bicara.

"Menjadi seniman di negeri ini enggaklah semudah itu. Selain karena peminatnya sedikit, negeri ini juga tidak ada kemauan untuk buka pandangan lebih luas lagi kalau manusia-manusia di dalamnya punya banyak bakat dan bisa mengharumkan tanah air suatu saat nanti. Mereka menganggap seni bukanlah suatu hal yang penting untuk mereka pelajari, padahal kalau mereka mau berpikir lebih jauh lagi. Mereka akan paham, kalau seni bukan hanya mencakup kegiatan menggambar atau melukis saja. Seni itu ungkapan sebuah rasa."

Lukisan Tanpa WarnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang